Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yang Muda yang Berkiprah
“Berilah aku sepuluh pemuda maka aku akan mengguncang dunia,” kata Soekarno, Presiden I RI, 18 Agustus 1945-12 Maret 1967.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - “Berilah aku sepuluh pemuda maka aku akan mengguncang dunia,” kata Soekarno, Presiden I RI, 18 Agustus 1945-12 Maret 1967.
Ungkapan populer Bung Karno (6 Juni 1961-12 Juni 1970) itu tampaknya patut untuk direnungkan kembali oleh para kader PDI Perjuangan, terutama Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri (72), menjelang Kongres PDIP sekarang ini.
PDIP dijadwalkan menggelar Kongres V pada 8-10 Agustus 2019 atau dipercepat dari jadwal semula Januari 2020, lebih cepat dari pelantikan calon presiden terpilih Pilpres 2019 pada 20 Oktober 2019.
Kongres yang akan digelar di Bali itu akan memilih Ketua Umum PDIP. Mengapa dipercepat? Dalihnya untuk mempercepat regenerasi.
Memilih ketua umum? Apakah kongres kali ini akan mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua umum sebagaimana dalam tiga kongres sebelumnya, atau memilih nama baru sebagai ketua umum?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, kalangan internal PDIP lebih menyerahkan hal tersebut kepada Megawati. Putri Bung Karno itu diberikan semacam hak prerogratif.
Mau menjabat lagi dipersilakan, mau memilih orang baru juga dipersilakan. Di sinilah hebatnya PDIP, menempatkan Megawati sebagai tokoh sentralistik sekaligus kharismatik.
Akan tetapi, partai politik pun terikat hukum alam atau sunnatullah. Seperti matahari, seorang tokoh pun ada waktunya terbit dan ada waktunya pula terbenam, tak bisa terus-menerus berada di titik tertentu.
Bumi akan terus berputar. Setiap tokoh ada masanya, setiap masa ada tokohnya. Biarlah yang muda yang berkiprah.
PDIP pun patut berkaca dari tetangga sebelah. Para senior dan pendiri Partai Demokrat yang dimotori Max Sopacua mendesak ketua umum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 70 tahun, menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) paling lambat 9 September 2019 atau pas ulang tahun ke-20 partai berlambang bintang Mercy ini, karena kecewa dengan penurunan suara partainya pada Pemilu 2019.
Sebagai “stimulus politik”, Max mengajukan Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang tak lain putra SBY sebagai calon ketua umum baru.
Padahal, SBY belum genap lima tahun memegang tampuk kepemimpinan PD. Bisa jadi desakan KLB PD ini akan membuka kotak Pandora bahkan menjadi bola liar. Sekali lagi, AHY hanya "stimulus politik".
Jika PDIP tidak mau mengambil hikmah dari apa yang terjadi di PD, bukan tidak mungkin peristiwa yang sama akan terjadi di PDIP.
Ikhlaskah Megawati menyerahkan tampuk kekuasaannya ke sosok-sosok muda, misalnya Presiden Joko Widodo (57)? Bila pada Pilpres 2014 ia rela menyerahkan kursi calon presiden kepada Jokowi, kenapa tidak?
Bahkan Jokowi merupakan sosok yang saat ini kansnya paling besar untuk menggantikan Megawati. Selain sudah teruji sebagai kader militan dan loyal, Jokowi juga sudah teruji kepemimpinannya sebagai Walikota Surakarta kemudian Gubernur DKI Jakarta dan akhirnya Presiden RI.
Mungkin demi memberikan “karpet merah” kepada Jokowi itulah maka Kongres PDIP dipercepat menjadi sebelum pelantikan Presiden RI. Mungkin bargaining power dan bargaining position PDIP akan lebih kuat bila kongres digelar sebelum pelantikan Presiden RI.
"Ruh" dan "Suh"
Bila benar, maka PDIP perlu mendapuk Puan Maharani, putri Megawati yang kini menjabat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sebagai Wakil Ketua Umum PDIP atau Pelaksana Harian (Plh) Ketua Umum PDIP mengingat kesibukan Jokowi sebagai Presiden RI, tentunya dengan job description yang sudah disepakati bersama.
Ada apa dengan Puan? Pertama, agar PDIP tidak lepas dari trah Bung Karno. Diakui atau tidak, kebesaran PDIP selama ini tak bisa dilepaskan dari nama besar Bung Karno, bahkan ajaran Bung Karno seperti Marhaenisme menjadi “ruh” partai berlambang kepala banteng ini. Puan sebagai cucu biologis Bung Karno, dan Jokowi sebagai anak atau cucu ideologis Bung Karno, dapat bersinergi.
Kedua, jabatan Wakil atau Plh Ketua Umum PDIP akan menjadi kawah Candradimuka bagi Puan. Selama ini Puan memang sudah menjalani kaderisasi sebagai salah satu Ketua DPP, akan tetapi itu saja tidak cukup.
Dia perlu tampil sebagai pengambil keputusan atau decision maker yang independen, jauh dari bayang-bayang sang ibu. Megawati cukup menjadi king maker atau bahkan guru bangsa saja. Ihwal king maker ini sudah dibuktikan Megawati saat menunjuk Jokowi sebagai capres pada 2014.
Lihatlah tokoh-tokoh politik seangkatan Megawati, mulai dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, Akbar Tandjung, Agung Laksono, hingga Amien Rais dan sebagainya yang sudah menyerahkan tongkat estafet kepada sosok-sosok muda untuk tampil ke depan.
Ketiga, jabatan Wakil atau Plh Ketua Umum PDIP akan menjadi test case bagi Puan apakah ia layak maju sebagai capres atau cawapres pada 2024 atau tidak.
Di tengah isu bergabungnya Partai Demokrat ke koalisi pendukung Jokowi, nama Puan mulai disandingkan dengan AHY untuk Pilpres 2024.
Dengan menjadi Wakil atau Plh Ketua Umum PDIP, nama Puan akan lebih banyak terpublikasi, apalagi bila nanti kembali menjadi menteri, sehingga elektabilitasnya pun akan lebih terkerek.
Kita tahu, pemilihan KH Maruf Amin (76) sebagai calon wakil presiden bagi Jokowi pada detik-detik terakhir pendaftaran Pilpres 2019 adalah untuk lebih mengakomodasi kepentingan PDIP.
Dari sisi usia, nyaris tak mungkin Kiai Maruf akan maju sebagai capres pada 2024 ketika Jokowi sudah tidak berhak maju lagi. Di sinilah peluang PDIP mengajukan capres sangat terbuka.
Keberadaan Megawati sebagai tokoh sentralistik dan kharismatik, diakui atau tidak, mempunyai plus dan minus tersendiri. Plusnya, Megawati bisa menjadi perekat dan pengikat ketika terjadi friksi-friksi internal, bahkan menjadi semacam “suh” atau tali pengikat pada sapu lidi bagi PDIP.
Plus lainnya, bagi partai yang “menjual” isu ideologi seperti PDIP, keberadaan Megawati sebagai anak biologis sekaligus ideologis Bung Karno cukup menguntungkan.
Minusnya, PDIP tercitrakan sebagai partai konservatif, bukan partai modern yang ditopang oleh profesionalitas manajemen yang piawai "menjual" program.
Minus lainnya, di tubuh PDIP nyaris tidak ada tokos selevel atau sekaliber Megawati, bahkan satu trap di bawahnya pun tidak ada. Tokoh-tokoh lain seperti Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung berada dua trap di bawah Megawati.
Tokoh-tokoh lain seperti Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Gubernur Bali Wayan Koster, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambay dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini berada tiga trap di bawah Megawati.
Pendek kata, bila terjadi kondisi darurat atau force majeur dengan Megawati, PDIP akan gagap mencari penggantinya.
Kini, saatnya PDIP memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh muda untuk berkiprah. Itu bila benar bahwa percepatan Kongres V PDIP demi percepatan regenerasi. Akankah Jokowi menjadi Ketua Umum PDIP?
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI dari PDIP / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.