Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sidang MK: Pandawa Vs Kurawa!
Dari “wow” menjadi “wew”, dari yang dijanjikan akan mencengangkan, ternyata justru menyebalkan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Dari “wow” menjadi “wew”, dari yang dijanjikan akan mencengangkan, ternyata justru menyebalkan.
Itulah yang terjadi dengan gugatan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon, dan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin selaku pihak terkait.
Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, sesumbar akan menghadirkan saksi-saksi yang membuat suasana persidangan menjadi “wow” atau mencengangkan.
Namun faktanya, saksi-saksi yang diajukan justru menyebalkan atau membuat “wew”. Sesumbar ini laiknya sikap Kurawa kepada Pandawa dalam wiracarita Mahabharata.
Ya, bila kita cermati lebih dalam, persidangan di MK ini mirip “perang” antara Pandawa versus Kurawa, di mana MK merupakan padang Kurusetra.
Pandawa di pihak yang benar atau protagonis sehinga berhasil keluar sebagai pemenang, sedangkan Kurawa di pihak yang salah atau antagonis sehingga menjadi pecundang.
Betapa tidak?
Saksi-saksi yang dihadirkan kubu Prabowo-Sandi bukannya memperkuat materi gugatan, yakni terjadi kecurangan dalam pilpres yang berlangsung terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang menguntungkan Jokowi-Maruf sehingga pasangan calon ini menang, melainkan justru melemahkan.
Link berita media, misalnya, dinilai KPU dan para pakar tidak bisa dijadikan barang bukti. Bahkan saksi-saksi yang dihadirkan kubu Prabowo-Sandi banyak yang memantik kontroversi.
Sebut saja Rahmadsyah Sitompul dari Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, yang dihadirkan sebagai saksi, Rabu (19/6/2019) malam hingga Kamis (20/6/2019) dini hari.
Ternyata, ia adalah seorang terdakwa perkara penyebaran hoax (berita palsu) terkait Pilkada Batubara 2018 yang statusnya sebagai tahanan kota.
Bagitu pun saksi Hairul Anas yang mengklaim Moeldoko manyatakan kecurangan adalah bagian dari demokrasi, yang kemudian dibantah Kepala Staf Kepresidenan itu, bahkan Moeldoko membuka kemungkinan melaporkan Hairul ke polisi dengan dugaan kesaksian palsu.
Saksi Beti Kristiana pun setali tiga uang. Ia menyebut jalan dari kediamannya di Kecamatan Teras ke Kecamatan Juwangi, Boyolali, Jawa Tengah, tak beraspal.
Hal tersebut ramai-ramai dibantah, termasuk oleh Ketua Paguyuban Boyolali di Jakarta.
Jaswar Koto, ahli yang diajukan kubu Prabowo, pun tidak meyakinkan, bahkan kerap memancing sindiran dari Ketua Tim Hukum Jokowi-Maruf, Yusril Ihza Mahendra.
Pendek kata, saksi-saksi dan ahli yang diajukan kubu Prabowo-Sandi tidak mampu membuktikan tuduhan kecurangan yang dialamatkan ke kubu Jokowi-Maruf. Maka, KPU pun bersikap enteng saja.
KPU cukup mengajukan seorang ahli teknologi informasi, yakni Marsudi Wahyu Kisworo, tak perlu mengajukan ahli lain maupun saksi-saksi.
Dus, hampir semua pakar, termasuk mantan Ketua MK Mahfud MD menyatakan kesaksian dari kubu Prabowo-Sandi mentah dan tak mampu membuktikan dalil-dalil kecurangan yang mereka tuduhkan.
Kesaksian kubu Prabowo-Sandi terkesan asal-asalan, dan data yang diajukan pun berantakan.
Wani Ngalah
Bila sembilan hakim konstitusi setia kepada hati nuraninya serta berpijak pada fakta-fakta di persidangan, maka keputusan MK pada 28 Juni 2019 nanti pun sudah bisa ditebak.
Tapi apa pun keputusan MK, langkah Prabowo-Sandi mengajukan gugatan ke MK patut diapresiasi. Paling tidak, langkah ini mampu menganalisasi potensi konflik yang mungkin lebih meluas lagi antara kubu Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi.
Laiknya pertandingan sepak bola, setiap kesebelasan sedikit atau banyak pasti melakukan kecurangan, tergantung kadarnya.
Tapi, ada wasit yang menjadi hakim, dan dalam hal pilpres, wasit itu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan MK. Maka langkah Prabowo-Sandi mengajukan gugatan ke MK sudah tepat.
Bahwa krediblitas Prabowo-Sandi makin tergerus akibat persidangan di MK, itu harga yang harus mereka bayar. No lunch free (tak ada makan siang gratis), semua ada risikonya.
Harga yang harus ditanggung bangsa ini bahkan lebih besar lagi, yakni terjadinya kerusuhan, yang sebelumnya diawali dengan aksi demonstrasi para pendukung Prabowo-Sandi di sekitar kantor Bawaslu di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, yang menewaskan sedikitnya sembilan korban.
Hasil temuan Polri, para pelaku kerusuhan bukanlah para demonstran pendukung Prabowo-Sandi, melainkan kelompok lain yang memang berniat menciptakan kerusuhan.
Ah, seandainya sejak awal Prabowo-Sandi legawa, tentu tak akan ada penumpang-penumpang gelap yang menunggangi aksi demo pendukung mereka.
Kredibilitas Prabowo-Sandi pun tak akan tergerus, bahkan akan tercitrakan sebagai negarawan. Kini, ketika ‘nasi sudah menjadi bubur’, yang ada mungkin penyesalan, terutama terkait jatuhnya sembilan korban akibat kerusuhan.
Agaknya mereka bahkan mungkin kita semua alpa akan “pitutur luhur” (ajaran mulia) para leluhur bangsa ini, seperti “sura dira jayaningrat lebur dening pangastusi” (keberanian, kedigdayaan atau kejayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan kesabaran dan kelembutan), “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa merendahkan), “kalah tanpa wirang” (kalah tanpa kehilangan kehormatan), “wani ngalah luhur wekasane” (berani mengalah akan tinggi derajatnya), dan sebagainya.
Mungkin Prabowo-Sandi baik secara yuridis maupun faktual kalah dalam pilpres, namun bila dalam menyikapi kekalahan itu mereka bersikap kestria dan elegan, niscaya bangsa ini akan mencatatnya sebagai putra-putra terbaik bangsa, dan juga seorang negarawan, yang kelak bukan tidak mungkin akan terpilih menjadi pemimpin negeri ini, terutama Sandi.
Bagi petahana Presiden Jokowi dan KH Maruf Amin, seandainya MK memutuskan pasangan calon ini yang memenangi Pilpres 2019, maka harus tetap memegang teguh ajaran “menang tanpa ngasorake”. Bersikaplah seperti Pandawa.
Sebaliknya, bagi Prabowo-Sandi, seandainya MK memutuskan pasangan ini kalah, maka harus pula tetap memagang teguh ajaran “kalah tanpa wirang”, bahkan mungkin “wani ngalah luhur wekasane”. Jangan bersikap seperti Kurawa.
Alhasil, lagi-lagi kembali ke prinsip: “menang ojo umuk” (menang jangan congkak), “kalah ojo ngamuk” (kalah jangan mengamuk).
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.