Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Zonasi PPDB: Das Sollen, Das Sein
Menurut Pasal 16 Permendikbud No. 51/2018, PPDB dilaksanakan melalui jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali.
Editor: Hasanudin Aco
Tak pelak, penerapan sistem zonasi dalam PPDB pun memantik banyak protes, seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, di mana sekelompok masyarakat menggelar aksi demonstrasi di Kantor Walikota Surabaya, Kamis (20/6/2019) malam.
Aspirasi yang sama juga disampaikan sekelompok warga saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, Kamis (20/6/2019). Mantan Walikota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian menginstruksikan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi sistem zonasi dalam PPDB.
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang membidangi masalah pendidikan pun setali tiga uang, mendesak agar sistem zonasi dalam PPDB dievaluasi secara menyeluruh.
Seperti dilansir sebuah media, penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisili masing-masing. Peserta didik memiliki opsi maksimal tiga sekolah, dengan catatan sekolah tersebut masih memiliki slot siswa dan berada dalam wilayah zonasi siswa tersebut.
Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari kantor desa/kelurahan menuju ke sekolah.
Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih awal.
Umumnya, jalur zonasi memiliki kuota paling besar dari semua jalur penerimaan. Misalnya, di PPDB Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jatim, kuota jalur zonasi adalah 50%, sedangkan di PPDB SMA di DKI Jakarta kuota yang disediakan untuk zonasi adalah 60%.
Sistem seleksi PPDB zonasi dilakukan dengan cara pemeringkatan yang berbeda-beda di setiap provinsi. Akan tetapi, umumnya, pemeringkatan untuk jalur zonasi dilakukan dengan jarak, nilai Ujian Nasional (UN), usia peserta didik, dan waktu mendaftar.
Di PPDB SMA di Jatim, misalnya, seleksi dilakukan berdasarkan pada pemeringkatan berdasarkan zona dengan kuota sebesar 50%, yaitu pemeringkatan yang berdasarkan jarak tempat tinggal dalam zona dengan sekolah yang dipilih. Jika jarak sama, maka pemeringkatan berdasarkan nilai UN dan waktu pendaftaran.
Pemeringkatan berdasarkan nilai UN dengan kuota sebesar 20%, pemeringkatannya berdasarkan nilai UN. Jika terdapat kesamaan nilai, maka pemeringkatan berdasarkan urutan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, dan Bahasa Inggris. Jika masih terdapat kesamaan, maka diperingkat berdasarkan waktu pendaftaran.
Sementara itu di PPDB SMA di DKI Jakarta, seleksi PPDB dilakukan dengan urutan nilai rata-rata hasil UN/UNPK untuk calon peserta didik baru lulusan SMP/Madrasah, urutan pilihan sekolah, usia dan waktu mendaftar.
Solusi
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencacat empat masalah dalam sistem zonasi PPDB. Pertama, munculnya jalur SKTM di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kedua, perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. Ketiga, berkaitan dengan kewajiban menerima 90% calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah.
Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga, biasanya ada di pusat kota, sepi peminat. Hal ini terjadi di 12 SMP di Solo, Jateng, dan di 53 SMP di Jember, Jatim.