Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hari Anak Nasional Momentum Bentengi Anak dari Radikalisme & Perlakuan Salah
Hari Anak Nasional yang jatuh pada tiap tanggal 23 Juli hendaknya menjadi momentum untuk membentengi anak dari radikalisme, perlakuan yang salah
Editor: Toni Bramantoro
HARI ANAK NASIONAL yang jatuh pada tiap tanggal 23 Juli hendaknya menjadi momentum untuk membentengi anak dari radikalisme, perlakuan yang salah, penelantaran, narkoba, dan pornografi.
Pasalnya anak telah menjadi obyek utama dalam penyebaran radikalisme dan perlakuan negatif lainnya.
Intinya perlindungan anak sebetulnya sudah menjadi agenda dan prioritas pembangunan nasional sehingga idealnya anak terlindungi dari radikalisme, perlakuan negatif, juga bahaya narkoba. Tapi faktanya, radikalisme yang melibatkan anak-anak terus terjadi, juga kekerasan terhadap anak. Terbukti dari rilis dari lembaga perlindungan anak, data-data keterlibatan anak dalam radikalisme dan lain-lain terus meningkat kata mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Advianti, SP.
Untuk itu, ia mengajak semua pihak agar Hari Anak Nasional dijadikan momentum untuk lebih serius membentengi anak dari penyebaran radikalisme.
Ini penting karena meski sudah ada peraturan perundangan yang ideal tentang perlindungan anak, tapi faktanya radikalisme dan kekerasan yang menyasar anak-anak terus terjadi bahkan cenderung meningkat.
Itu menjadi bukti bahwa ada kesenjangan dalam implementasi pelaksanaan perundangan tersebut. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama yang harus mendapat prioritas baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Ia menjelaskan, anak memang menjadi obyek yang sangat mudah terpapar radikalisme karena anak sangat mudah menyerap doktrin. Selain itu, anak cenderung lebih loyal dari orang dewasa sehingga mudah menjadi radikal.
Bila hal yang disampaikan itu terus menerus dan dianggap benar dan mutlak, bila orang dewasa tidak langsung diserap tapi mencari referensi yang lain. Kalau anak itu bisa dianggap kebenaran yang absolut sehingga tidak mencari referensi lain. Inilah yang membuat anak mudah didoktrin atau ‘termakan’ propaganda radikalisme, tanpa mereka menyadari,begitu dipaparkan Maria Advianti.
Menurut Maria, banyak faktor yang membuat anak rentan terjangkit radikalisme. Namun yang utama adalah faktor keluarga dan institusi pendidikan. Ini terbukti banyak anak-anak yang terpapar radikalisme melalui online dan institusi seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Sibolga, juga anak-anak yang terdapat dalam video propangada ISIS yang tersebar di media sosial (medsos) seperti Youtube.
Pada kasus-kasus anak-anak terpapar radikalisme, jelas Maria, mereka rata-rata terjangkiti virus radikalisme dari keluarga atau orang terdekat, serta guru di sekolah.
Artinya anak-anak akan mudah percaya dengan orang terdekat sehingga sangat mudah terpapar ajaran tersebut.
Terkait penyebaran radikalisme di sekolah, ia melihat sistem pendidikan agama di Indonesia, tidak jauh beda dengan sistem pendidikan di sekolah umum, kecuali bila guru agama lulusan pondok pesantren. Sejauh ini belum ada sistem atau indikator untuk mengukur guru agama apakah mereka terpapar radikalisme atau tidak.
Harus ada sistem untuk memverifikasi guru agama kata Maria Advianti, karena penyebaran radikalisme ini sudah sangat masif. Dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus berkolabarosi membuat formula untuk menangkal radikalisme dari sekolah.
Maria menegaskan, untuk melihat ciri-ciri anak terpapar radikalisme tidak mudah. Namun biasanya, dengan penampilan mereka lebih mudah mendeteksinya.
Tetapi secara umum, ia melihat radikalisme dan terorisme di Indonesia melegitimasi terhadap agama. Padahal potensi radikalisme ada di enam agama Indonesia
Salah satu ciri yang mudah diketahui adalah pakaian dan perilaku. Ketika mereka perilaku atau riwayat belajar agama, kemudian biasanya pakaian mereka menunjukkan afiliasi kepada kelomopk agama tertentu.
Diakui Maria Advianti, perlu ada pemahaman terhadap masyarakat agar mereka lebih waspada, biasanya mereka tinggal di kampung, kontrakan, perumahan di pinggiran dan tidak pemanen. Hal ini harus diwaspadai, ini peran keluarga dan masyarakat untuk mengenali orang di sekeliling mereka.
Selain itu, keluaga atau lebih khusus orang tua, jangan cuek dengan aktivitas anak seperti saat mengaji atau sekolah. Artinya, orang tua harus selalu cek dan balance dengan pelajaran yang didapat anaknya.
Pasalnya radikalisme bisa disusupkan melalui lagu, kisah, soal pelajaran seperti jihad, benci kepada orang lain, dan lain-lain.
Tidak ketinggalan, Maria juga mengajak semua pihak mewaspadai medsos. Menurutnya, medsos jadi salah satu alat penyebaran paham radikal yang sangat luar biasa.
Anak-anak ketika mendapat informasi radikalisme, biasanya pertama penasaran, bukan takut. Justru para teroris ini memanfaatkan rasa penasaran anak-anak sehingga menggiring mereka untuk mengakses informasi yang sudah dirancang melalui medsos dijelaskan Maria Advianti lagi.
Karena itu, orang tua diminta jangan gaptek terhadap medsos tetapi harus ikut aktif. Meski tidak secanggih sang anak, minimal dengan aktif bermedsos, komunikasi dan pengawasan orang tua terhadap anak bisa lebih baik.