Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kepemimpinan Indonesia berbasis NeuroLeadership
Kepemimpinan Indonesia dapat dilihat dalam perpektif neurosains yang disebut Neuroleadership
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Seorang pemimpin berbasis NeuroLeadership diharapkan mampu menemukan harapan rakyat, bukan yang menakut-nakuti rakyat dengan berbagai ancaman. Semakin besar harapan yang ditumbuhkan akan membuat kepemimpinannya berlaku efektif. Walau memang terkadang banyak sekali godaan untuk menebar ancaman yang secara neurosains sangat kuat di otak.
NeuroLeadership adalah paradigma baru. Dari situ muncul pendekatan baru yang dapat melihat perilaku manusia berdasarkan struktur otaknya, bahkan untuk melihat kecenderungan politik seseorang berdasarkan karakter dasar partai atau calon yang dipilih.
Bicara otak tak akan lepas dari dua hal: yakni bentuk fisik dan non fisik. Bentuk fisik dapat disebut sebagai struktur otak, sedangkan bentuk non fisik disebut juga jiwa yang tak terlihat. Semua saling berkaitan dan saling melengkapi. Seorang dengan gejala kejiwaan bisa jadi dikarenakan ada struktur otak yang bermasalah entah karena faktor fisik ataupun zat yang dapat membuat otak cedera. Dari situ muncul kepribadian yang memiliki pengaruh terhadap performa.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa di dalam otak ada 187 miliar sel saraf yang tiap satu sel kemampuannya sama dengan satu komputer tercanggih saat ini. Koneksi itu yang menentukan prototype atau karakter seseorang. Apakah dia seorang yang tenang atau emosional, pemikir ekstrim, lateral atau moderat. Semua itu tak lepas dari 3 proses yang terjadi di dalam otak: neuroplastisitas, neurogenesis, dan neurokompensasi. Uniknya, sinyalemen dan karakter itu dapat dipetakan dan tergambar di dalam otak.
Yang perlu ditekankan dalam proses di atas adalah neurokompensasi. Bisa dibilang neurokompensasi adalah kemampuan orang untuk bangkit setelah terjatuh. Contoh konkretnya adalah ketika kita belajar naik sepeda, dibutuhkan keseimbangan sehingga kita fokus dan juga harapan agar bisa naik sepeda. Tanpa lelah kita terjatuh, bangun, mengayuh, lalu terjatuh lagi. Namun dari situ muncul semacam keahlian yang membuat kita dari tak mampu menjadi mampu mengendarai sepeda, sehingga kita pun memiliki refleks saat menaikinya dan pada akhirnya kita merasa rileks tanpa beban.
Tak dapat dipungkiri bahwa neurokompensasi sangat ditentukan oleh dua faktor utama: genetik dan lingkungan. Bagaimana pun faktor genetik memberi andil terhadap karakter seseorang, dan lingkungan memperkaya karakter tersebut. Orang yang dibesarkan di lingkungan kepemimpinan yang baik oleh seorang presiden misalnya, akan membentuk karakter memimpin pada dirinya. Termasuk juga karakter kurang baik seperti anak mafia yang pada akhirnya “ikut” menjadi mafia.
Di Amerika pernah dibuat sebuah penelitian yang melihat kecenderungan pemilih berdasarkan struktur otaknya. Ternyata ada perbedaan struktur otak antara mereka yang memilih partai Demokrat yang notabene masyarakat kelas bawah, dan partai Republik yang notabene kalangan menengah ke atas. Bahkan kecenderungan pilihan itu dapat menetap hingga tujuh turunan kecuali faktor lingkungan “berhasil” mengubahnya.
Untuk kasus Indonesia, NeuroLeadership dapat dipergunakan untuk melihat kecenderungan politiknya berdasarkan kebiasaan otaknya. Tentu yang diharapkan di sini adalah terjadinya neuroplastisitas yang membuat otak jadi semakin sehat dan bertumbuh.
NeuroLeadership merupakan istilah pembaruan dari bagaimana pemimpin menggunakan akal dan pikirannya, yaitu tentang cara seorang pemimpin mengutamakan akalnya dari semua bentuk emosi, egoisme, keberpihakan sempit, ekstremisme, dan lain-lain.
Disiplin keilmuan ini hendaknya dilihat dari 4 sudut kebenaran, mulai dari kebenaran filosofis, kebenaran sosiologis, kebenaran yuridis, dan kebenaran kultural. NeuroLeadership membahasakan kebenaran dengan bahasa akademik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan NeuroLeadership, seorang pemimpin dituntut untuk terus bergerak, tumbuh, dan berkembang menjadi lebih baik dari hari ke hari. Dalam psikologi dikenal istilah positive psychology, itu pula yang diperjuangkan oleh NeuroLeadership, yakni melihat segala sesuatu dari sudut pandang kekuatan.
Neuroleadership menjadi pencerahan baru yang tidak meninggal unsur manusia insani, karena ujung dari kepemimpinan adalah rahmat atau kasih sayang. Tidak boleh ada kepemimpinan yang menjerumuskan. Untuk itu kepemimpinan berbasis otak sehat merupakan suatu kebutuhan dan harapan baru.
Ke depan, dunia dihadapkan pada sesuatu yang tidak pasti, berubah-ubah, kompleks, dan ambigu. Di situlah peran NeuroLeadership menjaga kewarasan dan ketenangan kondisi Indonesia. Tentu semua bermula dari individu yang telah dicerdaskan otak (emosi)nya.
Pemimpin Indonesia adalah pemimpin yang memiliki kapasitas yang komprehensif, sehingga berani mengambil risiko serta bertanggung jawab. Untuk itu perlu kiranya kita memilih pemimpin yang tepat. Tepat di sini artinya pemimpin tersebut adalah seorang yang berpola pikir bertumbuh (growth) dan transformasional.