Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Demo, Musik dan Cinta

Bagi mereka, di muka bumi ini tak ada urusan lebih mulia, lebih menggairahkan, daripada demo. Dan demo

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Demo, Musik dan Cinta
Warta Kota/Alex Suban
Budayawan Mohamad Sobary, biasa dipanggil Kang Sobary, berkunjung di Kantor Redaksi Tribunnews Network di Palmerah, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2019) 

Oleh: Mohamad Sobary, Pemerhati Kebudayaan

TRIBUNNEWS.COM - Demo merupakan lambang kedaulatan mahasiswa yang membuat mereka merasa ‘eksis’.

Demo sebagai panggung ‘kita’ dan gerakan ‘kita’, didengungkan dengan rasa bangga ke mana-mana.

Baca: Kegalauan Presiden Jokowi Keluarkan Perppu Cabut UU KPK, Ancaman Parpol hingga Ultimatum Mahasiswa

Mereka berhak melakukannya. Itu memang hak mahasiswa.

Bagi mereka, di muka bumi ini tak ada urusan lebih mulia, lebih menggairahkan, daripada demo. Dan demo.

Ada suatu latar belakang kehidupan mahasiswa yang kita abaikan. Mereka bosan di kampus.

Tanpa demo, hidup hanya beku. Hari-hari berlalu begitu teknis, monoton, dan bikin bosan itu tadi.

Berita Rekomendasi

Kuliah demi kuliah, dalam jurusan apa pun, yang hanya mengulang-ulang definisi, tak mampu membuat jiwa mahasiswa bergolak.

Mereka dibuat merasa, hidup ini sudah jadi dan tinggal menjalani.

Ini penghinaan eksistensial yang memalukan.

Mereka berteriak: Jangan jejali aku dengan definisi. Beri aku uraian empirik dan pemikiran imaginatif yang merangsang.

Dan aku akan mampu, jangan khawatir, merumuskan sendiri definisi yang lebih baik dari yang ada di buku-buku, yang diulang-ulang para dosen sebagai ritus akademis yang membunuh gairah bertanya.

Mahasiswa merasa, mereka dilahirkan di dunia ini untuk bertanya. Tapi mengapa jejalan definisi, terus menerus, dianggap jawaban?

Mereka menyadari, ternyata kampus bukan tempat belajar.

Romantisme Soe Hok Gie tentang demo, musik dan cinta, jauh lebih mampu membangkitkan minat mereka.

Mungkin, ini jawaban yang mereka nantikan. Soe Hok Gie lalu menjadi ikon bagi mahasiswa pergerakan sejati. Dan ukuran standar moral mereka pula. Kemudian mereka pun bicara kemurnian politik dalam demo.

Mereka tak memihak golongan manapun. Mereka tak tergiur pengaruh politik apa pun. Mereka bergerak karena mereka harus bergerak. Mereka memiliki ukuran politik sendiri: politik hati nurani.

Demo mereka murni seperti embun pagi. Dan kemurnian politik itu dijaga.

Mereka berkata: kita merdeka dan otonom. Inilah barisan kita. Inilah demo kita.

Imajinasi tentang demo, musik dan cinta tidak cukup.

Catatan penyair Taufiq Ismail dalam sebuah puisinya yang diinspirasi dari pengalaman demo mahasiswa Angkatan 1966 perlu dibaca agar semangat memandang diri sendiri suci murni itu memiiki landasan faktual yang mencukupi.

Mereka perlu menyadari bahwa dalam setiap perjuangan, kata penyair tersebut, selalu ada pengkhianatan.

Mahasiswa perlu pula menhyadari bahwa sebuah demo yang kelihatannya begitu ‘solid’, kompak dan jelas memperjuangkan aspirasi politik yang sama, bisa saja berakhir pedih.

Mahasiswa bisa dibuat kecewa karena ternyata demo itu menyimpang dari aspirasi perjuangan mereka. Tiba-tiba baru disadari, ada kepentingan politik lain yang telah merasuki barisan mereka.

Demo mahasiswa sering pula membukakan peluang lahirnya ‘tokoh’ terkutuk yang mendadak besar dan penting. Dia telah berhasil mencuri peran dan merebut jasa mahasiswa yang tak pernah menduga hal itu bisa terjadi.

Ini semua bisa terjadi kapan saja tapi tak terjadi dalam demo akhir-akhir ini, Demo kali ini jelas: mahasiswa melawan DPR, wakil rakyat, yang telah mengkhianati secara terang-terangan mandat rakyat.

Secara semena-mena mereka mengeluarkan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pertanian, RUU Air, RUU Perkoperasian, dan RUU KPK, yang secara mencuri-curi telah disahkan sendiri. Ini problem utama nasional kita.

Demo mahasiswa melawan kedurjanaan ini. Dan hanya ini masalah kita. Jika sikap politik mahasiswa memang semurni yang mereka teriakkan, maka mereka akan mengamuk jika arah perjuangan mereka disimpangkan.

Presiden Jokowi sendiri tidak setuju dengan semua RUU itu. Urusan kita tertuju mutlak dan fokus pada DPR.

Rakyat berteman pada Presiden Jokowi karena rakyat tidak buta, Pak Jokowi lah tempat terbaik bagi rakyat pada saat ini untuk bergantung. Beliau lah harapan Indonesia sekarang.

Tapi mengapa tiba-tiba muncul isu menyimpang, untuk mengancam posisi Presiden? Dalam demo di Sumatra Barat ada tokoh partai yang berteriak memprovokasi, beranikah mahasiswa menjatuhkan Presiden? Dan kontan kaum muda yang jiwanya murni dan agenda poltiknya murni ini berteriak mengingatkan agenda utama mereka.

“Kita hanya menuntu DPR. Kita menuntu tanggung jawab mereka. Tak ada agenda lain. Kita harus fokus pada agenda kita.”

Ada ancaman kasar lainnya. Di Jakarta ada yang berteriak agar Presiden turun, meniru Presiden Soeharto yang turun dalam demo 1998.

Mahasiswa tak menjawab tapi mereka pura-pura budek. Teriakan itu lenyap ditelan kelelahan para pendemo yang sadar mengenai perlunya mengabaikan bujukan palsu itu.

Peristiwa 1998 tidak sama dan tak boleh disama-samakan dengan peritiwa saat ini.

Demo tahun 1998 menjatuhkan tokoh koruptor besar-besaran dan tyran yang menakutkan.

Dan Presiden Jokowi, yang suara jiwanya sama dengan suara jiwa mahasiswa, apa urusannya disandingkan dengan musuh rakyat tahun 1998?

Ada pula teriakan tokoh lain, yang tak kalah kasarnya, mengenai ketidak-adilan. Pemerintah dituding tidak adil. Dan dia pun segera mengumpulkan orang-orang yang loyal kepadanya, untuk dijejali rentetan masalah dan solusinya.

Tapi semua itu tak berhubungan dengan pokok persoalan kita saat ini. Teriakannya merdu dan menggetarkan. Tapi kemerduan palsu dan getaran palsu bisa dibedakan dari yang otentik.

Mungkin mahahasiswa telah mencatat, semurni apa pun tujuan sebuah demo dan aspirasi politik di baliknya, banyak penumpang gelap yang siap mengacaukan keadaan. Tapi mahasiswa waspada.

Selebihnya, ada pula bujukan halus, untuk membelokkan tujuan demo. Ada pihak yang berteriak tentang betapa telah menyimpangnya agenda reformasi. Pemeringtah sekarang dipersalahkan karena persoalan ini.

Pemerintah didesak-desak untuk bertanggung jawab. Tapi suara ini lenyap bagai auman singa kelaparan di padang pasir. Tak seorang pun merespons kepalsuan suara politik ini.

Mungkin karena orang sadar, barang palsu tak ayak diperhatikan. Agenda reformasi yang mereka sodorkan itu urusan banyak Presiden.

Rentetannya dimulai dari Habibi hingga SBY. Presiden Jokowi orang baru. Beliau baru muncul tetapi dengan gagah berani dan penuh rasa tanggungjawab, menangani semua yang wajib ditangani.

Orang baru ini sudah melaksanakan jauh lebih banyak dari mandat reformasi di atas pundaknya. Beliau telah menjadi pujian dunia, dan dikagumi tokoh-tokoh besar dunia yang terpesona atas segenap sikap politik dan tindakan-tindakannya.

Baca: Mahasiswa Disarankan Beri Masukan pada Pembahasan RUU

Juga wisdom politiknya yang mengejutkan dunia yang resah saat ini. Apa salahnya beliau dalam urusan dengan reformasi?

Itu bukan suara mahasiswa. Biarkanlah badai lautan menelannya. Mahasiswa tak ikut-ikutan. Mereka bangga dengan kemurdian politik dan idiom yang begitu megah: demo, musk dan cinta, yang terngiang di telinga mereka. Terus menerus.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas