Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Salah Kaprah Penggunaan Bahasa Indonesia pada Merk Dagang
Penggunaan Bahasa Indonesia pada merek dagang dapat menimbulkan kekacauan dalam pengaturan merek dagang di Indonesia
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Dr Widyaretna Buenastuti, SH MM
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama merek dagang yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, demikian diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 yang baru disahkan tanggal 30 September 2019 yang lalu tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia).
Terbitnya Perpres ini telah ditunggu sejak lama karena menjadi amanat Pasal 40 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009).
Tidak lama setelah disahkan, Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia menarik perhatian publik dan dibahas di berbagai kanal berita dan media sosial.
Mayoritas perbincangan terkait Perpres ini berkutat pada isu kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara pada saat menyampaikan pidato resmi di dalam atau di luar negeri dan penamaan bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Namun yang belum banyak dipahami adalah mengenai pengaturan merek dagang yang dimuatpada Perpres tersebut.
Baca: Bahasa Indonesia Kini Jadi Bahasa Kedua di Universitas Al-Azhar Kairo
Perpres ini mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia untuk merek dagang yang berupa kata atau gabungan kata yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Pengaturan ini merupakan turunan amanat dari Pasal 36 dan Pasal 40 UU 24/2009.
Memasukan kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia pada Merek Dagang adalah salah kaprah, sehingga dapat menimbulkan kekacauan dalam pengaturan merek dagang di Indonesia.
Paling tidak terdapat tiga alasan yang mendasari pendapat ini.
Pertama, pengaturan mengenai merek dagang sebenarnya telah secara rinci dan spesifik di atur di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
UU Merek tahun 2016 ini merupakan penyempurnaan dari UU Merek tahun-tahun sebelumnya yaitu UU no 21 tahun 1961; UU no.19 tahun 1992; UU no. 15 tahun 2001.
Kedua, pengaturan merek dagang yang dimuat di UU dan Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia tersebut dapat menghambat kreativitas dalam proses pencarian atau penemuan merek dagang.
Baca: Bank Indonesia Incar Pedagang Pasar dan Mahasiswa Gunakan QR Code
Ketiga, pengaturan merek dagang dalam UU dan Perpres tersebut tidak sesuai dengan perkembangan penggunaan merek.
Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia pada Merek Dagang tidak Sesuai dengan UU Merek
UU Merek tidak mewajibkan penggunaan merek dagang berupa kata atau gabungan kata dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Pasal 2 UU Merek sebatas menyebutkan bahwa merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Tidak ada pasal dalam UU Merek yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia untuk merek dagang.
UU Merek telah mengatur mengenai kategori merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak.
Sepanjang merek yang didaftarkan telah memenuhi unsur merek sebagaimana yang dimaksud di Pasal 2 UU Merek dan tidak termasuk dalam kategori merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak, makapermohonan pendaftaran merek dapat diterima.
Baca: Pakar Hukum Sarankan Jokowi Tunggu Hasil Uji Materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk merek dagang justru berpotensi mengakibatkan merek tidak dapat didaftarkan.
Pasal 20 butir b UU Merek menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar jika sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Sebagai contoh, merek dagang pil biru untuk jenis barang obat , atau merek dagang kopi hitam untuk jenis barang kopi merupakan contoh merek yang tidak dapat didaftarkan.
Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia untuk Merek Dagang akan Menghambat Kreativitas
Terbatasnya kosakata Bahasa Indonesia akan menghambat kreativitas dalam proses pencarian atau penemuan merek dagang. Seiring dengan semakin banyaknya permohonan pendaftaran merek, maka kosakata Bahasa Indonesia yang tersedia akan semakin sedikit.
Kata atau gabungan kata yang telah terdaftar sebagai merek dagang akan menjadi hak eksklusif pemilik merek.
Baca: Dijamu Nasi Dagang, Laudya Cynthia Bella Pamer Perlakuan Orang Tua Engku Emran kepadanya
Terlebih kosakata Bahasa Indonesia tersebut harus memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik.
Pengaturan Wajib Bahasa Indonesia bagi Merek Dagang Tidak Sesuai dengan Perkembangan Penggunaan Merek
Dalam perkembangannya, merek dagang yang didaftarkan seringkali hanya berupa nama orang, singkatan, akronim, atau tanpa memiliki makna harfiah sama sekali.
Sebagai contoh, merek-merek terkenal seperti Adidas, BMW, IKEA, H&M, BMW, dan KFC merupakansingkatan dari nama pemilik atau singkatan dari deskripsi produknya. Merek dagang terkenal asal Indonesia, seperti Wardah, Indomie, J.Co, Buccheri, GO-JEK pun bukanlah merek yang berasal dari kosakata Bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Aturan wajib Bahasa Indonesia bagi merek dagang yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia akan tidak sesuai dengan perkembangan penggunaan merek yang berfungsi sebagai pembeda antara barang dan atau jasa yang satu dengan yang lainnya.
UU dan Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia telah salah kaprah dalam mengatur hal-hal yang terkait dengan merek dagang, khususnya merek dagang yang dimiliki warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia.
Untuk itu, asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam hal ini yang harusnya diterapkan. Asas ini merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Selain itu, aturan mengenai merek dagang wajib menggunakan Bahasa Indonesia dalam Pasal 36 UU 24/2009 dapat di ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
*) Pengamat Hukum Kekayaan Intelektual – Director Inke Maris & Associate