Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Wiranto Dan Sejarah Pembunuhan Para Khalifah
Siapa pembunuh Khalifah Utsman bin Affan ra? Dialah Abdullah bin Saba’, seseorang yang dulunya beragama Yahudi
Editor: Husein Sanusi
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
Percobaan pembunuhan H. Wiranto, terlepas dari jabatan sebagai menteri, bukti pembunuhan seorang muslim atas muslim lainnya. Jika dilihat dari statusnya, maka ini upaya pembunuhan rakyat terhadap pemerintahnya. Dua perspektif ini sudah terjadi pada masa kekhalifahan ar-rasyidah dalam Islam.
Siapa pembunuh Khalifah Umar bin Khattab ra? Dialah Fairuz an-Nahawand yang bergelar Abu Luklukah. Menurut Ahlus Sunnah dan sebagian Syiah, Fairuz ini seorang kafir Majusi, tidak pernah memeluk Islam. Tetapi, menurut sebagian Syiah lain, dia adalah seorang muslim dari aliran Syi’ah (Hamdan al-Khashibi, al-Hidayah al-Kubra, Beirut: Muassasah al-Balagh, 1991, h. 162).
Pendapat bahwa Fairuz itu orang muslim jauh lebih kuat. Hal itu didasarkan pada riwayat dari Ahmad bin Ali bin Mutsanna, dari Qathan bin Nasir al-Ghabri, dari Jakfar bin Sulaiman ad-Dhabghi, dari Tsabit al-Banani, dari Abu Rafi’:
“Abu Lukluah itu budaknya Mughirah bin Syu’bah. Bekerja membuat penggiling (gandum). Setiap hari Mughirah hanya mengupah dengan empat dirham. Abu Luklukah melapor pada Umar: "Wahai amiral mukminin, Mughirah membebani saya, berbicaralah padanya, agar ia meringankan beban saya!"
Umar menjawab: "Bertakwalah pada Allah. Taatlah pada tuanmu!"
Dalam hati Abu Luklukah berkata: "Keadilannya melingkupi semua orang kecuali aku?!" Saat itulah ia berencana membunuh Umar.” (Abu Bakar al-Haitsami, Mawarid Zham’an ila Zawaid Ibn Hibban, juz 7, Damsyiq: Dar as-Tsaqafah, 1992, no. 2190, h. 103-4).
Upaya pembunuhan seorang muslim atas orang muslim lainnya, atau rakyat muslim yang kecewa pada kualitas pemimpinnya, kembali terulang di jaman kekhalifahan ar-rasyidah. Siapa pembunuh Khalifah Utsman bin Affan ra? Dialah Abdullah bin Saba’, seseorang yang dulunya beragama Yahudi, dan kemudian masuk memeluk agama Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Menurut Muhibuddin al-Khatib, Ibnu Saba’ memang cenderung bekerja di balik layar.
Pendapat lain mengatakan, pembunuh Usman adalah salah seorang dalam komplotan muslim Mesir dari Bani Sadus, yang bergelar al-Jiblah. Disebut begitu karena ia berkulit hitam, dan karenanya pula ia disebut sebagai al-Maut al-Aswad (Kematian Berkulit Hitam). Pendapat lain menyebut pembunuh Usman bernama Jiblah bin al-Ayham dari negeri Syam, bukan Mesir.
Terlepas dari siapa nama dan asal pembunuh Usman, mereka adalah komplotan pembunuh beragama Islam, yang membawa kebencian terhadap penguasa Islam. Kesalehan agama tidak mampu mencegah mereka dari ikut meramaikan permainan “politik berdarah”.
Aspirasi politik, seruan kebenaran, dan tuntutan keadilan bagi mereka hanya topeng-topeng semata, yang bisa digunakan untuk menyembunyikan watak asli yang serupa vampir (Abdullah Ghabban, Fitnah Maqtal Utsman bin Affan, Madinah: Maktabah al-Abikan, 1999, h. 205-6).
Di tangan orang-orang muslim yang haus darah ini, era kekhalifahan ar-rasyidah berakhir. Vampir-vampir muslim inilah yang mengakhiri kekhalifahan Islam. Siapa pembunuh khalifah Ali bin Abi Thalib ra? Dialah Abdurrahman bin Muljam, seorang muslim dari aliran Khawarij. Ibnu Muljam adalah ahli al-Quran dan ahli fikih, bahkan seorang murid yang tekun berguru langsung kepada Mu’adz bin Jabal. Kehidupan sehari-hari Ibnu Muljam pun diisi dengan bergaul bersama orang-orang mulia (al-asyraf).
Abdurrahman bin Muljam juga "dosen", ustad, dan intelektual tersohor di Mesir. Di dekat rumahnya, ada sebuah masjid. Di masjid itulah, dia mengajar umat muslim tentang al-Quran dan ilmu fikih. Sampai-sampai jamaah yang datang belajar padanya meluber hingga ke halaman masjid dan halaman rumahnya (Syamsuddin ad-Dzahabi, “Tarjamah al-Muftari Abdirrahman bin Muljam Qathil Ali radhiyallahu anh”, dalam Siyar A’lam an-Nubala, juz 28, h. 287-8).
Di jaman modern, muslim-muslim pembunuh ini kita istilahkan sebagai teroris. Al-Qaedah, Islamic State Iraq and Syria (ISIS), Hizbut Tahrir, adalah organisasi muslim teroris modern. Para pembunuh ini mencita-citakan tegaknya kekhalifahan seperti era khalafaurrasyidin. Mungkin, mereka rindu pada jaman-jaman dahulu, dimana mereka bisa dengan mudah memenggal kepala para khalifah.
Jangankan hanya orang sekecil seperti Wiranto. Para khalifah sekaliber Umar, Usman dan Ali saja dibantai habis. Sebenarnya, para teroris ini tidak ingin menegakkan khilafah, tidak bertujuan menciptakan negeri yang penuh keadilan, makmur dan sejahtera. Tetapi, memang watak mereka sejak jaman khalafaurrasyidin adalah watak vampir yang haus darah. Itu saja, tidak lebih.
Seorang khalifah (baca: Umar, Usman, Ali), termasuk presiden dan menteri, halal dibunuh menurut kelompok muslim ini. Inilah bahaya kaum teroris berkedok Islam. Misal, Abdurrabbih al-Kabir dan mayoritas Khawarij sepakat bahwa Ali bin Abi Thalin telah kafir. Kelompok al-Aroziqah, sempalan Khawarij, malah lebih ekstrim.
Mereka menyebut, negara di bawah kepemimpinan Ali adalah Daru Kufrin (Negara Kafir). Bukan hanya Ali, tetapi Abu Musa wakil kubu Ali dan Amr hin Ash wakil Kubu Muawiyah juga kafir. Siapapun di negeri kafir, termasuk anak-anak kecil boleh dibunuh (Abul Hasan al-Asyari, Maqalat Islamiyyin, juz 1, Beirut: Maktabah Ashriyah, 1990, h. 170).
Penulis tidak heran apabila ada kelompok muslim yang menganggap Indonesia adalah Daru Kufrin (negara kafir), Pancasila sebagai ideologi thoghut. Jangankan hanya Pancasila, NKRI, UUD '45, Era Khalifah Ar-Rasyidah saja dituduh negara kafir. Lantas, bagaimana jika kita melihat dari sudut pandang dan sikap yang mesti dilakukan oleh pemerintah, khususnya dalam menyikapi teroris muslim yang haus darah ini?
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq memutuskan memerangi umat muslim yang menolak membayar zakat. Sebab, zakat pada waktu itu adalah simbol ketaatan rakyat pada negara. Pada mulanya, Umar bin Khattab menolak keputusan Khalifah Abu Bakar. Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, Umar pun ikut setuju berperang bersama Abu Bakar melawan umat muslim yang melawan negara.
Spirit melawan umat muslim yang makar terhadap negara berulang lagi. Pada Perang Shiffin di Daumatul Jandal, jawaban Islam pada era khalafaurrasyidin dalam menyikapi pihak-pihak yang menyerang kekuasaan sah sangatlah jelas. Khalifah Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk memerangi kubu pemberontak, Muawiyah bin Abi Sufyon. Tidak saja seorang muslim taat, Muawiyah sedang memperjuang nilai yang dia sebut sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa pelenyapan nyawa khalifah Usman bin Affan. Tetapi, khalifah Ali tahu bahwa itu makar. Tanpa rasa segan, Ali menurunkan pasukan untuk memerangi komplotan umat muslim yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sofyan.
*Penulis adalah Alumnus Universitas al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.