Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mendesaknya Pembentukan Kementerian Pesantren
Kementerian pesantren bertujuan mengembalikan jati diri kebangsaan yang telah banyak dikorupsi itu.
Editor: Husein Sanusi
Mendesaknya Pembentukan Kementerian Pesantren
Oleh: KH. IMAM JAZULI, Lc., MA.*
Negara kita sedang darurat terorisme. Paham Islam radikal-fundamental diimpor terus-menerus dari luar dan diproyeksikan menghancurkan peradaban nusantara yang telah dibangun susah payah oleh kaum santri.
Tanpa hendak berlebihan mengkritik pemerintah dan direkorat pesantren di Kementerian Agama, tapi inilah buah pahit yang harus ditelan karena telah mengabaikan kontribusi pesantren.
Pesantren telah banyak menanam saham kebangsaan untuk masa depan negara ini.
Tetapi, perlahan seiring berjalannya waktu, komunitas pesantren terus dipinggirkan. Sebanyak 28 ribu pesantren, puluhan ribu diniyah, dengan jumlah santri 8 juta jiwa, pelan dan pasti terus tersingkirkan oleh sistem sosial-politik. Jika kemudian kendali negara, pemerintah, dan kekuasaan dipegang oleh pribadi-pribadi yang rakus, materialistis, jauh dari pribadi adiluhung maka itulah konsekuensinya.
Jati diri keagamaan dan kebangsaan kita hari ini jauh dari idealisme historis. Padahal, jati diri sebuah bangsa terletak pada komitmennya untuk mempertahankan sejarah. Perubahan waktu yang terus-menerus dalam sejarah merupakan tantangan terberat agar tetap selalu ingat.
Salah satunya sejarah pesantren dalam konteks relasinya dengan dan posisinya di depan kekuasaan.
Usia pesantren sudah jamak diketahui setua periode Islamisasi atau dakwah Islam di bumi Nusantara. Sebagai wadah penggemblengan intelektual dan spiritual, pesantren berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat maupun penguasa (kerajaan ataupun kolonial).
Karenanya, para santri bukan semata berasal dari masyarakat biasa melainkan juga dari kalangan elit istana.
Raden Fatah, Raja Kerajaan Islam Demak pertama, adalah sosok seorang santri. Di bawah gemblengan intelektual dan spiritual Walisongo, Raden Fatah membangun kerajaan Islam.
Di kemudian hari, Sunan Gunung Jati sendiri yang menjabat sebagai Raja. Ini semua merepresentasikan kehadiran santri dan peran pesantren di pusat kekuasaan keraton, baik sebagai subjek aktif maupun objek pasif.
Memasuki era kolonialisme, kita dapat mengangkat sosok Pangeran Diponegoro sebagai representasi santri, yang tidak saja berbekal spiritualitas melainkan juga intelektualitas subversif pada penjajahan.
Di era paling belakangan, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari bersama para santri di bawah spirit Resolusi Jihad memperkuat hipotesa perlawanan santri dalam rangka merebut kekuasaan.