Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pendidikan Bukan Kelinci Percobaan
di mana nomenklatur kebudayaan dihilangkan. Sebagai gantinya, urusan kebudayaan kemudian dimasukkan ke Departemen Pariwisata.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pendidikan adalah pilar kebangsaan. Salah satu cara menaklukan sebuah bangsa adalah menguasai pendidikannya. Begitu juga pendidikan adalah sarana mencerahkan dan menyadarkan sebuah bangsa untuk bangkit dan merdeka.
Jika kita ingat, dulu para pendiri bangsa, mulai dari generasi Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, hingga generasi Soekarno, Hatta dan Sjahrir, juga memulai perjuangannya melalui lembaga pendidikan. Itu sebabnya, pendidikan harus diposisikan sebagai sektor vital dan strategis. Apalagi jika pembangunan sumber daya manusia (SDM) mau diprioritaskan.
Dengan latar belakang itu, saya bisa memahami kenapa penunjukkan Saudara Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masih diwarnai tanda tanya hingga hari ini. Sebagai urusan vital, sangat pantas jika publik berharap bidang ini dipimpin oleh orang-orang tepat dan mumpuni.
Masalahnya, Menteri Nadiem dianggap tak punya jejak di bidang pendidikan. Ia bukan berasal dari profesi pendidik, dan meskipun ia sukses di bidang lain, namun profesinya tak berkaitan langsung dengan bidang pendidikan.
Baca: Alasan Nadiem Makarim Terima Tawaran Jokowi Jadi Menteri Hingga Senang Jika Diremehkan
Selama ini Pemerintah memang cenderung menjadikan pendidikan sebagai arena uji coba kebijakan, padahal semuanya dilakukan hampir tanpa kajian mendalam. Akibatnya, bongkar pasang kebijakan kerap terjadi.
Dulu, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, di mana nomenklatur kebudayaan dihilangkan. Sebagai gantinya, urusan kebudayaan kemudian dimasukkan ke Departemen Pariwisata.
Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan secara konseptual jelas keliru. Sebab, secara filosofis, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Pendidikan merupakan instrumen untuk mewariskan, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan.
Meskipun pada zaman sekarang isi kebudayaan semakin banyak yang berasal dari sumbangan ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tadi bukanlah kebudayaan itu sendiri, melainkan sekadar produk saja dari kebudayaan yang menjadi induknya.
Kekeliruan konseptual tersebut baru dikoreksi pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), urusan kebudayaan dan pendidikan akhirnya kembali dipersatukan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Uji coba tanpa konsep mendalam semacam itu juga dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo lima tahun lalu. Meski diprotes banyak ahli, Presiden waktu itu telah memecah kementerian pendidikan menjadi dua, yaitu yang khusus mengurusi pendidikan dasar dan menengah, serta kementerian yang khusus menangani pendidikan tinggi.
Pemisahan tersebut telah membuat kebijakan pendidikan kita jadi kian terpecah di banyak sekali lembaga.
Sebelum adanya pemisahan itupun, manajemen pendidikan kita sudah tersebar di banyak sekali lembaga. Kementerian Agama, misalnya, sejak lama membawahi sekolah dan perguruan tinggi keagamaan.
Begitu juga dengan kementerian lainnya, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah lembaga lain, yang masing-masing mengelola sejumlah lembaga pendidikan di bawahnya.
Bisa dibayangkan, sesudah dipecahnya pendidikan tinggi menjadi kementerian sendiri, betapa banyaknya dapur kebijakan pendidikan di negeri kita.
Baca: Gaya Berpakaian Mendikbud Nadiem Makarim jadi Sorotan: Simple, Nggak Kaya Pejabat
Sekali lagi, perubahan-perubahan itu dilakukan hampir tanpa kajian apapun. Sepertinya semua itu hanya dilakukan dengan prinsip asal beda saja. Terbukti, sesudah lima tahun berjalan, kebijakan itu akhirnya dikoreksi sendiri oleh pemerintahan yang sama.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.