Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Desa Siluman: Sri Mulyani Vs Abdul Halim
Menurutnya, tidak ada desa fiktif, termasuk di Konawe. DD di sana, katanya, ada pertanggungjawabannya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Entah klaim siapa yang benar. Pun, bagaimana bisa klaim satu menteri berbeda dengan menteri lainnya, padahal mereka ada di dalam satu kabinet yang sama, yakni Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim ada desa siluman atau fiktif yang menerima kucuran Dana Desa (DD), Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar justru membantahnya. Ini tak elok bagi KIM, dan tak elok pula bagi debut Abdul Halim sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Senin (4/11/2016), Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR RI menyatakan muncul desa baru yang tidak berpenduduk atau desa siluman alias fiktif hanya untuk mendapatkan DD.
Padahal, alokasi DD dari tahun ke tahun terus meningkat, yakni Rp 20,67 triliun pada 2015, Rp 46,98 triliun pada 2016, Rp 60 triliun pada 2017, Rp 60 triliun pada 2018, Rp 70 triliun pada 2019 hingga Rp 72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyampaikan diduga ada 34 desa yang bermasalah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, tiga desa di antaranya fiktif, sementara 31 desa meski keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur (back date).
Saat desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kementerian Dalam Negeri, sehingga untuk mendapatkan DD, tanggal pembentukannya harus dibuat mundur.
Desa yang terus mendapat kucuran dana, meski diketahui bermasalah, ialah Desa Ulu Meraka di Lambuya, Desa Uepai dan Desa Moorehe di Uepai.
Meski demikian, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe menjamin anggaran DD yang telah disalurkan pemerintah pusat ke daerah tidak disalurkan ke ketiga desa itu.
Desa-desa tersebut diidentifikasi tidak sesuai prosedur karena menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas DD dan alokasi DD yang dikelola beberapa desa di Konawe tahun anggaran 2016 sampai 2018.
Pada 24 Juni 2019, Febri seperti dilansir sebuah media menjelaskan, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara di tahap penyelidikan di Markas Polda Sulawesi Tenggara, selanjutnya dilakukan pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam.
Sedangkan berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, ada empat desa yang diduga fiktif di Sulawesi Tenggara berdasarkan pemeriksaan tim pada 15-17 Oktober 2019 di provinsi tersebut.
Berdasarkan hasil komunikasi dengan Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa, keempat desa yang diduga fiktif tersebut sudah tidak menerima alokasi DD. DD tidak digelontorkan lagi sejak 2017.
Namun Abdul Halim membantah hasil pemeriksaan KPK dan Kemendagri tersebut.
Menurutnya, tidak ada desa fiktif, termasuk di Konawe. DD di sana, katanya, ada pertanggungjawabannya.
Menurut kakak kandung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ini, DD selalu dievaluasi sebanyak dua kali dalam setahun.
Penyaluran DD dilakukan secara bertahap, yaitu 20% pada tahap pertama, dan 40% masing-masing pada tahap kedua dan ketiga. Dana tersebut tidak akan cair jika suatu desa tidak memenuhi persyaratan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 225/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, syarat penyaluran DD tahap I yaitu penyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang tata cara pengalokasian dan rincian DD per desa.
Selanjutnya, dana akan dikucurkan jika ada laporan realisasi penyaluran DD tahun anggaran sebelumnya (untuk tahap II) atau sampai tahap II (untuk tahap III).
Ada pula laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian out put DD tahun anggaran sebelumnya (untuk tahap II) atau sampai tahap II (untuk tahap III).
Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi?
Seperti dilansir sebuah media, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) telah melakukan penyelidikan atas kasus dugaan korupsi anggaran DD atas 'desa siluman' di Konawe.
Pada medio Maret 2019, tim Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa bentukan Kementerian Desa menemukan tiga desa di dua kecamatan di Konawe, yang tidak memiliki wilayah, penduduk, kepala desa, dan struktur organisasi perangkat desa.
Ketiga desa tersebut adalah Desa Ulu Meraka Kecamatan Lambuya, serta Desa Uepai dan Desa Morehe di Kecamatan Uepai.
Ketiga desa tersebut merupakan penerima DD sejak 2015 lalu, berdasarkan bukti dokumen penyaluran DD pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Konawe.
Hasil temuan tersebut menunjukkan ketiga desa yang tidak memiliki wilayah itu telah menerima kucuran DD lebih dari Rp 5 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ketiga desa siluman tersebut sekarang sudah tidak menerima DD lagi, karena tidak memiliki nomor peraturan daerah (perda) tentang pembentukannya.
Keputusan tersebut berdasarkan permintaan Satgas Dana Desa kepada Kementerian Keuangan.
Dari hasil pemeriksaan, terdapat 23 desa tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah.
Lantas, bagaimana prosedur pembentukan sebuah desa?
Desa, menurut Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2014 tentang Desa,adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan desa merupakan salah satu bentuk kegiatan penataan desa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Penataan desa tersebut terdiri dari pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa.
Pembentukan desa merupakan tindakan mengadakan desa baru di luar desa yang ada.
Pembentukan desa dapat berupa pemekaran dari 1 desa menjadi 2 desa atau lebih, penggabungan bagian desa dari desa yang bersanding menjadi 1 desa; atau penggabungan beberapa desa menjadi 1 desa baru.
Pembentukan desa harus memenuhi syarat-syarat, yakni batas usia desa induk paling sedikit 5 tahun terhitung sejak pembentukan; jumlah penduduk, yaitu wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga; wilayah Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.000 kepala keluarga; wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 kepala keluarga.
Lalu wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 jiwa atau 600 kepala keluarga;wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 jiwa atau 500 kepala keluarga; wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 kepala keluarga; wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 jiwa atau 300 kepala keluarga; wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 jiwa atau 200 kepala keluarga; dan wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 jiwa atau 100 kepala keluarga.
Juga, wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah; sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat desa; memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang telah ditetapkan dalam peraturan bupati/ walikota; sarana dan prasarana bagi Pemerintahan desa dan pelayanan publik; dan tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat pemerintah desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bila demikian, mengapa wilayah fiktif atau wilayah yang hanya didiami beberapa gelintir orang bisa dibuat desa, dan mendapat DD pula? Bagaimana dengan DD yang sudah terlanjur dikucurkan?
Siapa yang harus bertanggung jawab? Mengapa pula Menteri Desa membantah? Inilah "PR" bagi pemerintah dan aparat penegak hukum, termasuk KPK.
Instruksi Presiden Joko Widodo sudah cukup tegas: tangkap penerima DD dari desa siluman, dan tangkap pula pembentuk desa siluman itu.
Lalu bagaimana dengan silang pendapat Menkeu Sri Mulyani versus Mendes Abdul Halim Iskandar soal desa siluman itu, apa memang ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba keduanya?
Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Ketua Komisi IV yang Kini Komisi V DPR RI, Penggagas Cikal Bakal Dana Desa sebesar Rp 250 juta per Desa di Kabupaten Tertinggal Sejak 2002.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.