Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pola Baru Komunikasi Rakyat dan Negara
Secara normatif penguasa negara bersama aparatnya adalah pihak yang paling bertanggung jawab di dalam menghadapi masalah yang terjadi di masyarakat
Editor: Toni Bramantoro
OLEH : Patricia Leila Roose
Secara normatif penguasa negara bersama aparatnya adalah pihak yang paling bertanggung jawab di dalam menghadapi masalah yang terjadi di masyarakat, negara dan bangsanya.
Baik dia disebut sebagai Raja atau istilah lainnya dalam pandangan klasik selalu disimpulkan sebagai yang maha kuat, sakti, penyayang dan bijak.
Selama berabad- abad mitos semacam ini sangat kuat diyakini baik para penguasa maupun sebagian besar rakyatnya.
Dari simbol-simbol negara, pakaian para pemimpin dan kekuasaan besar yang dimilikinya, memperkuat satu realitas politik dalam hubungan rakyat dan penguasa negara.
Pada masa itu umumnya para Raja juga ikut memimpin langsung operasi-operasi militer, diantara mereka juga menulis karya sastra, memimpin tim dalam pengumpulan bahan- bahan dan menyusunnya. Seperti pengalaman kaisar di China.
Dalam relasi timpang antara rakyat dan penguasa maka semua soal diambil alih oleh penguasa negara sementara rakyat seminim mungkin untuk bisa mengetahui apa-apa yang akan terjadi di negaranya.
Memasuki era pencerahan bergeserlah pola hubungan rakyat dan negara, atau yang sering disebut gelombang demokrasi. Kalau pada jaman sebelumnya, pemimpin memiliki 2 sumber legitimasi baik dari Tuhan maupun dari rakyatnya.
Sekarang berubah basis legitimasinya bahwa pemimpin dipilih oleh rakyat. Hal ini mengindikasikan ada keseimbangan antara kuasa rakyat dan kuasa negara.
Konsekuensi dari tatanan baru tersebut, pengetahuan rakyat dan negara memungkinkan menjadi seimbang. Apalagi setelah Hak Asasi Manusia menjadi dialog sehari-hari warga negara di belahan bumi manapun.
Lantas apakah tradisi-tradisi lama itu sudah sirna di era sekarang? Sampai sekarang masih bisa kita lihat atribut para pemimpin dan atribut negara sebagai salah satu sisi pensakralan.
Meskipun jarang kita temui lagi para pemimpin di satu negara memimpin operasi militer, tetapi di dalam konstitusinya masih menyebutkan Presiden sebagai pemimpin tertinggi dari kalangan bersenjata.
Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara ( disebutkan dalam UUD Republik Indonesia tahun 1945).
Kita masih bisa melihat tradisi-tradisi klasik para pemimpin yang masih hidup sampai hari ini, terutama bagaimana mereka mensikapi situasi kritis di negaranya. Padahal di dalam sistem demokrasi, apalagi di era digital ini informasi sangat mudah didapat oleh warga yang melek teknologi.
Pengalaman Indonesia saat ini menunjukkan, di dalam menghadapi kecenderungan resesi yang akan terjadi, pemerintah masih sering mengalihkan perhatian masyarakat dengan isu-isu tertentu dan tidak menghadapinya dengan cara-cara baru di dalam situasi hubungan rakyat dan negara yang seimbang.
Para Menteri yang selalu mengatakan bahwa ekonomi aman seolah-olah tidak terjadi sesuatu adalah cara-cara klasik yang harus segera ditinggalkan.
Pemerintah harus tampil dan menjalankan apa yang akan terjadi pada ekonomi kita, dan mengajak semua potensi yang ada di masyarakat untuk memulai dialog dan menghadapi bersama resesi yang akan segera kita hadapi itu.
Dari situ akan muncul gagasan-gagasan segar yang terukur karena muncul dari pengalaman nyata keseharian, kehidupan nyata masyarakat dan bukan muncul dari reduksi atas situasi yang terjadi oleh para penyelenggara negara semata.
Kemudian langkah kongkrit secara cepat harus segera dilaksanakan dalam program-program yang sifatnya partisipatif serta menghindari retorika para pemimpin dan "pengail di air keruh".
Justru momentum ini bisa dipakai untuk memberdayakan masyarakat secara transparan dan ikhlas. Sehingga muncul kepedulian dan partisipasi yang tinggi dari semua elemen masyarakat.
Cara ini diharapkan bisa menghindari turbulensi politik yang sangat mungkin terjadi pada saat resesi mulai mendera dengan deras di bumi pertiwi ini.
Pemerintah harus benar- benar terbuka dan berbesar hati untuk berdiri setara dengan kekuatan- kekuatan rakyat di dalam mengatasi berbagai macam masalah.
Dengan hanya mengandalkan terobosan dengan tim kabinet yang berwajah " CEO" pasti tidak akan menyelesaikan masalah. Karena situasi keseharian rakyat makin lama makin sulit dan pada saatnyalah sekarang rakyat diajak kerjasama secara setara. Saya yakin rakyat pasti mampu untuk keluar dari masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya segera tinggalkan gaya-gaya relasi dan komunikasi politik gaya klasik, dan segera masuk ke gaya baru yaitu "Revolusi Mental" yang autentik dan bukan yang retorik.
* Patricia Leila Roose .S.H, M.H
Praktisi hukum pengamat hukum tata negara dalam Foccus Group Discussion, sabtu 23 November 2019 diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno.