Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apa yang Bisa Dilakukan, Jika Reputasi Anda Bernasib Seperti Eks Bos Garuda?
Sifat krisis yang datangnya mendadak dan tidak terduga menyebabkan sulitnya antisipasi krisis, sekaligus keruwetan dalam upaya memulihkannya krisis.
Editor: Dewi Agustina
Oleh: Budi Purnomo Karjodihardjo
SULIT? Bingung? Tidak tahu harus berbuat apa? atau lebih baik diam? Mungkin itu beberapa alternatif jawaban yang muncul dalam pikiran Anda menghadapi masalah krisis.
Harus diketahui bahwa krisis yang menimpa eks bos Garuda bisa terjadi kepada bos BUMN yang lainnya juga.
Bukan hanya BUMN, tapi korporasi swasta juga. Jadi harus waspada.
Sifat krisis yang datangnya mendadak dan tidak terduga menyebabkan sulitnya antisipasi krisis, sekaligus keruwetan dalam upaya untuk memulihkannya krisis ke titik normal.
Krisis yang menimpa eks bos Garuda berasal dari tiga arah. Pertama, tudingan. Kedua, bencana karena kesalahan. Dan, ketiga kritik.
Kalau membaca media (baik medsos maupun mainstream) semuanya menjadi tsunami krisis yang saling susul-menyusul.
Pemicu krisis bisa berasal dari pihak luar eksternal, dan bisa juga dari internal.
Sayangnya dalam kasus eks bos Garuda ini disebabkan oleh internal, yang jika ditelusuri lebih mikro lagi, adalah dirinya sendiri.
Bagi pemerintah, kasus ini menjadi momentum yang sangat baik untuk memberikan peringatan sangat keras agar bos BUMN tidak main-main dalam pengelolaan usaha milik pemerintah itu.
Bahkan Menkeu RI Sri Mulyani sudah mengeluarkan rating BUMN mana yang kategori nyaris bangkrut, waspada, atau aman berdasarkan score tertentu.
Menurut saya, ini juga sinyal teguran yang sangat keras bagi BUMN yang kondisi finansialnya dalam tanda bahaya.
Bos BUMN yang terjaring dalam zona bahaya mestinya mengambil langkah yang aman untuk memberikan kontribusi maksimal untuk memperbaiki kinerja keuangan BUMN yang dikelolanya.
Jika tidak? kita tidak tahu apa yang terjadi di depan. Terpeleset sedikit saja, bos BUMN bisa menjadi model susulan seperti yang terjadi pada eks bos Garuda.
Menjadi momentum penting untuk gebrakan awal bagi pemerintahan baru membersihkan BUMN.
Reputasi Jatuh
Itu sudah pasti. Setiap krisis pasti akan menjatuhkan reputasi, citra, dan nama baik koorporasi/personal.
Daya rusak reputasinya tergantung kepada besar kecilnya krisis, apakah badai angin atau tsunami.
Berdasarkan persepsi publik yang dilansir oleh Newstensity terhadap dua isu, yaitu soal barang mewah ilegal di Garuda dan pemecatan bos Garuda, hasilnya warna merah, artinya mayoritas mengganggap negatif.
Data yang diambil untuk setiap isu adalah 500 media (untuk persepsi media), sedangkan untuk persepsi publik diperoleh dari data hampir 5000 tweet.
Sedangkan tokoh terkaitnya adalah Menteri BUMN Erick Thohir, Menkeu Sri Mulyani, dan Menhub Budi Karya Sumadi.
Tokoh terkait adalah narasumber yang paling sering dijadikan sumber rujukan pemberitaan di media.
Dengan demikian, pandangan saya, krisis yang menimpa eks bos Garuda adalah badai angin yang disertai tsunami.
Bencana krisis yang sangat besar yang bisa jadi akan diikuti dengan gempa susulan yang lebih besar.
Mungkinkah bos BUMN membantah tudingan menteri, apalagi sampai tiga menteri sekaligus? Saya kira persoalannya bukan soal bantah-membantah.
Ini adalah masalah nyata yang sulit dibantah karena sudah terbukti sebagai pelanggaran oleh tim gabungan dari kementerian tersebut.
Saat Press Conference gabungan Menteri Sri dan Menteri Erick memaparkan secara terang benderang mengenai kronologi penyelundupan Harley Davidson tipe Shovelhead keluaran 1972 dan sepeda Brompton.
Lalu Harus Bagaimana?
Sebenarnya menjawab soal ini Menteri Erick sudah memberikan kata kuncinya, yaitu agar setiap bos BUMN memiliki jiwa Samurai, kalau salah minta maaf dan mengundurkan diri.
Berdasarkan referensi, Samurai adalah salah satu prajurit elite di Jepang.
Samurai ini berbeda dengan para prajurit elite yang lainnya, Samurai ini memiliki Bushido (kode etik) yang bagus untuk dicontoh.
Setidaknya, ada dua kode etik.
Pertama, Makoto atau Shin (Kejujuran dan tulus-iklas). Seorang Samurai harus memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya.
Kedua, Meiyo (Kehormatan) atau menjaga kehormatan diri.
Bagi samurai cara menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan pintas yang melanggar moralitas.
Selain dua hal di atas, sebenarnya ada lima atau enam kode etik samurai yang lainnya.
Sayang, hal tersebut tidak dilakukan atau belum sempat dilakukan oleh bos Garuda, karena Menteri Erick lebih ngebut memecat duluan.
Mestinya setiap bos BUMN bisa menangkap sinyal dari bosnya dan mengimplementasikannya dengan komunikasi yang tepat secara elegan.
Perspektif Restorasi Reputasi
Setiap orang pada prinsipnya memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin reputasinya baik, nama baiknya tidak ternoda, dan citranya bersinar.
Kalau orangnya salah? Sama saja.
Orang yang salah atau orang benar, orang yang buruk atau orang yang baik selalu ingin reputasinya baik.
Itukah sebabnya mengapa bisnis jasa layanan pencitraan atau pun jasa manajemen reputasi berkembang cukup baik.
Teori ilmu komunikasi terkait praktek manajemen reputasi ini pun bermunculan.
Seperti yang ditemukan oleh Prof William Benoit, yaitu Image Restoration Theory (atau pemulihan citra/restotasi reputasi).
Dalam perspektif teori Benoit, kata kunci "maaf" dan "mundur" yang disampaikan Menteri Erick merupakan implementasi dari strategi paling pamungkas dari teori pemulihan citra ini, strategi Mortification.
Taktik dari strategi Mortification adalah minta maaf karena ada kesalahan.
Meminta maaf merupakan perbuatan yang terpuji. Minta maaf juga menunjukkan komitmen untuk bersegera memperbaiki diri.
Hingga saat ini sikap elegan eks bos Garuda belum termonitor media. Padahal strategi Mortification ini belum cukup.
Mengapa? Masih ada lagi faktor kerugian yang diderita oleh pihak lain, dalam hal ini negara (bea dan cukai).
Menteri Sri menyebut kerugian negara mencapai Rp 1,5 miliar. Belum lagi pihak yang ikut terseret kasus ini.
Sehingga selain strategi Mortification, mestinya strategi Reducing Offensiveness of Event juga digunakan, terutama taktik Compensation.
Taktik ini adalah memberikan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab atau menebus kesalahan yang telah terjadi.
Lihat Langkahnya, Ambil Hikmahnya
Nasi sudah menjadi bubur, dan bubur pun barangkali sudah rusak juga. Eks bos Garuda tidak terlihat mengambil langkah komunikasi apapun juga.
Tidak terlihat seperti situasi krisis, meskipun situasinya sudah sangat genting dan gaduh.
Dia masih berdiam diri, tidak ada suara meskipun suara "no comment". Mungkin, sebentar lagi kita akan menyaksikan akhir ceritanya.
Saya berpendapat, bos BUMN akan memanen hasil komunikasi yang berbeda, jika eks bos Garuda ini melakukan tahapan-tahapan manajemen reputasi secara tepat dan menyampaikannya secara elegan.
Setidaknya pesan yang disampaikan mengandung beberapa muatan strategis terkait restorasi citra, pada saat yang tepat, sebagai berikut:
Pertama, minta maaf atas kesalahan yang sudah dilakukan. Permintaan maaf kepada semua pihak, mulai dari pihak pemerintah sampai karyawan.
Kedua, nyatakan pengunduran diri. Pengunduran diri adalah bentuk dari tanggung jawab atas kesalahan yang sudah dilakukan.
Ketiga, mengganti denda dan kerugian negara. Pernyataan ini adalah bentuk penyesalan yang sangat mendalam sekaligus janji bahwa ke depannya akan memperbaiki diri.
Jika perlu nyatakan kesiapannya menerima konsekuensi hukum.
Keempat, ucapan terima kasih. Ucapan ini sebaiknya diapresiasikan untuk semua jajaran karyawan dari yang terkecil yang sudah bersama-sama membantu pekerjaannya.
Tentu saja sangat tidak tepat karena sudah sangat terlambat jika dilakukan saat ini.
Saat yang tepat adalah sebelum Menteri Erick memecat bos BUMN, tapi lebih tepat lagi sebelum disuruh mundur.
Tidak ada jaminan apakah setelah melakukan upaya restorasi citra di atas akan mendapat perlakuan yang lebih baik atau sama saja.
Dari sisi komunikasi, strategi inilah yang disebut paling elegan oleh Benoit yang juga menulis buku "Accounts, Excuses, and Apologies" (2014).
Barangkali hal ini juga termasuk "harakiri" pasukan Samurai dalam menjaga kehormatan dirinya yang sangat dihormati di Jepang.
Mungkin, itu saja hikmah yang bisa diambil.