Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Orang Kaya Bermental Miskin
"Sesusah apa pun, orang miskin tidak boleh mencuri. Berbeda dengan orang kaya. Sebab hukum diciptakan untuk orang kaya."
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
"Sesusah apa pun, orang miskin tidak boleh mencuri. Berbeda dengan orang kaya. Sebab hukum diciptakan untuk orang kaya."
TRIBUNNEWS.COM - Minggu (22/12/2019) sore, sambil memandangi rintik hujan dari balik jendela, iseng-iseng aku menyaksikan siaran berita di televisi sambil menyeruput kopi hitam yang disajikan istri tercinta, Ririn Widati.
Entah pada seruputan ke berapa, tiba-tiba kerongkonganku tercekat: ribuan "moge" dan "mowah" menunggak pajak. Petugas pun melakukan razia hingga ke mal-mal! Demikian kata presenter di televisi itu. Alamak!
Ya, sekitar 2,2 juta kendaraan bermotor di DKI Jakarta ternyata menunggak pajak sekitar Rp 2,1 triliun. Kendaraan yang menunggak pajak itu bervariasi, tak terkecuali "moge" (motor gede) dan "mowah" (mobil mewah) yang bernilai jual di atas Rp 1 miliar yang jumlahnya sekitar 1.500 unit.
Untuk "mowah", jumlah tunggakan pajaknya memang cukup tinggi, seperti Lamborghini yang mencapai Rp 150 juta, Ferrari Rp 200 juta, dan Roll Royce hampir Rp 1 miliar per unit. Ada pula mobil Rubicon yang menunggak pajak hingga tujuh tahun.
Paradoksal, memang. Para pemilik moge dan mowah tentu bukan orang sembarangan. Pastilah mereka orang kaya, dan orang kaya biasanya pendidikannya tinggi, sehingga selera kendaraannya pun tak kalah tinggi.
Baca: Kuli Bangunan Kaget Ditagih Pajak 200 Juta untuk Mobil Mewah yang Bukan Miliknya, Curigai Mantan Bos
Bagaimana tidak paradoksal atau kontradiktif? Sering kali oknum-oknum pengendara moge atau mowah itu tampil gagah-gagahan di jalanan, bahkan ada yang ugal-ugalan serta suka menerabas rambu dan marka jalan, tapi ternyata mentalnya pengecut, takut membayar pajak.
Bagaimana orang kaya, dan biasanya pendidikannya juga tinggi, bisa menunggak pajak?
Menunggak pajak sama dengan mengemplang, dan mengemplang sama dengan mencuri. Apa orang kaya memang boleh mencuri, seperti ungkapan bernada satire yang aku kutip di awal tulisan ini?
Ada berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab. Pertama, mungkin dari sisi jumlah harta tergolong kaya, tapi secara mentalitas sesungguhnya mereka tergolong miskin.
Kedua, mungkin mereka bermental culas. Mereka bertindak curang untuk menghindari pajak yang merupakan kewajiban bagi setiap warga negara, dengan berpura-pura lupa atau lalai atau mungkin juga sengaja tidak membayar pajak.
Mereka tak mempan ditegur dan ditagih dengan surat, sehingga petugas harus door to door ke rumah mereka masing-masing, bahkan harus ke mal-mal atau pusat perbelanjaan tempat mereka nongkrong.
Ketiga, mungkin ada pihak tertentu yang melindungi atau menjadi backing mereka, sehingga ada yang sampai tujuh tahun menunggak pajak. Apakah di jalanan mereka tak pernah tersentuh razia hanya karena motornya gede atau mobilnya mewah?
Ini mungkin ada kaitannya dengan budaya menerabas.
Koentjaraningrat dalam bukunya "Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan" (1974) menulis, sikap mental menerabas merupakan salah satu kelemahan nilai budaya bangsa Indonesia.
Menurut Koentjaraningrat, mentalitas menerabas adalah sifat negatif dan tercela yang melekat pada diri seseorang untuk mencapai maksud dan tujuan secara cepat tanpa banyak melakukan kerja keras secara bertahap. Mentalitas menerabas identik dengan cara mengambil jalan pintas yang dilakukan seseorang guna mencapai tujuan secara mudah.
Mentalitas menerabas, demikian Koentjaraningrat, antara lain dilakukan pengusaha baru yang ingin memperoleh kekayaan melimpah dengan cara aji mumpung (meraup keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan) atau pejabat yang memperkaya diri mumpung ia menjadi pejabat atau penguasa.
Fenomena ini dapat dilihat secara nyata dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Korupsi adalah jalan pintas, melawan hukum, tidak sah, atau tidak halal yang ditempuh pelakunya untuk mencapai tujuan (meraup keuntungan atau memperkaya diri).
Mentalitas
Fenomena orang kaya bermental miskin memang marak di Ibu Kota. Lihatlah di mal-mal mewah saat digelar pesta diskon.
Banyak orang kantoran, pagawai berdasi atau pengusaha muda yang mungkin tergolong OKB (orang kaya baru) rela antre berjam-jam, bahkan terkadang sampai menginap segala, untuk memburu barang incarannya dengan harga miring.
Lihat pula di pusat-pusat perbelanjaan menengah ke bawah di mana banyak konsumen antre di kasir yang melayani KJP (Kartu Jakarta Pintar) dengan mengenakan perhiasan emas mewah di leher dan kedua lengannya.
Keluar dari kasir, ada yang menelepon suami, sanak keluarga atau sopirnya supaya menjemputnya di lobi dengan mobilnya. Demi KJP, mereka rela memanipulasi data dan menggadaikan harga dirinya.
Data menunjukkan, sekitar 300.000 KJP di DKI Jakarta tidak tepat sasaran.
Fenomena di Ibu Kota ini kontras dengan fenomena di kampung-kampung. Ribuan keluarga miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur penerima PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kementerian Sosial terpaksa mengundurkan diri gara-gara di dinding rumahnya dipasang cap,label atau stiker PKH, bahkan ada yang ekstrem ditambahi tulisan semacam sumpah, "Bila saya berbohong maka siap dilaknat Allah" dengan besaran dan warna tulisan yang cukup mencolok.
Mengapa banyak orang kaya di kota, dan biasanya berpendidikan tinggi, bermental kere atau miskin dan rela menggadaikan harga dirinya?
Mengapa di desa banyak orang miskin, biasanya pendidikannya rendah, punya gengsi atau harga diri sehingga rela mengorbankan bantuan pemerintah yang berhak mereka terima demi mempertahankan harga diri atau harkat dan martabatnya?
Di Jakarta ada fenomena martabak lebih penting ketimbang martabat. Sebaliknya di desa. Ini terjadi karena mungkin kehidupan di kota telah sedemikian kerasnya.
Itulah fenomena paradoksal di kota dan di desa yang membutuhkan penelitian lebih lanjut dari para pakar.
Hanya saja, kaya atau miskin sebenarnya terletak pada mentalitas. Dikutip dari berbagai sumber, orang bermental miskin menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi gengsi dan gaya hidup. Mereka tak ragu membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang mewah dan bermerek hanya untuk terlihat ‘wah’ dan borjuis.
Sementara orang bermental kaya tidak peduli akan hal tersebut. Mereka membelanjakan uang untuk hal-hal yang benar-benar menjadi kebutuhan, sehingga bisa menyisihkan penghasilan yang akan semakin menambah pundi-pundi kekayaan mereka.
Orang bermental kaya membeli fungsi, orang bermental miskin membeli gengsi.
Saat membeli barang, orang bermental kaya akan lebih mengutamakan fungsi daripada gengsi. Mereka lebih memilih untuk membeli barang yang tidak terlalu mewah namun awet dan berkualitas daripada harus membeli barang bermerek yang harganya melebihi kualitasnya.
Sebaliknya, orang bermental miskin tidak terlalu peduli dengan fungsi karena lebih mengutamakan gengsi. Asal terlihat keren dan ‘wah’, barang mahal pun tetap dibeli.
Alhasil, sambil melancarkan seruputan pamungkas atas kopi yang masih tersisa, tulisan ini pun diakhiri dengan ucapan terima kasih kepada istri, karena di tanggal yang sudah tak muda lagi ini, si cantik itu masih sanggup menyuguhkan secangkir kopi beserta sepiring pisang kepok goreng yang bagi kami tergolong mewah.
Istriku pun bergumam, kaya atau miskin memang soal mentalitas.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.