Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Upah Per Jam, Madu atau Racun?

Secara prinsip, UMR, UMP atau UMK adalah jaring pengamanan agar pekerja tidak terjebak dalam kemiskinan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Upah Per Jam, Madu atau Racun?
HO/Tribunnews.com
Dr Anwar Budiman SH SE MH MM. 

Oleh: Dr Anwar Budiman SH SE MH MM

TRIBUNNEWS.COM - Medio Januari 2020, pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, untuk merevisi atau menggantikan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Salah satu poin krusial dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersebut adalah perubahan skema pengupahan pekerja, dari semula gaji bulanan dengan Upah Minimum Regional (UMR), Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi upah per jam. Pengupahan benar-benar didasarkan atas produktivitas pekerja.

Saat ini dengan skema gaji flat atau tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama. Sedangkan dengan upah per jam, upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerja.

Baca: Jokowi Mau Rombak Sistem Upah Karyawan, Gaji Bulanan Akan Dibayar Per Jam, Setuju?

Sebagai praktisi hukum sekaligus aktivis perburuhan, saya melihat ada madu sekaligus racun di balik wacana skema upah per jam ini. Madu bagi pengusaha, racun bagi pekerja. Kok bisa?

Bagi pengusaha, upah per jam ini ibarat madu. Itu akan menguntungkan mereka. Sebab, upah benar-benar didasarkan atas produltivitas pekerja. Bagi pekerja yang sakit atau ada halangan lain sehingga tidak masuk kerja, perusahaan tidak akan membayar.

Perusahaan juga akan terbebas dari kewajiban memberikan tunjangan sosial, tunjangan kesehatan dan lain-lain, karena tunjangan-tunjangan itu hanya diberikan saat pekerja berada dalam jam kerja.

Berita Rekomendasi

Perusahaan mungkin juga akan terbebas dari kewajiban membayar pesangon bila pekerja berhenti bekerja, baik karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pun karena mengundurkan diri.

Sebaliknya, bagi pekerja, skema upah per jam ini ibarat racun. Betapa tidak?

Secara prinsip, UMR, UMP atau UMK adalah jaring pengamanan agar pekerja tidak terjebak dalam kemiskinan.

Prinsip ini juga tertuang dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Skema pengupahan per jam dapat menjadikan pekerja menerima upah di bawah UMR, UMP atau UMK per bulan. Setiap pekan jam kerja pekerja di Indonesia mencapai 40 jam.

Bila 40 jam itu terpenuhi, maka pekerja mendapat upah setara dengan upah minimum. Lalu bagaimana bila jam kerja pekerja di bawah 40 jam per minggu?

Jumlah jam kerja ini bisa bergantung pengusaha karena mereka yang berkuasa.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas