Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Habis Terang Terbitlah Gelap

Melihat cara dan gaya orang Indonesia dalam melihat sejarah secara umum bisa dibedakan antara kelompok orang yang sekedar melihat " tokoh"

Editor: Toni Bramantoro

Oleh: Patricia Leila Roose

Melihat cara dan gaya orang Indonesia dalam melihat sejarah secara umum bisa dibedakan antara kelompok orang yang sekedar melihat " tokoh" dalam peristiwa dan orang yang melihat " pokok" dalam peristiwa.

Orang-orang Indonesia seperti kebanyakan negeri dunia ketiga lainnya, lebih melihat tokoh peristiwa daripada pokok peristiwa.

Maka tidak mengherankan umumnya orang Indonesia mengenal dengan baik tokoh dalam sejarah dan bukan pokok dalam sejarah.

Sebagai ciri dalam masyarakat feodal lebih melihat, mengagungkan dan mengagumi tokoh dibanding pokok di dalam peristiwa itu.

Cara pandang demikian memiliki beberapa kelemahan antara lain; konsentrasi melihat sepak terjang sang tokoh dan apa yang menjadi gaya serta kontroversi dari tokoh tersebut.

Inilah barangkali yang menyebabkan sesuatu yang muncul berwujud pikiran, konsep dan penalarannya, tidak pernah diingat dan dipikirkan.

Berita Rekomendasi

Barangkali karena pola klien-patron yang kuat di dalam masyarakat Indonesia dan kebiasaan memperdebatkan ide masih belum menjadi budaya kita.

Tapi di dalam masyarakat yang lebih rasional cenderung melihat "pokok" peristiwanya. Yaitu mengedepankan pergulatan pemikiran yang terjadi, polemik ide dengan siapa, tantangan-tantangan apa yang dihadapi serta gagasan revolusioner apa yang pernah dilahirkan.

Jadi posisi tokoh menurut cara pandang ini hanya dilihat sebagai bagian dari pergulatan peristiwa. Maka tidak heran apabila di dalam menentukan dan menetapkan hari besar nasional di Indonesia, pendekatan yang dipakai lebih menekankan pada tokoh atau heroisme di dalam peristiwa itu, dan tidak menempatkan pokok peristiwa sebagai penentuan hari besar nasional.

Sebagai contoh hari Pendidikan Nasional dimaknai sebagai hari lahir Ki Hajar Dewantara semata, bukan kesadaran serentak rakyat melawan sistem pendidikan kolonial pada saat mendirikan sekolah-sekolah sarekat rakyat.

Penetapan hari ibu adalah contoh lain dari pemaknaan hari nasional yang sengaja direduksi maknanya menjadi sekedar ada kegiatan perempuan pada tanggal 22 Desember 1928 itu.

Cukup dengan penetapannya sebagai hari besar nasional seolah-olah ingin menunjukkan pada publik bahwa kaum perempuan juga beraktifitas dan berdaya pada zaman kolonial itu.

Jarang diantara kita yang mengetahui bahwa pada konggres perempuan pertama melahirkan keputusan-keputusan penting. Tanggalnya sudah tepat tapi pemaknaannya perlu ditinjau ulang.

Dari berbagai sumber sejarah yang cukup meyakinkan ternyata muncul ide-ide yang revolusioner di dalam konggres perempuan pertama itu. Salah satu ide progresif yang muncul yaitu semangat anti poligami.

Saat itu ketertindasan perempuan masih ada dan kebiasaan poligami masih kuat di masyarakat. Padahal pikiran anti poligami adalah pikiran maju pada saat itu. Tapi pikiran-pikiran progresif yang muncul dalam konggres tersebut kurang dikenal oleh generasi berikutnya.

Oleh karena itu tanggal 22 Desember tidak hanya sebagai Hari Ibu yang terkesan normatif dan tidak dinamis. Tapi sudah selayaknyalah Pemerintah menetapkan tanggal 22 Desember tersebut sebagai hari jatidiri perempuan Indonesia agar kita tidak terjerembab pada habis terang terbitlah gelap. Seperti buku Kartini yang kita kenal, Habis gelap terbitlah terang, tidak pernah menjadi kenyataan.

*Patricia Leila Roose. SH, MH. Praktisi hukum , pengamat Hukum Tata Negara disampaikan pada diskusi hari Ibu, yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Magister Hukum UBK, Sabtu 21 Desember 2019

Patricia Leila Roose. SH, MH foto4
Patricia Leila Roose. SH, MH
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas