Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Terowongan Toleransi dan Ironi Politik Simbolik Jokowi

Hidup berbangsa dan bernegara menjadi sangat puitis. Penulis suka menyebutnya sebagai kebebasan beradu tafsir.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Terowongan Toleransi dan Ironi Politik Simbolik Jokowi
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Terowongan Toleransi dan Ironi Politik Simbolik Jokowi

Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Suatu era telah datang; semua orang bisa bermain makna dan tafsir; semua orang berhak melempar simbol. Dalam kajian sosial humaniora, ini dapat dibilang sebagai “era simbolik”. Untuk menunjukkan toleransi, Jokowi tinggal melontar wacana pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral di depannya. Untuk mengkritiknya pun tinggal menyebutnya sebagai nirsubstansi, terlalu fisikli, dan seterusnya.

Hidup berbangsa dan bernegara menjadi sangat puitis. Penulis suka menyebutnya sebagai kebebasan beradu tafsir. Pemerintah diibaratkan sebagai seorang pengarang (author) dan segala kebijakan dan program pembangunannya sebagai karya (text). Rakyat dari segala lapisan sosial berperan sebagai penafsir (reader). Dan terowongan Istiqlal-Katedral bagaikan sebuah karya puisi dari pemerintah.

Jacques Derrida kalau tidak salah melontarkan konsep “Différance”, suatu perangkat analisa untuk melakukan penundaan makna. Siapa pun orangnya perlu pandai-pandai menahan diri, lebih cermat dan teliti dalam menganalisis, dan mengambil sikap setepat-tepatnya tanpa harus merasa diri paling benar sendiri. Boleh jadi pihak pro-Jokowi yang benar, atau malah yang kontra-Jokowi yang benar.

Misal saja, hampir wacana kontra datang dari pihak umat muslim. Sementara pihak Gereja Katedral menyambut baik rencana pembangunan tersebut. Pastor Kepala Gereja Katedral Jakarta, Romo Albertus Hani, mengatakan: “kami sangat mendukung wacana tersebut karena menegaskan kembali semangat dan ide Bung Karno saat menetapkan lokasi Masjid Nasional berdampingan dengan gereja Katedral,” (Republika, 10/2/2020).

Sebaliknya, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan: “menurut saya yang diperlukan sekarang itu bukan silaturahmi dalam bentuk fisik seperti terowongan, tapi silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial,” (Wartaekonomi, 13/2/2020). Lebih keras dari Muhammadiyah, Ketua Media Center Persaudaraan Alumni (PA) 212, Novel Bamukmin, mengatakan: “dari sisi agama Islam sangat terlarang, karena masjid harus suci dari sentuhan orang yang beragama di luar Islam,” (Tagar, 11/2/2020).

Berita Rekomendasi

Sementara Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj, mencoba untuk tidak berada dalam kubu yang saling berseberangan dan lebih memilih posisi tengah. Beliau berpihak pada posisi netral dengan mengaku belum paham maksud dan arah pembangunan. Kata Kiai Said, “Saya nggak paham itu. Apa tujuannya? Apa nilai budayanya? Apakah agama atau nilai? Apakah politik atau politis? Saya nggak paham,”(Dailynews, 9/2/2020).

Wacana pembangunan terowongan toleransi ini bukan perkara aneh. Kejadian-kejadian semacam ini merupakan persoalan fenomena sosial interaksionis simbolik. Para aktor sosial berhubungan satu sama lain dengan cara memainkan tafsir atas simbol-simbol dari perbuatan mereka, entah itu urusan politik, ekonomi, kebudayaan, seni, maupun agama. Apa ada yang dirugikan dan diuntungkan?

Penulis rasa, tidak ada yang akan dirugikan. Sebaliknya, pertarungan wacana itu menguntungkan oleh memperkaya khazanah pemikiran. Dengan catatan, pro-kontra dan konflik wacana jangan sampai diterjemahkan ke dalam aksi-aksi anarkis. Sehingga muncul perusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum dan mengganggu keamanan dan ketertiban. 

Jokowi gagal di level ini. Pemerintah tidak mampu mengolah kontroversi dan polemik wacana, sehingga ketertiban dan keamanan jadi korbannya. Konflik sosial terjadi dimana-mana dengan pola yang sama. Belakangan intoleransi beragama terjadi di Bantul, D.I. Yogyakarta antara umat Muslim versus umat Hindu (Tempo, 13/2/2020), trauma pembakaran gereja di Aceh Singkil 2015 hingga kini belum rampung (BBC, 22/11/2019),  aktor pembakaran masjid Tolikara, Papua, oleh kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI) malah diundang ke Istana (Nahimunkar, 17/10/2015).

Kegagalan demi kegagalan Jokowi dalam mengatasi intoleransi agama membuat Zuhairi Misrawi menyebutnya sebagai hutang presiden yang belum lunas hingga hari ini (Facebook, 13/2/2020). Lebih miris, agenda tersebut merupakan perkara paling diabaikan oleh presiden. Penulis juga berpikir, pemerintah tidak memiliki kecerdasan untuk melampaui rakyatnya.

Akhirnya, setiap lontaran isu dan wacana kebijakan pembangunan tidak pernah mengundang decak kagum rakyat. Itu alasan mengapa filsuf Yunani, Plato, mengusulkan konsep Philosopher king; di mana negara dipimpin oleh presiden yang cerdas akal pikirannya, bukan dipimpin oleh kelas tentara maupun pebisnis. Jokowi terlalu cenderung untuk melabeli dirinya sendiri dengan karakter sebagai “trader king” dalam bahasa Plato, bukan presiden filsuf yang bijaksana.

Jangan heran apabila negara dipimpin oleh trader king (presiden yang pengusaha) atau oleh warrior king (presiden yang tentara), celah konflik berdarah itu terbuka lebar. Presiden dan jajarannya bersaing dengan rakyatnya sendiri dalam mencari untung. Jika ada masalah keagamaan, maka itu tidak terbaca dengan teliti dan bijak. Mungkin ini alasan Jokowi berpikir toleransi beragama akan berhasil dengan membangun terowongan fisik antara Istiqlal dan Katedral. Apa ini tidak tampak lucu?!

Alhasil, terowongan Istiqlal-Katedral merupakan penyelesaian teknis dari seorang yang pikirannya selalu bervisi proyek pembangunan fisik. Presiden tampak limbung di hadapan rakyatnya sendiri. Ketika tidak mampu menyelesaikan “konflik berdarah” secara politik-idealis, pilihan terakhirnya pembangunan fisik-simbolik. Naif sekali.[]

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas