Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pembaruan PPHN Merespons Perubahan
Artinya, para elit jangan hanya berpikir atau melihat PPHN sekadar dalam konteks kekinian, apalagi hanya dalam kerangka politik praktis
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pembaruan atau penyesuaian Halauan Negara praktis merupakan keniscayaan agar pembangunan berkelanjutan negara-bangsa leluasa beradaptasi dengan roda perubahan zaman yang terus berputar.
Sejumlah negara sudah beradaptasi dengan membarui cita-cita atau halauan masa depan. Visi-misi ‘Make America Great Again’ yang dikumandangkan Donald Trump diterima penuh antusias oleh komunitas pemilih sehingga kandidat dari Partai Republik itu memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) tahun 2018.
Baca: Ahli Hukum Tata Negara Sebut Perlu Referendum Jika Ingin Hidupkan GBHN
Untuk mengembalikan kejayaan AS, Trump melancarkan perang dagang dengan Cina dan negara lain yang dinilanya hanya mengambil keuntungan sepihak dari pasar AS. Dengan perang dagang itu, Trump mencampakan aturan main perdagangan global yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO).
Trump juga tak malu menunjukan sikap diskriminatif dengan menggagas pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko guna mempersempit akses para imigran. Sebagai kelanjutannya, Trump akan menggunakan slogan ‘Keep America Great’ untuk kampanye pemilihan presiden tahun 2020 ini.
Di Eropa, Inggris akhirnya keluar dari penyatuan ekonomi atau pasar tunggal Uni ropa (UE) pada awal tahun 2020 ini. Sejak awal prosesnya, publik Inggris berhasil diyakinkan oleh penggagas Brexit bahwa Inggris menanggung rugi besar dengan statusnya sebagai anggota UE. Jepang di bawah Kaisar Naruhito sejak Mei 2019 juga memasuki era baru, Reiwa (harmoni).
Cina mencapai kedigdayaan ekonominya saat ini karena konsisten dengan halauan negara yang dirumuskan sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping pada dekade 70-an. Deng, pada 1978, menggagas pembaruan yang dikenal dengan Gaige Kaifang atau reformasi dan keterbukaan.
Di Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed Bin Salman membarui halauan kerajaan itu dengan Visi Arab Saudi 2030.
Baca: Ahok Cerita Alasan Ingin Dipanggil BTP, Tersadar oleh Pertanyaan Ibu-ibu Bhayangkari
Pembaruan halauan negara-negara itu tentu saja digagas untuk merespons perubahan zaman yang menghadirkan banyak tantangan baru. Pada era disrupsi sekarang ini, Indonesia pun bukan hanya telah menyadari perubahan itu, tetapi telah pula melakoni sebagian dari perubahan itu, yang ditandai dengan serba digitalisasi dan otomatisasi dalam kegiatan sehari-hari.
Tetapi, pada saat yang sama, muncul juga kesadaran bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menanggapi seluruh perubahan itu. Ketika banyak komunitas terus beradaptasi dengan era Industri 4.0, sudah muncul tantangan terdekat yang disebut society 5.0, atau juga disebut revolusi Industri 5.0.
Bagi kebanyakan orang, rangkaian perubahan zaman itu -- dari era Industri 4.0 ke Society 5.0 -- tentu saja terasa sangat cepat. Namun, semua perubahan itu sulit dihindari.
Baca: Ashraf Sinclair Meninggal Dunia, Andien Sebut Suami BCL Pergi dengan Tenang: Bahkan Tersenyum
Dan, karena itulah setiap negara-bangsa terus berupaya membarui halauannya masing-masing agar cepat beradaptasi. Dewasa ini, keseharian masyarakat Indonesia juga diwarnai dengan wacana mengenai pembaruan halauan negara-bangsa.
Tema yang dikedepankan oleh MPR RI adalah pembaruan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Setelah Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN) tidak lagi diadopsi sejak 1998, halauan negara dituangkan dalam apa yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Esensinya sama saja.
Sayangnya, kehendak melakukan pembaruan halauan negara memunculkan isu tentang upaya menghidupkan lagi GBHN dan menjadikan presiden sebagai mandataris MPR, yang otomatis bertanggung jawab pula kepada MPR.
Padahal, pembaruan halauan negara tidak seharusnya ditempatkan dalam kerangka politik pembagian atau politik alokasi kekuasaan negara. Seperti banyak negara lainnya, halauan negara harus memuat cita-cita atau ambisi negara-bangsa dalam rentang waktu puluhan tahun ke depan.
Pembaruan halauan negara mulai diwacanakan sejak MPR periode 2004-2009, berlanjut ke periode 2009-2014 dan terus hingga MPR periode 2014-2019.
Baca: Meghan Markle Disebut Cemburu pada Kate Middleton dan Sengaja Merusak Momen Ulang Tahunnya
Pertanyaannya, apakah RPJPN dan RPJMN pada rentang periode waktu itu sudah mengantisipasi ragam perubahan pada era disrupsi sekarang ini? Karena tuntutan perubahan itulah MPR periode sekarang pro aktif mewacanakan lagi amandemen terbatas Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Rumusan dan muatan PPHN harus mencerminkan kehendak negara-bangsa melihat perubahan di masa depan.
Dalam konteks ini, PPHN hendaknya dipahami dan dilihat sebagai road map pembangunan berkelanjutan negara-bangsa dalam rentang waktu belasan atau puluhan tahun ke depan. Disusun dan dirumuskan oleh MPR, lembaga negara yang beranggotakan wakil rakyat dari unsur DPR RI dan DPD RI.
Sekali lagi, kehadiran PPHN tidak serta merta mengembalikan status MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pun, tidak otomatis menjadikan presiden sebagai mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden tetap bertanggungjawab langsung kepada rakyat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat.
PPHN sejatinya tak hanya memperkuat sistem presidensial, melainkan justru akan mendukung dan memperkuat kinerja presiden hasil pemilu 2024 dalam membangun bangsa dan negara. Sebab, semua agenda pembangunan nasional sampai tahun 2045 akan dirangkum secara garis besar dalam PPHN.
Tentu saja agenda pembangunan dalam PPHN memuat juga dorongan kepada Presiden untuk mengantarkan negara-bangsa mampu menanggapi perubahan, semisal pada era Society 5.0 nanti. Karena memuat semua agenda pembangunan, PPHN pun wajib menjadi pegangan bagi semua pemerintah daerah.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tinggal melaksanakannya, sesuai visi-misi dan kreativitas masing-masing. Konsekuensinya, koordinasi antara pusat dengan daerah, yang selama ini sering berbenturan atau bahkan bertolak belakang, akan diminimalisir.
Sedangkan untuk mekanisme check and balances atas pelaksanaan PPHN akan dilaksanakan oleh DPR RI. Selain karena memiliki sejumlah Alat Kelengkapan Dewan (AKD), setiap komisi di DPR juga bermitra kerja dengan kementerian atau lembaga (K/L). Dari waktu ke waktu, semua AKD akan mengawasi kinerja K/L sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan PPHN.
Melalui Sidang Tahunan MPR, presiden bisa mempertanggungjawabkan pencapaian PPHN kepada rakyat, dengan difasilitasi MPR. Rakyatlah yang menilai berhasil atau tidaknya presiden melaksanakan PPHN. Bukan MPR.
Selain itu, Indonesia memiliki unwritten constitution atau konvensi ketatanegaraan yang mengatur pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI. Dimulai tanggal 15 Agustus yang diisi dengan agenda laporan kinerja tujuh lembaga tinggi negara kepada rakyat, meliputi MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY dan BPK.
Kalau selama ini laporan kinerja tujuh lembaga tinggi negara itu disampaikan oleh presiden, nantinya bisa disampaikan langsung oleh masing-masing ketua lembaga tinggi itu sehingga bisa lebih komprehensif. Barulah pada 16 Agustus, presiden sebagai kepala negara menyampaikan pidato kenegaraan untuk melaporkan akuntabilitas kinerja pemerintahannya.
Apakah UUD NRI 1945 akan mengalami perubahan terbatas atau tidak, harus diputuskan oleh MPR periode 2019-2024. Karena itu, MPR terus melakukan silaturahim kebangsaan ke berbagai organisasi masyarakat, tokoh bangsa, partai politik hingga unsur pers.
Masih berkait dengan amandemen UUD NRI dan urgensi pembaruan PPHN, MPR juga mengajak semua komunitas untuk menyadari dan melihat perubahan di masa depan yang akan dihadapi Generasi Milenial dan Generasi-Z.
Artinya, para elit jangan hanya berpikir atau melihat PPHN sekadar dalam konteks kekinian, apalagi hanya dalam kerangka politik praktis untuk kepentingan jangka dekat.
Pembangunan berkelanjutan negara-bangsa akan berlangsung ditengah perubahan demi perubahan zaman. Semua perubahan itu menutut penyesuaian atau pembaruan pendekatan. Itulah urgensi pembaruan PPHN.