Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kecintaan Rakyat Pada Sukarno: Realitas versus Survei Indo Barometer
Oleh karena itu, menguji tingkat kesukaan responden terhadap masing-masing presiden RI tidak bisa dibandingkan secara apple to apple.
Editor: Rachmat Hidayat
Maka terlalu gegabah jika menyimpulkan bahwa presiden Jokowi atau Soeharto lebih unggul dari Sukarno. Kesimpulan yang sesuai kaedah dan metodologi adalah diantara ketiga presiden posisinya seimbang, sama-sama disukai karena terjadi persaingan ketat diantara ketiga presiden.
Kedua, mengukur tingkat kesukaan tokoh dalam survei opini publik memang tidak ada larangan. Berbagai lembaga survei sering melakukan hal yang sama untuk mengukur akseptabilitas tokoh atau kandidat.
Tetapi menjadi berbeda maknanya ketika membandingkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap masing-masing figur Presiden RI, meskipun sekali lagi saya tegaskan, bahwa hal itu merupakan bagian dari kebebasan intelektual dan juga kebebasan berpendapat bagi masyarakat untuk menilai masing-masing presiden.
Dalam hal ini bisa menimbulkan bias pemahaman ketika terjadi generalisasi. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab timbulnya bias pemahaman, yaitu; referensi dan literasi responden tentang rekam jejak masing-masing presiden tidak sama.
Baca: Juul Labs dan Distributor PT JUL Menangguhkan Penjualan Baru ke Mitra Ritel di Indonesia
Selain itu, ada ketimpangan antar generasi karena setiap generasi hidup di zaman yang berbeda. Tidak semua orang yang hidup di zaman yang berbeda mengetahui sejarah perkembangan setiap pemerintahan secara komprehensif dan obyektif.
Ketiga, mengukur tingkat kesukaan responden terhadap semua mantan presiden RI juga tidak bisa disamakan dengan calon kepala daerah maupun calon presiden pada kontestasi elektoral. Alasan dan latar belakang pengetahuan responden untuk menyatakan suka terhadap masing-masing kandidat yang dikenalinya masih bisa dipahami karena rekam jejak kandidat relatif lebih mudah ditelusuri.
Oleh karena itu, menguji tingkat kesukaan responden terhadap masing-masing presiden RI tidak bisa dibandingkan secara apple to apple. Begitu pula membandingkan semua mantan presiden dengan presiden yang masih aktif dan membandingkan presiden yang sudah lama meninggal dengan presiden yang masih hidup akan mempengaruhi penilaian subyektif dan kurang fair.
Sementara itu perasaan suka sangat dipengaruhi oleh persepsi publik dimana tingkat pemahaman responden terhadap sosok mantan presiden berbeda-beda. Sedangkan, pada hakekatnya penilaian responden terhadap figur yang dinilai tergantung pada referensi, literasi dan opini yang kemudian mengkonstruksi persepsi.
Pada umumnya, persepsi dipengaruhi oleh opini yang didasarkan pada kondisi kekinian. Sedangkan, masing-masing presiden merupakan pemimpin pada zamannya. Setiap presiden memiliki tantangan yang berbeda dan rekam jejak sejarah kesuksesan pada zamannya yang tidak bisa hanya diukur dengan angka kesukaan.
Tidak semua hal harus diukur menggunakan pendekatan.kuantitatif. Sementara faktor kualitatif yang semestinya menjadi bagian dari penilaian terhadap masing-masing presiden diabaikan.
Baca: Secara Umum Sulit untuk Melihat Keberhasilan dan Kegagalan Pemerintah kata Karyono Wibowo
Dalam perspektif etika, hasil survei yang mengukur dan membandingkan tingkat kesukaan masyarakat terhadap masing-masing presiden sejatinya bukan hal yang penting dan substansi. Justru dipandang kurang etis karena implikasinya menimbulkan saling ketersinggungan satu dengan yang lain.
Meski tidak ada maksud untuk membenturkan, tetapi dampaknya telah menimbulkan resistensi dari sejumlah pihak yang berpotensi mendorong segregasi sosial.
Baca: Survei Pilpres 2024 Indo Barometer, Prabowo Terancam Dijegal Anies Baswedan, Militer Vs Jiwa Sosial