Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa
Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh: Marwan Jafar
Anggota Fraksi PKB DPR RI
TRIBUNNERS - Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.
Tetapi kalau kita menyelami lebih dalam disadari atau tidak, terkait dinamika sosial itu terkesan ada benih-benih permasalahan interaksi sosial yang relatif kurang baik, dan sangat memerlukan kewaspadaan kewaskitaan kita sebagai warga bangsa sekaligus warga dunia.
Salah satu persoalan yang mendesak itu adalah berkaitan dengan fenomena segregasi sosial alias kecenderungan orang memisahkan diri dari orang-orang lain--segregation versi Webster's Dictionary: cut off from others or separate by races--atau untuk lebih senang berinteraksi dengan orang lain yang sama secara etnik atau yang lain.
Baca: Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie Bakal Dievaluasi kata Hendry Saputra
Baca: Penjelasan tentang PPh 21 dan Aturan Wajib bagi Pemberi Serta Penerima Upah Kerja
Dengan ungkapan lain, boleh jadi salah satu karakter luhur bangsa yang sering diistilahkan sebagai multikultural, pluralistik atau keberagaman yang menjadi realitas bangsa ini akan bisa terusik oleh segregasi sosial. Di sisi lain, fenomena tersebut juga bisa menghambat terciptanya sistem sosial, politik dan ekonomi yang sehat dan demokratis.
Secara historis dan berdasarkan tinjauan disiplin ketatanegaraan kita, pada masa sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)--cikal bakal DPR RI--28 hingga 1 Juni 1945 tercatat tiga tokoh bangsa menyampaikan ide-idenya secara sangat brilian-argumentatif, yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.
Mendapat kesempatan pada hari kedua, Soepomo mengungkapkan gagasan tentang paham negara integral. Ia menyodorkan gagasan negara integralistik sebagai sistem negara yang dipandangnya cukup ideal masa itu.
Ia berpendapat bahwa negara yang Indonesia adalah satu kesatuan antara pimpinan dan rakyatnya yang tidak memihak tidak mengenal dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal tirani minoritas. "Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan corak masyarakat Indonesia,” ucap Soepomo sebagaimana dicatat dalam Risalah Sidang BPUPKI.
Konsep integralistik Soepomo merujuk pada gagasan tiga filosof besar abad 18 dan 19, yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel yang juga ia sebut dalam pidatonya di hadapan anggota sidang.
Hanya berselang lima tahun berikutnya, ketika itu juga terjadi di dalam perdebatan pada forum sidang parlemen atau DPR masa RIS (Republik Indonesia Serikat), kembali mencuat gagasan hebat tentang sebuah mosi--menurut KBBI, mosi adalah: keputusan rapat, misalnya di parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat--yang disampaikan oleh Mohammad Natsir.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, mosi itu adalah Mosi Integral Nasir yang merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatunya kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah negara kesatuan.
Waktu itu, Natsir menolak jabatan sebagai Menteri Penerangan dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Secara gesit-cerdas,
Natsir pun kemudian melancarkan lobi ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan melakukan pendekatan ke daerah-daerah, serta akhirnya ia formulasikan dalam frasa dua kata ”Mosi Integral”.
Ia menyampaikan mosinya itu ke forum Parlemen atau DPR-RIS pada 3 April 1950. Mosi tersebut diterima baik oleh pihak pemerintah, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta saat itu menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman untuk memecahkan persoalan bangsa dan negara.
Dalam konteks gejala segregasi sosial seperti disebut pada paragraf awal, sangat mudah ditemui pula bila sejenak kita menengok pada sharing maupun chatting peralatan gawai atau gadget pintar, melalui berbagai aplikasi media sosial seperti WhatsUp, Twitter, Facebook maupun dalam bentuk Instagram.
Sebagian cukup besar bukankah berisi narasi-narasi yang dibanjiri ujaran kebencian (hate speech), kabar bohong (hoax) atau berita palsu (fake news) yang amat mengganggu akal sehat. Maksudnya, kita sungguh sangat prihatin dan tidak habis pikir mengapa kenyataan sosial yang terefleksikan melalui berbagai media sosial bisa begitu mudah muncul. Dalam batas tertentu, hal itu menunjukkan keterbelahan maupun anomali sosial yang bisa jadi terpicu karena faktor agama, sosial, politik, ekonomi, etnis hingga ideologi.
Bahkan sebagian lagi medsos warga publik juga mengarah atau terang-terangan melancarkan semacam ketidakpercayaan (distrust) terhadap pencapaian-pencapaian kinerja pemerintah. Namun demikian, kita bersyukur masih cukup banyak warga masyarakat di perkotaaan ataupun pedesaan pada kenyataannya secara obyektif dan jujur tetap mampu mengakui serta menghargai kinerja implementatif sejumlah kebijakan negara.
Intinya, kalau pun terdapat pèrbedaan penilaian atas kinerja perekonomian pemerintah, hal ini harus disikapi dengan lapang dada dan boleh jadi merupakan proses alamiah yang harus dilalui oleh perjalanan sejarah sebuah bangsa. Secara retorik kita dapat bertanya, apakah gelombang jaman seperti ini yang mesti diarungi oleh bangsa kita terutama pada era millenium ketiga yang memang tidak mudah.
Sosiolog Jerman, Max Weber, membagi tindakan sosial warga masyarakat--yang tentu saja bukan sosmed--menjadi empat tipe. Tipe pertama, rasional-instrumental, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh rasionalitas sang aktor demi mencapai tujuan tertentu, seperti transaksi ekonomi.
Tipe kedua, rasional nilai, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu, seperti berdoa bersama karena nilai agama. Tipe ketiga, afeksi, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh perasaan seorang individu, seperti menangis atau tertawa.
Tipe keempat, tradisional, mengacu pada tindakan sosial warga masyarakat yang dilandasi oleh tradisi atau dilakukan berulang-ulang sejak zaman dahulu, contohnya mudik.
Selain itu, pada karya buku Objectivity in Social Science (1904), Weber mencetuskan sebuah konsep bernama tipe ideal.
Tipe ideal mengacu pada berbagai terminologi yang digunakan oleh ilmuwan sosial, untuk menangkap karakteristik-karakteristik penting dari sebuah fenomena--semisal empat tipe tindakan sosial tadi.
Yang jelas, tipe ideal membantu ilmuwan sosial agar tetap objektif dalam mengkaji sebuah fenomena. Terlepas dari fungsinya untuk menjaga ilmuwan sosial agar tetap objektif, Weber menyatakan bahwa tipe ideal bisa berbeda dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan.
Sebagai contoh, seorang sosiolog bisa saja menyatakan bahwa penggunaan atribut keagamaan oleh individu merupakan bentuk tindakan sosial rasional nilai suatu agama, karena tindakan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan tertentu.
Namun pada kenyataannya, penggunaan atribut keagamaan pasti melibatkan faktor-faktor eksternal lain seperti faktor emosi dan tradisi.
Maksudnya, tipe ideal hanya dapat digunakan untuk menjelaskan satu aspek spesifik dari sebuah fenomena. Pada gilirannya, seorang ilmuwan sosial juga harus mampu menjelaskan secara detail mengapa ia memilih untuk menggunakan terminologi tipe ideal tersebut.
Menggunakan pendekatan dari pemikiran postmodernisme filosof-sosiolog Michel Foucault, kita dapat terbantu buat memaknai sejumlah masalah sosial, ekonomi dan politik yang tetap muncul sebagai bagian dari praktek kehidupan sehari-hari.
Seiring dengan itu, ia juga dikenal memiliki analisis sangat kritis terhadap proyek modernisme. Ia telah menyumbangkan analisis kritis terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari sudut pandang yang jauh berbeda dengan teori kritik lainnya.
Dia juga memperkenalkan bagaimana kaitan antara wacana, pengetahuan dan kekuasaan secara jelas. Pada hematnya, berbicara tentang wacana, berarti kita juga dapat membahas mengenai aturan-aturan, dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu rentang historis tertentu.
Maksudnya, sebuah wacana akan berkaitan erat pula dengan konsep kekuasaan. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah ada sebelumnya.
Ia mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya, bahwa kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Dalam hal ini ia tidak memisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Melanjutkan pemikiran eratnya kaitan pengetahuan dan kekuasaan tersebut, kita dapat teringat dengan beberapa pesan motivatif oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang sangat intelektual, agar warga bangsa terus optimis menapaki perkembangan jaman.
Presiden pertama RI Ir Soekarno pada kesempatan pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan tahun 1949 menegaskan, kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali.
Tahun 1963, di kesempatan serupa Bung Karno kembali menandaskan, bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Satu lagi ungkapan Putra Sang Fajar yang terkenal menyatakan, perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
Tak mau kalah dengan sang presiden, wakil presiden pertama RI Drs Muhammad Hatta juga mewariskan beberapa kalimat bijaknya. Beliau berpesan, jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri.
Secara sangat bijak, Bung Hatta juga mengingatkan, kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.
Menggunakan ungkapan alegoris, negarawan yang dikenal santun dan sederhana ini menyatakan, hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang.
Begitu juga dengan pergerakan rakyat. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan. Namun dengan amat tajam Hatta yang sangat terpelajar mengingatkan, makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.
Dalam konteks mengapa dan bagaimana pengalaman sejumlah negara mampu mengatasi dan keluar dari kesulitan seperti krisis ekonomi--termasuk tentu saja pengalaman Indonesia sendiri--menarik buat kita jadikan referensi atau introspeksi.
Ambil contoh, ketika bangsa Amerika Serikat saat akhir dekade 1920-an dilanda depresi besar. Melalui program New Deal Presiden AS waktu itu Franklin D Roosevelt melancarkan 47 program yang dibagi dalam tiga tahapan eksekusi dari 1933 sampai 1939.
Program-program itu meliputi penutupan dan pemeriksaan kepada semua bank agar dapat sehat secara finansial, pemotongan gaji pegawai pemerintah maupun militer sebesar 15 persen, mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar emas dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan, maupun kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani buat menyelamatkan ladang ternak dari penyitaan. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Amerika merangkak naik secara signifikan.
Kepada rakyatnya, Roosevelt juga menyuntikkan keyakinan, bahwa: Tugas pemimpin bangsa ialah membujuk, memimpin, berkorban, serta selalu mengajari rakyat. Tugasnya yang terpenting adalah mendidik. Selain itu, ia selalu menyalakan tekad optimisme: Kami selalu berpegang pada harapan, keyakinan, dengan keyakinan bahwa ada kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih baik, di luar cakrawala, We have always held to the hope, the belief, the conviction that there is a better life, a better world, beyond the horizon.
Tengok juga pengalaman menyakitkan bangsa Jepang yang hancur lebur pasca Bom Atom, mampu bangkit bersama pemimpinnya.
Sejumlah sejarawan, seperti penulis buku Hirohito And The Making of Modern Japan (2009) Herbert P. Bix, menggambarkan Hirohito sebagai sosok yang reputasiya melebihi kepala negara. Bagi rakyat Negeri Sakura, Hirohito adalah keturunan dewa matahari Amaterasu.
Bix memaparkan, Jepang saat itu benar-benar sudah hancur. Bom atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi klimaks serangan udara AS.
Barang kebutuhan langka. Inflasi melesat naik. Transportasi lumpuh. Industri mandek. Ekonomi compang-camping. Belum lagi dengan ancaman serangan dari Uni Soviet usai dipatahkannya pakta netralitas kedua negara.
Melalui pidato jaringan radio, Hirohito mengajak rakyat untuk berjuang demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama semua bangsa, serta keamanan dan kesejahteraan rakyat kita, adalah kewajiban serius yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan yang dekat dengan hati kita.
Tegasnya, bangsa Jepang boleh bangkrut. Tapi semangat hidup warganya tak pernah surut. Ideologi ultra-nasionalisme dibuang. Demokrasi disambut. Etos kerja dan kedisiplinan yang menakjubkan membuat Jepang mudah bangkit.
Para ahli menyebutnya sebagai keajaiban karena pertumbuhan ekonomi Jepang melesat dalam durasi dan skala yang melampaui ekspektasi orang-orang. Sejarawan Robert J. Crawford menganalisis di kanal Harvard Bussines Review dengan judul Reinterpreting the Japanese Economic Miracle (edisi Februari 1998). Ia menulis, hingga pertengahan 1950-an ekonomi Jepang mengalami penyembuhan berkat sejumlah kebijakan reformasi ekonomi dari pemerintah.
Masih terkait bagaimana para pemimpin dunia membangun negara-bangsa, pengalaman Afrika Selatan dan Singapura juga bisa kita jadikan pelajaran berharga. Selama puluhan tahun, Afrika Selatan juga didera masalah segregasi sosial atau tepatnya segregasi rasial yang akut.
Tokoh sentral yang tak lelah memperjuangkan nasib etnis atau golongan kulit hitam yang menderita akibat politik apartheid kulit putih adalah Nelson Mandela.
Dunia mengakui dia sebagai tokoh luar biasa yang memberi inspirasi bagi semua manusia. Mandela bisa menjadi tokoh besar abad ini dan sebagai inspirator dalam konteks membangun keberadaan bangsa bermartabat. Ia tidak pernah pro-terhadap kekerasan dan tidak dendam apa pun kepada mereka yang pernah menzalimi dan memenjarakan.
Tujuan perjuangannya, menyatukan segenap elemen bangsa untuk mendapat kedamaian dan kemajuan. Keinginan dan tekad besar Mandela adalah meyatukan kelompok anak bangsa yang berbeda, dan dia berhasil secara par excellent.
Nelson Mandela menjadi Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Ia orang Afrika Selatan berkulit hitam pertama yang memegang jabatan tersebut.
Pemerintahannya berfokus pada penghapusan pengaruh apartheid, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta mendorong rekonsiliasi nasional.
Sebagai presiden, Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di bawah rezim apartheid sebelumnya dan memperkenalkan berbagai inisiatif yang dirancang untuk meningkatkan standar hidup rakyat Afrika Selatan.
Mandela bersama FW de Klerk yang mantan presiden terakhir Afsel apartheid mendapat hadiah Nobel Perdamaian 1993. Beberapa tahun kemudian, 1997, lahir sebuah film televisi bertitel "Mandela and de Klerk" yang disutradarai oleh Joseph Sargent serta dibintangi oleh Sidney Poitier dan Michael Caine.
Film tersebut mengisahkan tentang proses negosiasi antara De Klerk dan Mandela pada peralihan menuju akhir apartheid di Afrika Selatan dan dinominasikan pada sejumlah penghargaan internasional pada 1997 dan 1998.
Jangan lupa pula, ternyata Nelson Mandela yang pernah yang akrab dipanggil Madiba oleh rakyatnya, memiliki kekaguman terhadap Presiden pertama Indonesia Soekarno.
Di mata Mandela, Soekarno adalah tokoh yang membakar semangatnya buat memperjuangkan rakyat Afrika Selatan. Sekilas kisah kekaguman dia terhadap Bung Karno, terekam baik saat Mandela datang ke Indonesia pada Oktober 1990 dan mengunjungi Gedung Asia Afrika di Bandung.
Dia terkesan karena Asia-Afrika adalah konferensi pertama yang membangunkan bangsa Asia- Afrika dari penjajahan, termasuk bangsa Afrika Selatan. Banyak ucapan Mandela yang menjadi kalimat bijak. Antara lain, Human beings have got the ability to adjust to anything.
Sementara itu, mari kita melongok pengalaman Singapura. Tak ada yang menyangsikan kemajuan perekonomian Singapura di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Negara ini menjadi negara pertama di Asia yang dituju oleh para investor dunia sebelum masuk ke negara lain.
Setelah resmi berpisah dari Federasi Malaysia pada 1965, Singapura tak memiliki apa-apa. Luas wilayah hanya kurang lebih 700 kilometer persegi. Tak memiliki sumber daya alam apa pun. Saat itu, tingkat pengangguran cukup tinggi. Negara juga rentan sengketa antar suku bangsa--China, India dan Melayu--serta antara kelompok konservatif dan komunis. Mereka sibuk memperebutkan kekuasaan politik di tanah tersebut.
Perdana Menteri Lee dikenal memiliki wawasan luas dan mampu menggunakan untuk mengenali Singapura dan berbagai potensinya.
Menurut Channel News Asia, dia menanamkan ideologi kesejahteraan saat memimpin. Ia melihat jika warga negara terpenuhi kebutuhan pokoknya, maka mereka akan fokus bekerja.
"Dan fokus utama pemerintah adalah bagaimana mencari pendapatan buat menghidupi para warga Singapura. Lalu kami mulai melakukan investasi di berbagai bidang," ujar Lee saat itu.
Satu terobosan yang dibuatnya adalah memberikan jaminan rumah kepada seluruh warga Singapura. Mereka yang semula tinggal di jalanan menjadi memiliki tempat tinggal meskipun mungil. Selain itu, negara juga tidak memungut pajak yang besar kepada rakyatnya.
Setelah masalah warga selesai, pemerintahnya kemudian mencoba meningkatkan ekspor ke negara-negara maju di Barat dan Jepang. Langkah tersebut dilakukan buat meningkatkan fundamental perekonomian dan mendorong cadangan devisa.
Di era pemerintahannya, ia melakukan berbagai pergerakan yang menunjukkan bahwa bukan sumber daya alam yang paling penting untuk membangun kesejahteraan bangsa. Kuncinya justru adalah menciptakan lingkungan di mana para penduduk dapat berkembang.
PM Lee juga dikenal pribadi berdisiplin tinggi. Semua sisi ia beri aturan agar keteraturan tercipta.
Dia juga dikenal sangat keras. Dia tak punya toleransi sedikit pun untuk para pelaku korupsi. Guna menghindari keinginan para pejabat untuk korupsi dan menarik orang-orang berkemampuan tinggi untuk jadi birokrat, ia membayar para PNS dengan gaji tinggi.
Menurut Indeks Korupsi Dunia 2014, Singapura adalah salah satu negara yang relatif bersih dari korupsi di dunia. Lembaga Transparansi Internasional juga mencatat, Singapura mendapat nilai 84 dalam hal pemerintahan yang bebas korupsi. Nilai tersebut menempatkan Singapura sebagai negara dengan pemerintahan paling bersih di seluruh Asia.
Tanpa pengecualian, dia benar-benar membesut berbagai sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Terlihat dari bagaimana ia meningkatkan sektor infrastruktur tapi juga mengembangkan sumber daya manusianya sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi Singapura.
Salah satu prestasi paling luar biasa pemerintahnya adalah terciptanya Housing Development Board/HDB (Badan Pengembangan Sektor Perumahan). Lembaga tersebut mampu mengubah warga miskin Singapura yang tinggal di jalanan, menjadi pemilik apartemen yang meski kecil tapi bersih dan modern.
HDB telah membantu harga rumah di Singapura jauh lebih terjangkau dibanding kota-kota utama di China, Hong Kong, atau Tokyo. Ia meyakini, kepemilikan rumah yang merata di seluruh penjuru negara akan membuat Singapura menjadi lebih stabil.
Di bawah arahan PM Lee, seluruh warga juga melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari membersihkan jalanan hingga mengembangkan sistem pendidikan sekolah dasar terbaik di dunia.
Berdasarkan perhitungan Lee, seluruh kegiatan itu dapat menarik perusahaan-perusahaan asing dan pegawai terampil yang dapat membantu perekonomian Singapura berkembang lebih cepat. Kebijakan itu dilakukan pada era di mana China, India dan sebagian besar negara di Asia Tenggara masih tertutup bagi investasi guna menghindari para kapitalis.
Dunia pun seakan menyambut seluruh kerja keras PM Lee, menjadikan Singapura sebagai salah satu tujuan investasi paling diminati bagi perusahaan-perusahaan internasional.
Seperti ditulis oleh Forbes (2015), Lee mengundang secara pribadi sejumlah perusahaan itu untuk membantu transformasi Singapura menjadi negara teknologi.
Sebuah studi yang dilakukan pada 2011 mencatat, Singapura sebagai lokasi paling unggul untuk perusahaan-perusahaan Eropa yang ingin mendirikan pusat bisnis di kawasan Asia Pasifik-- termasuk korporasi sekelas Microsoft, Google, Exxon Mobil, dan Kellogg's. Singapura kini memiliki lebih dari dua kali lipat pusat bisnis regional dibandingkan Tokyo.
Di bawah kepemimpinan PM Lee, banyak negara melihat bagaimana Singapura mengalami keajaiban di bidang ekonomi.
Sukses besar yang dicapai perekonomian Singapura dipicu oleh kejelasan tujuan dan kepribadian luar biasa sang pemimpin yang mampu mempengaruhi sebagian besar penduduknya.
Singapura kini berdiri gagah sebagai salah satu negara dengan perekonomian paling maju di muka bumi, terkenal bersih dan memiliki lingkungan paling hijau. Negara itu mampu bersinar dan menjadi pasar yang terbuka lebar di tengah kawasan yang masih dibebani korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit.
Kembali dalam konteks fenomena segregasi sosial, kajian dari sisi kritis ilmiah menunjukkan hasil yang menarik. Kita batasi pada pandangan dua pemikir dari Mazhab Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas dan Axel Honneth.
Fokus dari pemikiran Habermas adalah bidang komunikasi. Ia menjelaskan bahwa kebangkitan media cetak--menyusul kemudian era komunikasi internet segala hal-- memungkinkan orang-orang untuk berdiskusi di dalam 'ruang' yang ia sebut ruang publik, atau public sphere. Pada ruang-ruang ini, masyarakat dapat berdebat, bertukar argumen, hingga mengajukan klaim atas kebenaran.
Bagi Habermas, keberadaan public sphere akan membuat individu saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Namun secara kritis, Habermas melihat elemen-elemen masyarakat modern mulai dari kapitalisme (pasar), negara, hingga organisasi-organisasi birokratis dalam bentuk lain justru malah menghalangi dialog-dialog yang seharusnya terjadi di ruang publik, serta mendistorsi proses komunikasi dalam masyarakat. Dampaknya, pemahaman antar individu (social understanding) menjadi sulit diwujudkan.
Jika fokus dari pemikiran Habermas adalah komunikasi, maka Axel Honneth, yang juga murid Habermas, justru membahas topik yang cukup berbeda yaitu pengakuan identitas.
Honneth melihat bahwa setiap orang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Berangkat dari pemikiran Hegelian, Honneth mengklasifikasikan tiga elemen utama pengakuan, yaitu cinta (love), penghormatan (respect), dan penghargaan (esteem).
Honneth menyatakan jika seseorang tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, maka orang tersebut akan merasa tidak dihormati (disrespect). Konflik dan perlawanan, menurut Honneth, terjadi akibat tidak diakuinya individu, atau kelompok tertentu, yang seharusnya mendapatkan pengakuan.
Sebagai ilustrasi, sebuah film genre fiksi ilmiah tahun 2013 karya sineas Neil Blomkamp dengan judul “Elysium” yang menyoroti isu segregasi sosial di masa depan.
Dikisahkan, ada tahun 2154, dunia terbagi dua antara orang kaya dan orang miskin. Orang yang terpinggirkan mendiami Bumi yang tercemar, padat penduduk, sementara yang kaya telah bermigrasi ke Elysium, sebuah tempat di antariksa di mana tidak ada kemiskinan atau penyakit.
Plot cerita berpusat pada Max--diperankan oleh Matt Damon-- yang setelah melanggar hukum berkali-kali, ia berupaya memperbaiki hidupnya di Bumi. Dia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik, namun di sana dia terpapar radiasi.
Penyakit Max semakin parah dan dia divonis usianya hanya tinggal lima hari lagi, kecuali jika dia bisa ke Elysium, planet tempat impiannya. Tapi Elysium tidak bisa dimasuki orang asing, termasuk penduduk Bumi seperti Max.
Selain Damon, ada aktris Jodie Foster yang memerankan Madame Delacourt yang bermain bagus sebagai pejabat planet Elysium yang tidak pantang menyerah menegakkan undang-undang anti-imigrasi untuk melindungi lingkungannya.
Kata Blomkamp, semua yang membuat kehidupan lebih baik, semua yang dihasilkan bumi, semua bantuan medis, teknologi, kesejahteraan, standar kehidupan dan umur yang panjang dambaan manusia bumi semuanya ada di planet Elysium.
Jauh sebelumnya, penyair dan budayawan WS Rendra pada dekade tujuh puluhan juga sudah merasakan gerah terhadap kenyataan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada. Melalui puisi berjudul "Rick dari Corona"--menjadi salah satu puisi yang sering dibacakannya secara memukau--ia menulis://..aku percaya pada dongeng aneka ragam.
Akhirnya dan kembali ke tema tulisan, di tengah kepungan berbagai tantangan yang dihadapi bangsa, sudah saatnya kita terus mengarungi samudera jaman dan fokus menuju pulau harapan.
Apa yang pernah dinujum oleh penulis Alvin Toffler lewat bukunya "The Future Shock" (1970), sekarang datang waktunya yang ia sebut sebagai Gelombang Ketiga itu.
Sejumlah negara di AS, Eropa, Amerika Latin, Asia seperti Jepang, Korsel, India dan Singapura atau kawasan Timur Tengah semisal Qatar dan UEA tetap melaju perekonomiannya berkat penguasaan cerdas di bidang pengetahuan, teknologi mutakhir dan big data.
Sebagai bangsa selayaknya pula kita mampu berpikir obyektif dan bersikap optimis. Upayanya, antara lain dengan tetap mengedukasi warga bangsa dan rakyat, menepis hoax-hoax, serta memperkokoh jiwa nasionalisme dan kebangsaan kita. Kita wajib bangkit dan mampu bersaing pada level global.
Kompetensi di sejumlah sektor ekonomi, berbagai inovasi teknologi serta optimalisasi investasi misalnya tetap kita genjot. Kalau pun sebagian warga bangsa bersikap apatisme terhadap kondisi sosial-ekonomi atau kinerja pemerintah, kita juga perlu mencadangkan jiwa kesabaran secara wajar.
Di sisi lain, pada tempatnya kita mengapresiasi terhadap sejumlah kebijakan negara dan kinerja pemerintah yang sudah dihasilkan. Sebaiknya pula kita tidak menutup mata, bila berkaitan dengan beberapa pencapaian yang masih berjalan biasa-biasa saja (businesse as usual) atau belum muncul sejumlah terobosan yang menggugah buat menggairahkan rakyat dan menatap dengan optimis masa depan yang lebih cerah.
Sampai di titik ini, niscaya kita akan menemukan relevansi serta urgensi agar senantiasa memperkuat juga sikap optimisme segenap elemen anak bangsa.
Saatnya kita bersama-sama menyambut gembira datangnya kebangkitan bangsa di abad revolusi informasi pada millenium ketiga sekarang. Jangan pernah kita menjadi sebuah generasi bangsa yang oleh pujangga dan sejarawan Jerman kenamaan Friedrich Schiller ditulis dengan indah: Abad besar telah datang, tapi yang kutemui adalah generasi kerdil. *