Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa

Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa
ISTIMEWA
Politisi PKB Marwan Jafar 

Oleh: Marwan Jafar
Anggota Fraksi PKB DPR RI

TRIBUNNERS - Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.

Tetapi kalau kita menyelami lebih dalam disadari atau tidak, terkait dinamika sosial itu terkesan ada benih-benih permasalahan interaksi sosial yang relatif kurang baik, dan sangat memerlukan kewaspadaan kewaskitaan kita sebagai warga bangsa sekaligus warga dunia.

Salah satu persoalan yang mendesak itu adalah berkaitan dengan fenomena segregasi sosial alias kecenderungan orang memisahkan diri dari orang-orang lain--segregation versi Webster's Dictionary: cut off from others or separate by races--atau untuk lebih senang berinteraksi dengan orang lain yang sama secara etnik atau yang lain.

Baca: Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie Bakal Dievaluasi kata Hendry Saputra

Baca: Penjelasan tentang PPh 21 dan Aturan Wajib bagi Pemberi Serta Penerima Upah Kerja

Dengan ungkapan lain, boleh jadi salah satu karakter luhur bangsa yang sering diistilahkan sebagai multikultural, pluralistik atau keberagaman yang menjadi realitas bangsa ini akan bisa terusik oleh segregasi sosial. Di sisi lain, fenomena tersebut juga bisa menghambat terciptanya sistem sosial, politik dan ekonomi yang sehat dan demokratis.

Secara historis dan berdasarkan tinjauan disiplin ketatanegaraan kita, pada masa sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)--cikal bakal DPR RI--28 hingga 1 Juni 1945 tercatat tiga tokoh bangsa menyampaikan ide-idenya secara sangat brilian-argumentatif, yaitu Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Mendapat kesempatan pada hari kedua, Soepomo mengungkapkan gagasan tentang paham negara integral. Ia menyodorkan gagasan negara integralistik sebagai sistem negara yang dipandangnya cukup ideal masa itu.

Berita Rekomendasi

Ia berpendapat bahwa negara yang Indonesia adalah satu kesatuan antara pimpinan dan rakyatnya yang tidak memihak tidak mengenal dominasi mayoritas dan juga tidak mengenal tirani minoritas. "Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan corak masyarakat Indonesia,” ucap Soepomo sebagaimana dicatat dalam Risalah Sidang BPUPKI.

Konsep integralistik Soepomo merujuk pada gagasan tiga filosof besar abad 18 dan 19, yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel yang juga ia sebut dalam pidatonya di hadapan anggota sidang.

Hanya berselang lima tahun berikutnya, ketika itu juga terjadi di dalam perdebatan pada forum sidang parlemen atau DPR masa RIS (Republik Indonesia Serikat), kembali mencuat gagasan hebat tentang sebuah mosi--menurut KBBI, mosi adalah: keputusan rapat, misalnya di parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat--yang disampaikan oleh Mohammad Natsir.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, mosi itu adalah Mosi Integral Nasir yang merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatunya kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah negara kesatuan.

Waktu itu, Natsir menolak jabatan sebagai Menteri Penerangan dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Secara gesit-cerdas,

Natsir pun kemudian melancarkan lobi ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan melakukan pendekatan ke daerah-daerah, serta akhirnya ia formulasikan dalam frasa dua kata ”Mosi Integral”.

Ia menyampaikan mosinya itu ke forum Parlemen atau DPR-RIS pada 3 April 1950. Mosi tersebut diterima baik oleh pihak pemerintah, dan Perdana Menteri Mohammad Hatta saat itu menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman untuk memecahkan persoalan bangsa dan negara.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas