Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa
Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.
Editor: Malvyandie Haryadi
Dalam konteks gejala segregasi sosial seperti disebut pada paragraf awal, sangat mudah ditemui pula bila sejenak kita menengok pada sharing maupun chatting peralatan gawai atau gadget pintar, melalui berbagai aplikasi media sosial seperti WhatsUp, Twitter, Facebook maupun dalam bentuk Instagram.
Sebagian cukup besar bukankah berisi narasi-narasi yang dibanjiri ujaran kebencian (hate speech), kabar bohong (hoax) atau berita palsu (fake news) yang amat mengganggu akal sehat. Maksudnya, kita sungguh sangat prihatin dan tidak habis pikir mengapa kenyataan sosial yang terefleksikan melalui berbagai media sosial bisa begitu mudah muncul. Dalam batas tertentu, hal itu menunjukkan keterbelahan maupun anomali sosial yang bisa jadi terpicu karena faktor agama, sosial, politik, ekonomi, etnis hingga ideologi.
Bahkan sebagian lagi medsos warga publik juga mengarah atau terang-terangan melancarkan semacam ketidakpercayaan (distrust) terhadap pencapaian-pencapaian kinerja pemerintah. Namun demikian, kita bersyukur masih cukup banyak warga masyarakat di perkotaaan ataupun pedesaan pada kenyataannya secara obyektif dan jujur tetap mampu mengakui serta menghargai kinerja implementatif sejumlah kebijakan negara.
Intinya, kalau pun terdapat pèrbedaan penilaian atas kinerja perekonomian pemerintah, hal ini harus disikapi dengan lapang dada dan boleh jadi merupakan proses alamiah yang harus dilalui oleh perjalanan sejarah sebuah bangsa. Secara retorik kita dapat bertanya, apakah gelombang jaman seperti ini yang mesti diarungi oleh bangsa kita terutama pada era millenium ketiga yang memang tidak mudah.
Sosiolog Jerman, Max Weber, membagi tindakan sosial warga masyarakat--yang tentu saja bukan sosmed--menjadi empat tipe. Tipe pertama, rasional-instrumental, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh rasionalitas sang aktor demi mencapai tujuan tertentu, seperti transaksi ekonomi.
Tipe kedua, rasional nilai, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu, seperti berdoa bersama karena nilai agama. Tipe ketiga, afeksi, mengacu pada tindakan sosial yang dilandasi oleh perasaan seorang individu, seperti menangis atau tertawa.
Tipe keempat, tradisional, mengacu pada tindakan sosial warga masyarakat yang dilandasi oleh tradisi atau dilakukan berulang-ulang sejak zaman dahulu, contohnya mudik.
Selain itu, pada karya buku Objectivity in Social Science (1904), Weber mencetuskan sebuah konsep bernama tipe ideal.
Tipe ideal mengacu pada berbagai terminologi yang digunakan oleh ilmuwan sosial, untuk menangkap karakteristik-karakteristik penting dari sebuah fenomena--semisal empat tipe tindakan sosial tadi.
Yang jelas, tipe ideal membantu ilmuwan sosial agar tetap objektif dalam mengkaji sebuah fenomena. Terlepas dari fungsinya untuk menjaga ilmuwan sosial agar tetap objektif, Weber menyatakan bahwa tipe ideal bisa berbeda dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan.
Sebagai contoh, seorang sosiolog bisa saja menyatakan bahwa penggunaan atribut keagamaan oleh individu merupakan bentuk tindakan sosial rasional nilai suatu agama, karena tindakan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan tertentu.
Namun pada kenyataannya, penggunaan atribut keagamaan pasti melibatkan faktor-faktor eksternal lain seperti faktor emosi dan tradisi.
Maksudnya, tipe ideal hanya dapat digunakan untuk menjelaskan satu aspek spesifik dari sebuah fenomena. Pada gilirannya, seorang ilmuwan sosial juga harus mampu menjelaskan secara detail mengapa ia memilih untuk menggunakan terminologi tipe ideal tersebut.
Menggunakan pendekatan dari pemikiran postmodernisme filosof-sosiolog Michel Foucault, kita dapat terbantu buat memaknai sejumlah masalah sosial, ekonomi dan politik yang tetap muncul sebagai bagian dari praktek kehidupan sehari-hari.