Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Segregasi Sosial dan Memperkuat Optimisme Bangsa
Dilihat secara permukaan atau kasat mata, interaksi sosial, ekonomi, politik dan budaya kita di tengah masyarakat tampak tenang-tenang saja.
Editor: Malvyandie Haryadi
Kepada rakyatnya, Roosevelt juga menyuntikkan keyakinan, bahwa: Tugas pemimpin bangsa ialah membujuk, memimpin, berkorban, serta selalu mengajari rakyat. Tugasnya yang terpenting adalah mendidik. Selain itu, ia selalu menyalakan tekad optimisme: Kami selalu berpegang pada harapan, keyakinan, dengan keyakinan bahwa ada kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih baik, di luar cakrawala, We have always held to the hope, the belief, the conviction that there is a better life, a better world, beyond the horizon.
Tengok juga pengalaman menyakitkan bangsa Jepang yang hancur lebur pasca Bom Atom, mampu bangkit bersama pemimpinnya.
Sejumlah sejarawan, seperti penulis buku Hirohito And The Making of Modern Japan (2009) Herbert P. Bix, menggambarkan Hirohito sebagai sosok yang reputasiya melebihi kepala negara. Bagi rakyat Negeri Sakura, Hirohito adalah keturunan dewa matahari Amaterasu.
Bix memaparkan, Jepang saat itu benar-benar sudah hancur. Bom atom di Nagasaki dan Hiroshima menjadi klimaks serangan udara AS.
Barang kebutuhan langka. Inflasi melesat naik. Transportasi lumpuh. Industri mandek. Ekonomi compang-camping. Belum lagi dengan ancaman serangan dari Uni Soviet usai dipatahkannya pakta netralitas kedua negara.
Melalui pidato jaringan radio, Hirohito mengajak rakyat untuk berjuang demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama semua bangsa, serta keamanan dan kesejahteraan rakyat kita, adalah kewajiban serius yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan yang dekat dengan hati kita.
Tegasnya, bangsa Jepang boleh bangkrut. Tapi semangat hidup warganya tak pernah surut. Ideologi ultra-nasionalisme dibuang. Demokrasi disambut. Etos kerja dan kedisiplinan yang menakjubkan membuat Jepang mudah bangkit.
Para ahli menyebutnya sebagai keajaiban karena pertumbuhan ekonomi Jepang melesat dalam durasi dan skala yang melampaui ekspektasi orang-orang. Sejarawan Robert J. Crawford menganalisis di kanal Harvard Bussines Review dengan judul Reinterpreting the Japanese Economic Miracle (edisi Februari 1998). Ia menulis, hingga pertengahan 1950-an ekonomi Jepang mengalami penyembuhan berkat sejumlah kebijakan reformasi ekonomi dari pemerintah.
Masih terkait bagaimana para pemimpin dunia membangun negara-bangsa, pengalaman Afrika Selatan dan Singapura juga bisa kita jadikan pelajaran berharga. Selama puluhan tahun, Afrika Selatan juga didera masalah segregasi sosial atau tepatnya segregasi rasial yang akut.
Tokoh sentral yang tak lelah memperjuangkan nasib etnis atau golongan kulit hitam yang menderita akibat politik apartheid kulit putih adalah Nelson Mandela.
Dunia mengakui dia sebagai tokoh luar biasa yang memberi inspirasi bagi semua manusia. Mandela bisa menjadi tokoh besar abad ini dan sebagai inspirator dalam konteks membangun keberadaan bangsa bermartabat. Ia tidak pernah pro-terhadap kekerasan dan tidak dendam apa pun kepada mereka yang pernah menzalimi dan memenjarakan.
Tujuan perjuangannya, menyatukan segenap elemen bangsa untuk mendapat kedamaian dan kemajuan. Keinginan dan tekad besar Mandela adalah meyatukan kelompok anak bangsa yang berbeda, dan dia berhasil secara par excellent.
Nelson Mandela menjadi Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Ia orang Afrika Selatan berkulit hitam pertama yang memegang jabatan tersebut.
Pemerintahannya berfokus pada penghapusan pengaruh apartheid, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta mendorong rekonsiliasi nasional.
Sebagai presiden, Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di bawah rezim apartheid sebelumnya dan memperkenalkan berbagai inisiatif yang dirancang untuk meningkatkan standar hidup rakyat Afrika Selatan.
Mandela bersama FW de Klerk yang mantan presiden terakhir Afsel apartheid mendapat hadiah Nobel Perdamaian 1993. Beberapa tahun kemudian, 1997, lahir sebuah film televisi bertitel "Mandela and de Klerk" yang disutradarai oleh Joseph Sargent serta dibintangi oleh Sidney Poitier dan Michael Caine.
Film tersebut mengisahkan tentang proses negosiasi antara De Klerk dan Mandela pada peralihan menuju akhir apartheid di Afrika Selatan dan dinominasikan pada sejumlah penghargaan internasional pada 1997 dan 1998.
Jangan lupa pula, ternyata Nelson Mandela yang pernah yang akrab dipanggil Madiba oleh rakyatnya, memiliki kekaguman terhadap Presiden pertama Indonesia Soekarno.
Di mata Mandela, Soekarno adalah tokoh yang membakar semangatnya buat memperjuangkan rakyat Afrika Selatan. Sekilas kisah kekaguman dia terhadap Bung Karno, terekam baik saat Mandela datang ke Indonesia pada Oktober 1990 dan mengunjungi Gedung Asia Afrika di Bandung.
Dia terkesan karena Asia-Afrika adalah konferensi pertama yang membangunkan bangsa Asia- Afrika dari penjajahan, termasuk bangsa Afrika Selatan. Banyak ucapan Mandela yang menjadi kalimat bijak. Antara lain, Human beings have got the ability to adjust to anything.
Sementara itu, mari kita melongok pengalaman Singapura. Tak ada yang menyangsikan kemajuan perekonomian Singapura di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Negara ini menjadi negara pertama di Asia yang dituju oleh para investor dunia sebelum masuk ke negara lain.
Setelah resmi berpisah dari Federasi Malaysia pada 1965, Singapura tak memiliki apa-apa. Luas wilayah hanya kurang lebih 700 kilometer persegi. Tak memiliki sumber daya alam apa pun. Saat itu, tingkat pengangguran cukup tinggi. Negara juga rentan sengketa antar suku bangsa--China, India dan Melayu--serta antara kelompok konservatif dan komunis. Mereka sibuk memperebutkan kekuasaan politik di tanah tersebut.
Perdana Menteri Lee dikenal memiliki wawasan luas dan mampu menggunakan untuk mengenali Singapura dan berbagai potensinya.
Menurut Channel News Asia, dia menanamkan ideologi kesejahteraan saat memimpin. Ia melihat jika warga negara terpenuhi kebutuhan pokoknya, maka mereka akan fokus bekerja.
"Dan fokus utama pemerintah adalah bagaimana mencari pendapatan buat menghidupi para warga Singapura. Lalu kami mulai melakukan investasi di berbagai bidang," ujar Lee saat itu.
Satu terobosan yang dibuatnya adalah memberikan jaminan rumah kepada seluruh warga Singapura. Mereka yang semula tinggal di jalanan menjadi memiliki tempat tinggal meskipun mungil. Selain itu, negara juga tidak memungut pajak yang besar kepada rakyatnya.
Setelah masalah warga selesai, pemerintahnya kemudian mencoba meningkatkan ekspor ke negara-negara maju di Barat dan Jepang. Langkah tersebut dilakukan buat meningkatkan fundamental perekonomian dan mendorong cadangan devisa.
Di era pemerintahannya, ia melakukan berbagai pergerakan yang menunjukkan bahwa bukan sumber daya alam yang paling penting untuk membangun kesejahteraan bangsa. Kuncinya justru adalah menciptakan lingkungan di mana para penduduk dapat berkembang.
PM Lee juga dikenal pribadi berdisiplin tinggi. Semua sisi ia beri aturan agar keteraturan tercipta.
Dia juga dikenal sangat keras. Dia tak punya toleransi sedikit pun untuk para pelaku korupsi. Guna menghindari keinginan para pejabat untuk korupsi dan menarik orang-orang berkemampuan tinggi untuk jadi birokrat, ia membayar para PNS dengan gaji tinggi.
Menurut Indeks Korupsi Dunia 2014, Singapura adalah salah satu negara yang relatif bersih dari korupsi di dunia. Lembaga Transparansi Internasional juga mencatat, Singapura mendapat nilai 84 dalam hal pemerintahan yang bebas korupsi. Nilai tersebut menempatkan Singapura sebagai negara dengan pemerintahan paling bersih di seluruh Asia.
Tanpa pengecualian, dia benar-benar membesut berbagai sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Terlihat dari bagaimana ia meningkatkan sektor infrastruktur tapi juga mengembangkan sumber daya manusianya sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi Singapura.
Salah satu prestasi paling luar biasa pemerintahnya adalah terciptanya Housing Development Board/HDB (Badan Pengembangan Sektor Perumahan). Lembaga tersebut mampu mengubah warga miskin Singapura yang tinggal di jalanan, menjadi pemilik apartemen yang meski kecil tapi bersih dan modern.
HDB telah membantu harga rumah di Singapura jauh lebih terjangkau dibanding kota-kota utama di China, Hong Kong, atau Tokyo. Ia meyakini, kepemilikan rumah yang merata di seluruh penjuru negara akan membuat Singapura menjadi lebih stabil.
Di bawah arahan PM Lee, seluruh warga juga melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari membersihkan jalanan hingga mengembangkan sistem pendidikan sekolah dasar terbaik di dunia.
Berdasarkan perhitungan Lee, seluruh kegiatan itu dapat menarik perusahaan-perusahaan asing dan pegawai terampil yang dapat membantu perekonomian Singapura berkembang lebih cepat. Kebijakan itu dilakukan pada era di mana China, India dan sebagian besar negara di Asia Tenggara masih tertutup bagi investasi guna menghindari para kapitalis.
Dunia pun seakan menyambut seluruh kerja keras PM Lee, menjadikan Singapura sebagai salah satu tujuan investasi paling diminati bagi perusahaan-perusahaan internasional.
Seperti ditulis oleh Forbes (2015), Lee mengundang secara pribadi sejumlah perusahaan itu untuk membantu transformasi Singapura menjadi negara teknologi.
Sebuah studi yang dilakukan pada 2011 mencatat, Singapura sebagai lokasi paling unggul untuk perusahaan-perusahaan Eropa yang ingin mendirikan pusat bisnis di kawasan Asia Pasifik-- termasuk korporasi sekelas Microsoft, Google, Exxon Mobil, dan Kellogg's. Singapura kini memiliki lebih dari dua kali lipat pusat bisnis regional dibandingkan Tokyo.
Di bawah kepemimpinan PM Lee, banyak negara melihat bagaimana Singapura mengalami keajaiban di bidang ekonomi.
Sukses besar yang dicapai perekonomian Singapura dipicu oleh kejelasan tujuan dan kepribadian luar biasa sang pemimpin yang mampu mempengaruhi sebagian besar penduduknya.
Singapura kini berdiri gagah sebagai salah satu negara dengan perekonomian paling maju di muka bumi, terkenal bersih dan memiliki lingkungan paling hijau. Negara itu mampu bersinar dan menjadi pasar yang terbuka lebar di tengah kawasan yang masih dibebani korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit.
Kembali dalam konteks fenomena segregasi sosial, kajian dari sisi kritis ilmiah menunjukkan hasil yang menarik. Kita batasi pada pandangan dua pemikir dari Mazhab Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas dan Axel Honneth.
Fokus dari pemikiran Habermas adalah bidang komunikasi. Ia menjelaskan bahwa kebangkitan media cetak--menyusul kemudian era komunikasi internet segala hal-- memungkinkan orang-orang untuk berdiskusi di dalam 'ruang' yang ia sebut ruang publik, atau public sphere. Pada ruang-ruang ini, masyarakat dapat berdebat, bertukar argumen, hingga mengajukan klaim atas kebenaran.
Bagi Habermas, keberadaan public sphere akan membuat individu saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Namun secara kritis, Habermas melihat elemen-elemen masyarakat modern mulai dari kapitalisme (pasar), negara, hingga organisasi-organisasi birokratis dalam bentuk lain justru malah menghalangi dialog-dialog yang seharusnya terjadi di ruang publik, serta mendistorsi proses komunikasi dalam masyarakat. Dampaknya, pemahaman antar individu (social understanding) menjadi sulit diwujudkan.
Jika fokus dari pemikiran Habermas adalah komunikasi, maka Axel Honneth, yang juga murid Habermas, justru membahas topik yang cukup berbeda yaitu pengakuan identitas.
Honneth melihat bahwa setiap orang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Berangkat dari pemikiran Hegelian, Honneth mengklasifikasikan tiga elemen utama pengakuan, yaitu cinta (love), penghormatan (respect), dan penghargaan (esteem).
Honneth menyatakan jika seseorang tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, maka orang tersebut akan merasa tidak dihormati (disrespect). Konflik dan perlawanan, menurut Honneth, terjadi akibat tidak diakuinya individu, atau kelompok tertentu, yang seharusnya mendapatkan pengakuan.
Sebagai ilustrasi, sebuah film genre fiksi ilmiah tahun 2013 karya sineas Neil Blomkamp dengan judul “Elysium” yang menyoroti isu segregasi sosial di masa depan.
Dikisahkan, ada tahun 2154, dunia terbagi dua antara orang kaya dan orang miskin. Orang yang terpinggirkan mendiami Bumi yang tercemar, padat penduduk, sementara yang kaya telah bermigrasi ke Elysium, sebuah tempat di antariksa di mana tidak ada kemiskinan atau penyakit.
Plot cerita berpusat pada Max--diperankan oleh Matt Damon-- yang setelah melanggar hukum berkali-kali, ia berupaya memperbaiki hidupnya di Bumi. Dia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik, namun di sana dia terpapar radiasi.
Penyakit Max semakin parah dan dia divonis usianya hanya tinggal lima hari lagi, kecuali jika dia bisa ke Elysium, planet tempat impiannya. Tapi Elysium tidak bisa dimasuki orang asing, termasuk penduduk Bumi seperti Max.
Selain Damon, ada aktris Jodie Foster yang memerankan Madame Delacourt yang bermain bagus sebagai pejabat planet Elysium yang tidak pantang menyerah menegakkan undang-undang anti-imigrasi untuk melindungi lingkungannya.
Kata Blomkamp, semua yang membuat kehidupan lebih baik, semua yang dihasilkan bumi, semua bantuan medis, teknologi, kesejahteraan, standar kehidupan dan umur yang panjang dambaan manusia bumi semuanya ada di planet Elysium.
Jauh sebelumnya, penyair dan budayawan WS Rendra pada dekade tujuh puluhan juga sudah merasakan gerah terhadap kenyataan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada. Melalui puisi berjudul "Rick dari Corona"--menjadi salah satu puisi yang sering dibacakannya secara memukau--ia menulis://..aku percaya pada dongeng aneka ragam.
Akhirnya dan kembali ke tema tulisan, di tengah kepungan berbagai tantangan yang dihadapi bangsa, sudah saatnya kita terus mengarungi samudera jaman dan fokus menuju pulau harapan.
Apa yang pernah dinujum oleh penulis Alvin Toffler lewat bukunya "The Future Shock" (1970), sekarang datang waktunya yang ia sebut sebagai Gelombang Ketiga itu.
Sejumlah negara di AS, Eropa, Amerika Latin, Asia seperti Jepang, Korsel, India dan Singapura atau kawasan Timur Tengah semisal Qatar dan UEA tetap melaju perekonomiannya berkat penguasaan cerdas di bidang pengetahuan, teknologi mutakhir dan big data.
Sebagai bangsa selayaknya pula kita mampu berpikir obyektif dan bersikap optimis. Upayanya, antara lain dengan tetap mengedukasi warga bangsa dan rakyat, menepis hoax-hoax, serta memperkokoh jiwa nasionalisme dan kebangsaan kita. Kita wajib bangkit dan mampu bersaing pada level global.
Kompetensi di sejumlah sektor ekonomi, berbagai inovasi teknologi serta optimalisasi investasi misalnya tetap kita genjot. Kalau pun sebagian warga bangsa bersikap apatisme terhadap kondisi sosial-ekonomi atau kinerja pemerintah, kita juga perlu mencadangkan jiwa kesabaran secara wajar.
Di sisi lain, pada tempatnya kita mengapresiasi terhadap sejumlah kebijakan negara dan kinerja pemerintah yang sudah dihasilkan. Sebaiknya pula kita tidak menutup mata, bila berkaitan dengan beberapa pencapaian yang masih berjalan biasa-biasa saja (businesse as usual) atau belum muncul sejumlah terobosan yang menggugah buat menggairahkan rakyat dan menatap dengan optimis masa depan yang lebih cerah.
Sampai di titik ini, niscaya kita akan menemukan relevansi serta urgensi agar senantiasa memperkuat juga sikap optimisme segenap elemen anak bangsa.
Saatnya kita bersama-sama menyambut gembira datangnya kebangkitan bangsa di abad revolusi informasi pada millenium ketiga sekarang. Jangan pernah kita menjadi sebuah generasi bangsa yang oleh pujangga dan sejarawan Jerman kenamaan Friedrich Schiller ditulis dengan indah: Abad besar telah datang, tapi yang kutemui adalah generasi kerdil. *