Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

New Normal, Salus Populi Suprema Lex Esto

Di tengah maraknya kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang masih fluktuatif, pemerintah mencoba

Editor: Hendra Gunawan

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH

TRIBUNNEWS.COM - "Salus populi suprema lex esto."

Adagium hukum yang diungkapkan filsuf Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) lebih dari 2000 tahun lalu di atas tampaknya masih relevan dengan kondisi saat ini, terutama di Indonesia.

Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Betapa tidak?

Di tengah maraknya kasus Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang masih fluktuatif, pemerintah mencoba melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), melalui konsep "new normal".

Menurut Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke sebuah mal di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/5/2020), untuk tahap awal "new normal" itu akan diterapkan di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota di Indonesia.

Baca: BMKG: Peringatan Dini Kamis, 28 Mei 2020, Waspada 15 Wilayah Berpotensi Hujan Petir Disertai Angin

Baca: Ramalan Zodiak Kamis, 28 Mei 2020: Aries Rajin, Gemini Terjebak Nostalgia

Baca: New Normal Mulai Disosialisasikan, Jubir Penanganan Corona : Belum Ada Vaksin yang Berhasil

Tujuannya agar masyarakat tetap produktif tapi juga aman dari Covid-19.

Berita Rekomendasi

"New normal" itu sendiri berarti perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal.

Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik dan sosial (physical and social distancing).

Di sisi lain, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, bila setelah dilakukan uji coba "new normal" ini kasus Covid-19 masih bertambah, maka akan dihentikan dan PSBB akan kembali diperketat.

Nah, lho! Ada kesan, "new normal" yang segera diterapkan pemerintah tersebut bersifat "try and error" (coba-coba).

sebab itu, akan lebih baik bila "new normal" ini dikaji lebih mendalam lagi sebelum diterapkan. Jangan sampai rakyat dijadikan kelinci percobaan.

Kita harus belajar dari hari-hari terakhir Ramadan kemarin di mana kasus Covid-19 terus melonjak, hampir 1.000 kasus per hari, karena banyaknya masyarakat yang melanggar aturan PSBB gara-gara berburu keperluan Lebaran, serta mudik ke kampung halaman.

Konon pemerintah akan menurunkan puluhan ribu tentara dan polisi untuk mendisiplinkan warga dalam penerapan "new normal", tetapi yakinkah kita bahwa warga akan patuh?

Kita mafhum, pemerintah mengalami dilema dalam mengatasi pandemi corona ini, apakah akan terus memperpanjang PSBB dengan konsekuensi perekonomian akan mandeg, dan bila sedikit bisa berjalan pun terseok-seok, atau melonggarkan PSBB dengan "new normal" tadi supaya perekonomian bisa bergerak meskipun tidak kencang.

Bila ekonomi mandeg, rakyat pula yang akan sengsara. Pemerintah bak menghadapi buah simalakama.

Namun demikian, jangan demi ekonomi lalu rakyat dikorbankan. Ingat, salus populi suprema lex esto. Maka harus ada jalan tengah supaya seimbang.

Ibaratnya, pemerintah harus pandai-pandai mendayung sampan di antara dua karang. Bila tidak lihai, maka sampan bisa menabrak salah satu karang atau bahkan kedua-duanya.

Pemerintah harus bisa menyelamatkan perekonomian nasional demi rakyat di satu sisi, tapi di sisi lain juga harus bisa menyelamatkan rakyat dari ancaman corona.

Inilah yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Caranya? Buat dan tegakkan aturan dengan jelas, lugas, tegas, tidak ambigu dan tidak multitafsir. Buat aturan yang denotatif, bukan konotatif seperti larangan mudik kemarin yang berstandar ganda.

Dalam mengatasi pandemi Covid-19, sesungguhnya negara sudah memiliki Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan dan Kesehatan.

Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid 19) pada 31 Maret 2020.

Menyusul kemudian Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid 19). Nah, ketiga aturan tersebut harus ditegakkan dengan tegas, jangan sampai jadi macan kertas.

Aturan yang jelas dan tegas akan bisa mengatur dan mendisiplinkan siapa pun.

Lihat saja di Singapura. Bila ada orang Indonesia berkunjung ke Singapura, di sana dia tak bakalan berani membuang sampah sembarangan, misalnya, meski kalau di Tanah Airnya sendiri biasa membuang sampah sembarangan.

Lihat pula orang Singapura yang berkunjung ke Jakarta.

Mereka terkadang dengan mudah membuang puntung rokok sembarangan, suatu hal yang tak pernah mereka lakukan di Tanah Airnnya sendiri karena akan mendapat sanksi yang tegas.

Kesimpulannya, hukum yang jelas dan tegas akan bisa memaksa siapa pun untuk patuh, apakah mereka biasa berdisiplin atau tidak.

Jadi, jangan pernah berasumsi rakyat Indonesia susah diatur, karena tergantung hukum dan siapa yang mengatur. Bila hukumnya lugas dan tegas, serta aparat penegak hukumnya tegas, bersih dan dapat memberi contoh, niscaya rakyat akan patuh.

Selamatkan Uang Rakyat

Selain menyelamatkan rakyat, negara harus pula menyelamatkan anggaran mengatasi Covid-19, karena menyelamatkan anggaran yang notabene uang rakyat tersebut berarti menyelamatkan rakyat pula.

Pemerintah dan DPR RI telah mengganggarkan Rp 405,1 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19.

Rinciannya adalah untuk anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun, dukungan industri Rp 70 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, dan pembiayaan pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.

Ini masih ditambah dengan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 34 provinsi dan 542 kabupaten/kota yang dialokasikan untuk penanggulangan Covid-19 sebesar Rp 56,57 triliun.

Rinciannya, untuk penanganan kesehatan sebesar Rp 24 triliun, jaring pengaman sosial Rp 25,3 triliun, dan penanganan dampak ekonomi Rp 7,1 trilun.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun harus memelototi penggunaan anggaran tersebut.

Di sisi lain, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, yang diterbitkan Presiden Jokowi dan kemudian disetujui DPR RI untuk ditetapkan menjadi undang-undang, jangan sampai dijadikan bunker untuk berlindung dari jeratan hukum bila ternyata terjadi penyimpangan anggaran.

Khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan, biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan, keuangan daerah, bagian pemulihan ekonomi nasional, bukan merupakan kerugian negara.

Pun Pasal 27 ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang imunitas atau kekebalan hukum para pejabat yang melaksanakan Perppu No 1 Tahun 2020.

Hal ini perlu ditekankan mengingat dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista, seperti nyanyian Ebiet G Ade dalam salah satu lagunya, "Untuk Kita Renungkan".

*)Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas