Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
''Amerika, Are You Ok?''
Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, saya hanya khawatir kalau Trump salah hitung. Miscalculate.
Editor: Malvyandie Haryadi
Sebenarnya, cerita tentang kejatuhan dan krisis ekonomi akibat pandemi ini sudah menjadi milik dunia. Artinya, bukan hanya Amerika yang mengalami resesi dan guncangan ekonomi ini. Namun, ketika ini terjadi di sana ~ ekonomi terbesar dunia ~ tetap saja memiliki arti penting.
Apalagi dunia tahu bahwa Trump sangat membanggakan prestasi dan capaian ekonominya 3,5 tahun terakhir ini. Misalnya, tentang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengangguran yang rendah.
Nah, ketika fundamental yang dibanggakan ini runtuh, isunya akhirnya bukan hanya soal ekonomi semata, tetapi juga lari ke sosial dan politik. Sebagai contoh, bisa ditelusuri apakah penjarahan (looting) yang terjadi di banyak kota ini karena faktor rasial (racism), atau faktor ekonomi.
Jangan-jangan karena kesulitan ekonomi yang dialami oleh golongan bawah akhirnya memaksa mereka melakukan penjarahan itu.
Dua isu ini saja mestinya membuat para pemimpin Amerika pusing ~ pandemi yang banyak korbannya dan belum masuk zona hijau, serta situasi ekonomi yang kelam.
Apalagi ditambah dengan goncangan sosial dan keamanan publik pasca tewasnya George Floyd, yang kini menjadi simbul perlawanan rakyat, utamanya komunitas kulit hitam. Sekarang saya akan fokus ke urusan ini.
Amerika Pasca George Floyd, Apa yang Akan Terjadi?
Lebih dari satu minggu ini media internasional menyiarkan dan memberitakan terjadinya aksi-aksi unjuk rasa yang masif di Amerika.
Termasuk tayangan kekerasan, kerusuhan, vandalisme dan bahkan penjarahan yang terjadi di banyak kota. Akan berkembang ke manakah gerakan sosial ini dan seperti apa pula akhirnya ...... belum bisa ditebak.
Ada sejumlah skenario yang menurut saya bisa terjadi.
Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh itu bisa diredakan.
Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh pemerintah.
Skenario kedua, unjuk rasa makin meluas. Gabungan unsur polisi, National Guard dan elemen tentara federal (misalnya polisi militer) tak mampu menghentikan atau meredakannya.
Para Gubernur dan Walikota dengan “resources” yang ada tak juga bisa mengatasi keadaan. Pemerintah Federal “terpaksa” melakukan negosiasi dengan elemen perlawanan masyarakat dengan pemberian konsesi tertentu.
Saya membayangkan negosiasinya tentu tak mudah. Konsesi (deal) apa yang bisa dicapai juga tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sulit diyakini bahwa Trump punya pikiran dan bersedia untuk melakukan kompromi dengan mereka yang menuntut keadilan itu.
Skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk.
Aksi-aksi kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang “tegas dan keras”.
Dalam skenario ketiga ini pemulihan ketertiban dan keamanan (law and order) diambil alih oleh pemerintah pusat. Presiden selaku “Commander-in-Chief” mengerahkan tentara federal (US Military Forces) untuk menanganinya. Sebenarnya dalam sejarah Amerika hal begini tidak lazim, namun tidak berarti tidak akan terjadi.
Dua hari ini saya menyimak apa yang disampaikan oleh Presiden Trump bahwa setelah dia menilai para gubernur dan walikota umumnya lembek, akan dikerahkan kekuatan militer Amerika untuk mengatasi aksi-aksi protes yang dibarengi kerusuhan dan penjarahan ini.
Di samping 3 skenario itu tentu masih ada yang lain. Negara manapun, selalu memiliki rencana kontijensi. Jika situasi berubah total dan rencana operasi yang telah disiapkan gagal mencapai tujuan, dengan cepat akan disiapkan penggantinya.
Hal ini menjadi domain dari institusi yang tugas pokoknya berkaitan dengan dunia pertahanan, keamanan dalam negeri (internal security) dan keamanan publik.
Kembali kepada ketiga skenario yang mungkin terjadi di Amerika itu, saya hanya akan menyoroti skenario ketiga. Mengapa secara khusus saya soroti, karena ini membawa risiko dan konsekuensi yang tidak kecil. Baik secara politik, hukum, sosial maupun keamanan. Juga berdampak pada citra Amerika Serikat di dunia.
Sebagai sahabat Amerika, saya sungguh tidak berharap skenario ketiga ini yang terjadi. Atau opsi untuk menggunakan kekuatan militer (US Army) ini yang akan ditempuh. Kecuali kalau situasinya memang sangat gawat dan keamanan nasional negara itu benar-benar terancam.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang ada keinginan dan rencana Presiden Trump untuk megerahkan kekuatan militer itu? Jawabannya “ada”. Secara eksplisit Trump mengatakan itu.
Dia juga mengatakan bahwa pengerahan dan penggunaan militer akan mengatasi masalah secara cepat. Barangkali Trump kecewa karena para Gubernur dan Walikota dinilai gagal untuk menguasai (Trump menggunakan istilah “dominate”) jalan-jalan di mana unjuk rasa terjadi, baik yang damai (peaceful) maupun yang tidak. Karenanya, tentara harus dikerahkan untuk menjalankan misi itu.
Sesuai ingatan saya, sepertinya belum pernah Amerika menurunkan militernya untuk menghadapi rakyatnya sendiri.
Pengerahan tentara dalam mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban yang dulu sering dilakukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, justru kerap dicerca oleh Amerika dan negara-negara barat yang lain.
Katanya, demokrasi tidak begitu. Rule of law yang benar juga tak begitu. Gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat itu masih menjadi domain polisi. Bukan tentara. Kalau sekarang justru Amerika yang melakukan, ini akan menjadi “breaking news”.
Ingat saya, ketika terjadi gelombang protes di akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an (menentang pelibatan tentara Amerika di Vietnam), tentara reguler juga tak diturunkan.
Yang dikerahkan sepertinya adalah National Guard. Menghadapi gelombang unjuk rasa yang marak di banyak kota waktu itu juga hampir tidak terjadi bentrokan yang membawa korban jiwa.
Pertanyaan berikutnya, sungguh seriuskah Presiden Trump hendak menggunakan kekuatan militer ini? Kalau kita ikuti rekam jejaknya, sangat mungkin Trump akan melakukan itu. Kita mengamati, apa yang dikeluarkan Trump melalui cuitan di twitternya, beberapa saat kemudian menjadi kenyataan.
Tapi khusus keadaan sekarang ini, mungkin pertimbangan Trump lebih mendalam. Dia pasti tahu risiko dan harga yang harus dibayar kalau opsi militer ini yang dijalankan.
Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, saya hanya khawatir kalau Trump salah hitung. Miscalculate. Maksud saya, bagaimana kalau justru perlawanan para pengunjuk rasa itu kian menguat dan membesar. Makin nekat.
Melalui siaran televisi, saya amati mulai ada spanduk baru yang diusung. Yang sudah kita ketahui misalnya berbunyi “No Justice, No Peace”, atau “Black Lives Matter”. Yang baru menurut saya ada yang berbunyi “Time for Fear is Over”. Saya tidak tahu apakah kata-kata terakhir itu menyiratkan bahwa akan makin keras.
Yang berbahaya jika sikap “keras” Trump berhadapan dengan sikap pengunjuk rasa yang makin militan. Benturan yang lebih besar pasti terjadi.
Sementara itu, saya mengamati ada pihak yang kurang nyaman dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut kemarahan masyarakat yang sedang marah itu.
Misalnya, kata-kata “when the looting starts, the shooting starts”. Juga pernyataan yang menyalahkan para Gubernur dan Walikota sebagai lemah dan tak mampu mengatasi masalah.
Bukan hanya merasa tidak nyaman, sebagian pemimpin daerah itu juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan. Artinya, Trump juga menghadapi “pembangkangan” dari sejumlah pemimpin daerah.
Saya tidak tahu apakah rakyat Amerika punya militansi dan kenekatan yang tinggi manakala harus melawan pemerintah yang dinilai tidak adil. Seperti perlawanan rakyat yang terjadi di negara-negara berkembang.
Sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin, sekuat apapun dia, yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki dia jatuh. Sebesar apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah bergerak, tumbang juga mereka. Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal terjadi di Amerika.
Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili mayoritas rakyat Amerika.
Ketika Politik Pilpres “Involved”
Para pengamat politik tahu, baik internasional maupun di Amerika sendiri, situasi di negara itu khas. Lima bulan lagi akan dilaksanakan Pemilihan Presiden. Trump tentu sangat ingin terpilih lagi.
Ini tentu sah bagi seorang petahana. Sementara, penantangnya Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan Trump. Perhatikan komentar dan kritik Biden terhadap penanganan aksi-aksi protes yang dilakukan Trump saat ini.
Trump diibaratkan tengah bersiap untuk memasuki kembali ring tinju, tapi kakinya diberati oleh 3 pemberat. Rapor Amerika dalam menangani pandemi Covid-19, ekonomi yang suram dan gelombang unjuk rasa besar.
Ini pasti menjadi handicap yang besar bagi Trump. Kecuali, jika dia mampu mengubah krisis itu menjadi peluang. Tapi bagaimana caranya?
Saya pribadi harus berhati-hati dalam membuat prediksi, apakah Trump akan terpilih kembali atau tidak. Bagi negara yang rakyat dan politiknya sangat terbelah saat ini (divided), belum tentu Trump kalah. Celah ini barangkali yang akan digunakan Trump untuk kepentingan politiknya.
Trump tahu mana yang minoritas dan mana yang mayoritas di negaranya. Bisa saja aksi protes yang umumnya dilakukan oleh komunitas kulit hitam ini justru akan digunakan untuk membangun kubu yang “di seberang”. Ujungnya rasisme juga.
Tesisnya kembali menciptakan “division” dan bukan “unity”. Politik pembelahan atas dasar identitas. Dalam politik, untuk mencapai kemenangan seolah cara apapun halal, meskipun dianggap tidak etis. The ends justify the means.
Namun, strategi begini belum tentu akan dilakukan Trump guna memenangkan pemilihan presiden bulan November 2020 mendatang. Tapi, bagaimanapun ada kemungkinan dan logikanya.
Saat ini orang nomor satu di Amerika itu sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan tantangan yang berat. Memang pemimpin sejati akan diuji apakah dalam menghadapi situasi krisis, dia bisa berpikit jernih serta bisa mengambil keputusan dan tidakan yang tepat.
Sangat mungkin Trump bisa ke luar dari krisis besar ini. Satu-satunya tantangan berat yang dihadapi, menurut saya, adalah jika Trump dihinggapi perasaan takut. Fear.
Apa yang saya maksud dengan “fear” dalam kaitan ini?
Bagi seorang yang tengah memegang kekuasaan, biasanya dia takut kalau kekuasaan itu hilang. Lost of power. Bagi seorang “incumbent” yang akan melakukan pemilihan umum lagi, dia takut kalau tak lagi terpilih. Alias kalah.
Rasa takut akan kalah yang tinggi bisa menuntun pikiran dan tindakan yang salah. Salah satu godaan yang dihadapi orang yang demikian adalah tindakan menyalah gunakan kekuasaan. Abuse of power.
Saya sering menyampaikan apa yang pernah dikatakan oleh John Steinbeck tentang kaitan takut dengan kekuasaan. Steinbeck mengatakan bahwa sesungguhnya kekuasaan itu tidak “corrupt”. Tetapi justru rasa takutlah yang mendorong disalahgunakannya sebuah kekuasaan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan itulah yang mendasarinya. (Power does not corrupt. Fear corrupts ... perhaps the fear of loss of power).
Trump, menurut saya tak harus tergoda dengan penggunaan kekuasaan yang tidak amanah ini, jikalaupun dia merasa takut kalah. Sebagai tokoh bisnis dan kini politisi, sebenarnya dia punya kemampuan untuk menang dalam sebuah kompetisi. Dia pernah menang melawan Hillary Clinton, kandidat yang kuat, di tahun 2016, karena cukup cerdik dan piawai dalam berkampanye.
Demikian juga dalam menangani 3 persoalan dan tantangan berat saat ini ~ pandemi, ekonomi dan protes sosial ~ Trump tetap punya peluang untuk sukses. Banyak cara yang dapat dipilih. Karenanya, ada baiknya dia ingat apa yang dikatakan oleh Steinbeck tadi.
Akankah Terjadi Perubahan di Amerika?
Banyak yang terharu mendengarkan ucapan saudara kandung mendiang George Floyd. Dia mengajak agar unjuk rasa menyusul tewasnya saudaranya itu tetap dilakukan secara peaceful. Tertib dan damai. Hindari kekerasan.
Dia juga mengatakan bahwa perjuangan besar mereka, kaum kulit hitam, adalah terjadinya perubahan. Bahasa kaum minoritas itu adalah Amerika harus berubah dalam memandang dan memerlukan warga kulit hitam.
Rasisme harus dihentikan. Rasisme telah terjadi secara sistematik dan struktural. Mereka juga menuntut agar kebrutalan polisi jangan terus terjadi. Kultur buruk itu harus diubah.
Barangkali yang disuarakan oleh para pengunjuk rasa saat ini ya itu. Cuma masalahnya menjadi ruwet karena protes-protes itu disertai pula dengan kekerasan, pembakaran dan penjarahan. Ekses inilah yang bisa mengganggu kemurnian perjuangan yang bertemakan hak asasi dan keadilan itu.
Apakah kata-kata saudara Floyd itu bisa menjadi kenyataan? Perubahan akan terjadi. Bangsa Amerika sendirilah yang bisa menjawabnya.
Menarik apa yang disampaikan oleh mantan Presiden George W. Bush beberapa jam yang lalu. Bush jarang mengeluarkan pernyataan politik.
Apalagi Bush dan Trump berasal dari partai yang sama, Partai Republik. Bush mengatakan bahwa dia dan Laura (mantan Ibu Negara) sedih dengan tewasnya George Floyd dengan cara seperti itu.
Di bagian lain dari pernyataannya, Bush juga mengatakan bahwa bukan saatnya bagi Amerika untuk “menguliahi”, tetapi saatnya untuk mendengar. Dia juga menggarisbawahi bagaimana Amerika bisa menghentikan rasisme yang sistemik dalam kehidupan masyarakatnya.
Menurut saya, Bush berbicara dari hatinya. Dari nuraninya. Beyond politics.
Pertanyaannya, apakah pernyataan Bush ini pertanda bahwa mungkin saja terjadi angin perubahan di negeri itu. Itulah yang kita tidak tahu.
Sedikit banyak saya mengenal Presiden Bush. Mungkin banyak yang mengira sosok yang teguh dan dianggap “keras” itu sulit berempati. Dia justru sebaliknya.
Saya ingat ketika istri tercinta Ani Yudhoyono sedang dirawat di rumah sakit, Bush dan Laura mengirim surat yang penuh empati dan mendoakan kesembuhan Ani. Ketika Ani berpulang ke Rahmatullah, mereka kembali mengirim surat kepada saya sebagai ucapan bela sungkawa.
Kembali kepada seruan dari banyak pihak agar ada perubahan di Amerika, semua harus bersabar menunggunya. Belum bisa diduga apakah akan ada tonggak sejarah baru di negeri yang selama ini gigih menyerukan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan rule of law itu.
Apalagi jika mengharapkan titik balik (turning point) menyangkut hubungan yang lebih baik antara minoritas dan mayoritas, utamanya antara kaum kulit hitam dan kulit putih.
Saya juga tidak tahu apakah Amerika memerlukan “nation building” yang baru. Misalnya diawali dengan dialog yang tulus antara kaum minoritas dan mayoritas. Antara kulit hitam dan kulit putih. Entahlah. Saya harus berhenti di sini. Takut salah.
Satu hal yang ingin saya katakan menutup artikel ini, seiring dengan perkembangan zaman, mungkin ada keperluan Amerika untuk menggalakkan lagi dialognya. Baik dialog yang sifatnya internal (dialog kebangsaan) maupun dialog negara besar itu dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Akankah?
Only history will tell.
Cikeas, 3 Juni 2020.