Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Jejak Bencana dan Wabah Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti dan Sumber Sejarah Kuno

Candi Borobudur ketika terkuak dan dibersihkan, terlihat kerusakannya lebih banyak diakibatkan gempa bumi.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Jejak Bencana dan Wabah Penyakit Masa Lampau Menurut Prasasti dan Sumber Sejarah Kuno
Koleksi Pribadi Goenawan A Sambodo
Goenawan A Sambodo, epigraf dan peneliti sejarah kuno Jawa, menunjukkan prasasti tamra atau tembaga di sebuah event kesejarahan 

OLEH : GOENAWAN A SAMBODO, Epigraf & Ahli Sejarah Kuno

KISAH bencana dan wabah penyakit di masa lalu sangat menarik dikaji. Sekurangnya, ada yang terjadi masa kini, berlangsung pula di masa lampau.

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Goenawan A Sambodo, epigraf dan peneliti sejarah kuno Jawa, menunjukkan prasasti tamra atau tembaga di sebuah event kesejarahan
Goenawan A Sambodo, epigraf dan peneliti sejarah kuno Jawa, menunjukkan prasasti tamra atau tembaga di sebuah event kesejarahan (Koleksi Pribadi Goenawan A Sambodo)

Sebabnya, bisa faktor alam dan/atau faktor non-alam, maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Dilihat dari jenisnya, ada bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Bencana alam peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan alam.

Antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Foto situasi Gunung Merapi menjelang letusan 2006. Foto diambil pada 6 Juni 2006, asap solfatara mengepul cukup tebal dari puncak gunung.
Foto situasi Gunung Merapi menjelang letusan 2006. Foto diambil pada 6 Juni 2006, asap solfatara mengepul cukup tebal dari puncak gunung. (Koleksi Pribadi A Lesto P Kusumo)

Sebagai negara yang berada dalam cincin api Asia-Pasifik, Indonesia sangat rentan gempa bumi. Baik kekuatan besar ataupun kecil. 

Berita Rekomendasi

Candi Borobudur ketika terkuak dan dibersihkan, terlihat kerusakannya lebih banyak diakibatkan gempa bumi. Bisa dilihat bagian dasar stupa yang naik ke atas, ada yang mleyot, eh melendut ke samping.

Entah gempa itu terjadi tahun berapa, namun hal itu salah satu penyebab rusaknya Borobudur.

Bagaimana berita dari prasasti? Seperti pernah ditulis JG Casparis, prasasti adalah tulang punggung utama penyusun sejarah kuno Indonesia.

Namun perlu pula dipahami ketika kita bicara makanan yang ada dalam prasasti, bukan berarti prasasti itu berisi resep.

Kejadian-kejadian penyerta dalam prasasti hanyalah sebagai keterangan tambahan dalam membaca alasan utama pembuatan prasasti.

Dari prasasti Waruṅgahan 1227 Ś temuan Tuban disebutkan. “ika taŋ praśāsti hilaŋ ri kāla niŋ bhūmi kampa “ (Prasasti itu hilang di saat terjadi gempa bumi).

Gempa bumi di mana? Ya tentu saja gempa bumi di Warunggahan, tempat yang disebut dalam prasasti itu.

Bahkan hal itu menjadi bagian pokok dari alasan para pemegang prasasti untuk memohon kepada raja agar dilakukan penetapan kembali atas sīma yang mereka tempati.

Kapankah peristiwa itu terjadi memang tidak disebutkan dengan pasti. Tapi jelas peristiwa itu terjadi setelah penetapan sīma Warunggahan pertama kali oleh Śri Kṛtanagara (1190-1214 Śaka).

Sehingga ketika prasasti bukti penetapan itu hilang, para ahli waris meminta penetapan ulang yang kemudian muncul dalam wujud prasasti Warunggahan itu.

Apabila kemudian hasil kajian tentang nama “Waruṅgahan” dalam prasasti itu adalah nama kuna dari desa Prunggahan, Kecamatan Semanding, Tuban, bisa disetujui, maka akan bisa dilihat sejarah ke-gempa bumi-an di Tuban khususnya, dan Jatim pada umumnya.

Mengapa? Gempa bumi adalah fenomena alam yang berulang, sehingga dengan mengetahui sejarah atau jejak gempa bumi di suatu wilayah, kejadian itu dapat diantisipasi secara baik.

Masyarakat akan semakin tahu akan kejadian kejadian itu dan diharapkan akan semakin tanggap dengan bencana yang ada. Sekarang cerita tentang letusan gunung, yang biasanya juga disertai gempa.

Beberapa situs peradaban Mataram Hindu di wilayah DIY, seperti Candi Morangan, Sambisari, dan Kedulan ditemukan dalam kondisi terkubur material vulkanik, yaitu dari letusan Merapi.

Contoh lain bencana yang tertulis dalam prasasti ada dalam prasasti Tluron. Pada baris ke 8 dan 9 prasasti itu tertulis, “sampun ya pinagawayakan wluran de saṅluma(ḥ) ||x|| in taṅar.tan tulus saṅke yan kawnaṅan an kabhaya, wkasan ginawai ya de ra_ paḍa(ṅ) pu manohari tan tulus ataḥ…”

Artinya, “Telah dibuat saluran air oleh seseorang yang disemayamkan di Taṅar…tidak terselesaikan dari yang seharusnya, bencana terjadi. Akhirnya dikerjakan oleh rakai , kemudian dikerjakan oleh Rakai Padaṅ Pu Manoharī, tak terselesaikan juga….

Proses tertimbunnya situs-situs tersebut terjadi setelah beberapa kali letusan. Candi-candi yang tadi disebut kebanyakan terkubur di ke dalaman 4-7 meter di bawah permukaan tanah sekarang.

Itu artinya lapisan sedalam itulah yang pernah keluar dari gunung Merapi yang menimbun peradaban di wilayah itu dalam beberapa kali letusannya.

Bagaimana tentang situs Liyangan? Diyakini permukiman itu telah kosong saat awan piroklastika gunung Sindoro datang menerjang. Indikasinya, para peneliti belum menemukan adanya fosil atau sisa tulang belulang manusia terkubur di situs tersebut.

Dari tulisan yang pernah saya baca, disebutkan situs Liyangan tertimbun material vulkanik letusan Gunung Sindoro sedalam lebih kurang 7 meter hingga 10 meter. Diperkirakan, situs itu dibangun zaman Mataram Hindu abad 9 Masehi.

Ada pendapat yang mengkaitkan situs itu dengan berita yang ada di prasasti Rukam 829 saka yang menulis … “wanua i rukam saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur… (desa di rukam yang hilang oleh letusan gunung) disebutkan pula adanya … parhyaṅan i limwuŋ … (sebuah tempat peribadatan di limwuŋ)

Lantas kira-kira tahun berapa kejadiannya? Casparis membagi jenis huruf kawi yang digunakan tahun 750 -925 M (672 – 847 Saka). 

Atau catatan lain terkait masa pemerintahan Rakai Garung (750–768 Saka), Rakai Pikatan (768–777 Saka ), dan Rakai Kayuwangi (777 – 806 Saka).

Yang jelas, kalau memang pendapat tentang Liyangan dihubungkan prasasti Rukam bisa diterima, kejadian itu tentu sebelum 829 Saka, ketika prasasti Rukam ditulis.(Berbagai Sumber/Disampaikan di Forum Diskusi WAblas 8/5/2020)  

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas