Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menjadi Detektif Feses Hewan Prasejarah dari Situs Sangiran

Melalui studi komparatif dari feses-feses hewan saat ini, kita bisa memperkirakan siapakah gerangan pemilik feses-feses tersebut.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Menjadi Detektif Feses Hewan Prasejarah dari Situs Sangiran
Koleksi Pribadi RA Suryanto
Fosil feses hewan purba temuan situs rasejarah Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, mampu memberi gambaran tabiat pemilik feses, bahan yang dikonsumsi, serta dietnya. 

OLEH: RA SURIYANTO, Pakar di Lab Bio & Paleoantropologi FKKMK UGM  

TEMUAN masa lampau (purba, kuno) dapat berupa ekofak, ipsefak dan artefak. Temuan-temuan ekofak berkaitan dengan sisa-sisa biologis atau asosiatif dan bukti etologis, yang bisa berasal dari fauna dan flora.

Bahkan temuan-temuan itu juga sering dirujukkan sebagai fosil. Bukti-bukti paleontologis atau paleoantropologis tidak melulu fosil, namun bisa merujuk kepada jejak dan bekas.

Fosil biasanya meliputi sisa-sisa jaringan keras, yakni geligi, belulang, cangkang, plastron dan karapas. Jejak dapat berupa cetakan-cetakan kaki hewan, jalur-jalur melata reptil dst.

Bekas dapat berupa feses-feses hewan, rekaman cakaran pada sisa-sisa tulang dst. Fosil pun dapat berupa serangga yang terjebak dalam getah atau ambar.

Dari flora, dapat berupa fosil kayu, fosil daun yang terekam dalam batuan, yang oleh proses geologis, mengalami pembusukkan, yang tertinggal hanya cetakannya – pembatuan. Jadi selulosanya telah tergantikan oleh silika.

Ipsefak merujuk kepada satuan lingkungan yang telah diubah oleh manusia. Bukti-bukti dari masa lalu itu bisa meliputi jejak kaki hominid (manusia), bekas perapian, bekas luka atau retak pada tulang hewan atau batang kayu oleh hominid (manusia).

BERITA TERKAIT

Juga bukti peperangan pada tulang manusia, bukti pengobatan pada tulang, bekas permukiman, sampah dapur dan seterusnya. Jejak dan bekas makin purba makin minor bukti-buktinya.

Temuan fosil dari Australopithecus sp. dan Homo erectus terus bertambah pesat jumlahnya. Temuan-temuan jejak dan bekasnya relatif terbatas.

Tentu saja artefak terkait dengan segala temuan sisa-sisa kultural manusia purba dan kuno. Untuk temuan-temuan artefaktual menjadi konsentrasi utama para arkeolog.

Temuan-temuan jejak dan bekas dari masa lampau dapat membantu merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau.

Tentu tidak akan menafikan bukti-bukti paleoklimatologi, paleovulkanologi, paleomagnet, petrologi, sedimentologi, geokronologi dan seterusnya.

Seringkali para pengunjung awam saat menyaksikan pameran manusia purba tidak pernah membayangkan bagaimana rumitnya pekerjaan untuk bisa menampilkan pameran itu.

Di belakang tampilan manusia purba di museum bejibun sumber daya manusia dikerahkan untuk itu, baik dari para ilmuwan ilmu-ilmu paleo, teknisi laboratorium dan museum, seniman dan museolog.

Bekas pembakaran sebagai indikasi penggunaan api pertama oleh Homo erectus berasal dari Peking man di Cina.

Bekas sampah-sampah dapur manusia kuno dapat membantu untuk merekostruksi bahan makan atau paleodietnya.

Tembikar-tembikar Neolitik yang terpakai sebagai wadah pengolahan dan memasak juga merupakan bekas yang menarik untuk memahami paleodiet.

Tentu saja sampah dapur masih memerlukan bukti yang lebih riil, yakni trace elements yang terberkas pada tulang-tulang manusia yang ditemukan dalam satu konteks.

Dari mumi-mumi Amerika Selatan pernah diperiksa beragam bahan makanan dari sisa-sisa isi ususnya, antara lain jagung, cabe dan seterusnya.

Jejak-jejak kaki, baik pada manusia maupun hewan, menjadi konsentrasi para perilmu iknologi dan podiatri.

Untuk jejak-jejak itu dari masa lampau tentu lebih menjadi subdisiplin paleoiknologi dan paleopodiatri.

Jejak yang banyak membantu untuk rekonstruksi manusia purba adalah temuan jejak-jejak kaki di Tanzania.

Jejak-jejak kaki Laetoli yang dibuat oleh para Australopithecus sp. adalah bukti paling masyhur di dunia.

Dari bukti jejak-jejak kaki itu kita bisa menghitung berapa jumlah individu yang pernah melintas, mengetahui gaya lenggang, prosentase seks dan tinggi badannya.

Tanzania juga menyumbangkan jejak-jejak kaki Homo sapiens yang tertua di dunia dengan jumlah yang wah.

Di sana, di Engare Seno, ditemukan 400 jejak kaki Homo sapiens yang berusia 10-19 ribu tahun.

Seorang paleoantropolog yang terlibat dalam penelitian itu William Harcourt-Smith dari the City University of New York berseloroh, situs itu bisa jadi adalah "dance hall".

Penyebabnya, jejak-jejak kaki Homo sapiens itu kompleks arah dan kedalamannya.

Jejak parasit, virus, bakteri dan patogen lain pada temuan-temuan rangka kuno dapat membantu mengetahui jalur migrasi manusia kuno, dan beragam penyakit atau status kesehatan manusia kuno.

Untuk jejak-jejak kaki hewan masa lampau masih menjadi konsentrasi para paleontolog. Jejak-jejak kaki dinosaurus adalah yang paling menarik bagi khalayak, khususnya anak-anak karena beragam bentuk dan besar ukurannya.

Jejak-jejak kaki hewan dari masa Pleistosen relatif langka. Salah satu bukti yang pernah ada adalah jejak-jejak kaki hewan Pleistosen yang berusia ratusan ribu atau bahkan lebih dari satu juta tahun lalu di tepian Bengawan Solo di sekitar Widodaren, Ngawi, Jawa Timur.

Beberapa feses fauna Pleistosen yang memfosil telah ditemukan di Sangiran. Ragam feses itu dapat menginformasikan ragam hewannya.

Mempelajari fosil-fosil itu, Anda tidak perlu khawatir kondisi material dan baunya. Bahkan Anda bisa pegang-pegang dan usap-usap dengan jari anda yang bersih.

Jika anda mencoba menjilat pun tidak masalah selama fosil itu sudah dicuci. Untuk bisa memahami morfologi feses (tahi, koprolit) itu mesti memahami etologi hewan, apakah hewan itu karnivora, herbivora atau omnivora.

Herbivora itu bisa termasuk folivora atau frugivora. Di sini kita punya bayangan bagaimana ragam feses hewan karnivora, herbivora atau omnivora itu.

Di antara ragam feses itu, manakah yang paling mudah hancur atau mudah teradwarkan ke alam. Diet mereka menentukan bentuk dan keawetannya.

Feses-feses hewan herbivora mudah hancur karena materialnya banyak mengandung selulosa. Kondisi demikian menyebabkan feses hewan-hewan karnivora dan omnivora lebih lambat hancur.

Bahkan beberapa hewan itu mempunyai perilaku menyembunyikan feses-fesesnya, ada yang menguburkan feses-fesesnya.

Feses-feses itu bisa memfosil karena proses geologis, dan bisa berpindah-pindah lokasi oleh proses taponomis.

Baca: Mengapa Manusia Sekarang Tidak Makan Daging Hyena, Jerapah, atau Kuda Sungai?

Dari feses-feses itu kita bisa rekonstruksi hewan-hewannya berdasarkan tingkat ektrapolasinya; di mana kita bisa sampai menggambarkan bagaimana habitat dan iklim saat mereka hidup.

Di sini kita bisa menjadi detektif feses-feses hewan prasejarah Sangiran.(*)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas