Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Leluhur Manusia Itu Sama, Migrasi dan Adaptasinya Menimbulkan Keanekaragaman
Populasi Mongoloid adalah populasi yang paling tahan terhadap MSG (vetzin, micin) yang menghadirkan rasa gurih atau umami dalam hidangan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : RA SURIYANTO, Pakar di Lab Biopaleoantropologi FKKM UGM
AKAR kata ras (Inggris: race) dari bahasa Arab: الرأس (ar-ro’su), yang berarti kepala. Secara singkat kita bisa mengenali seseorang cukup dari kepalanya.
Di kepala itu sungguh beragam karakteristik morfologis yang bisa dipakai sebagai penanda seseorang.
Kita bisa mengetahui warna kulit, warna, bentuk, dan tektur rambut, bentuk hidung, warna iris mata dan lipatan kulit mata atau epicantus.
Warna dan bentuk bibir, bentuk pipi (arcus zygomaticus), bentuk telinga, distribusi rambut dan seterusnya.
Bukan saja karakteristik morfologis/ morfoskopi seperti itu, namun bisa dilengkapi dengan morfometri atau dimensi ukuran-ukurannya. Tentu saja dalam konteks ini merujuk kepada populasi.
Untuk identifikasi material osteologis dan odontologis (tulang, tengkorak dan geligi) juga terkonsentrasi pada kepala, dalam hal ini adalah tengkorak dan geliginya.
Identifikasi ras tengkorak dapat diamati pada bentuk dan ukuran tengkorak, karakteristik sekitar regio dahi, tulang hidung, tulang pipi, tulang alveolar, pola prognathisme alveolar atau ketongosan wajah atawa mrongos.
Lalu pola dimensi wajah, karakteristik sutura tengkorak dan sutura palatina transversal, bentuk arcus dentalis atau lengkung geligi, bentuk palatum atau langit-langit dan seterusnya.
Baca: Teknologi Komputer Tiga Dimensi Bisa Munculkan Sosok Manusia Purba Secara Akurat
Bagaimana dengan karakteristik di bawah tengkorak atau kepala? Bisa dikatakan minor atau sungguh sangat terbatas.
Jika pada morfologi hidup, kita bisa melihat distribusi rambut badan (lokasi dan ketebalan), warna kulit, bahkan, maaf, karakteristik alat kelamin (termasuk dimensi ukurannya).
Nah, bagaimana kalau rangkanya? Ini lebih ekstrem lagi dari morfologi hidupnya. Di sana hanya sedikit sekali untuk mengetahui indikator pembeda rasnya.
Misalnya kita bisa lihat pada spina scapularis (bagian belakang tulang bahu), di mana bentuknya bisa dipakai untuk memilah ras.
Sayangnya indikator itu relatif lemah atau tidak konsisten. Misalnya lagi kita bisa lihat pada bagian distal tibia (tulang betis bagian bawah), di mana di sana ada locus facies jongkok.
Fasies jongkok ini hanya dimiliki oleh ras Mongoloid dan Australomelanesoid. Oleh karena itu populasi ini bisa kuat duduk jongkok atau bersila.
Bagaimana ras lain, khususnya populasi Kaukasoid? Mereka lah yang tidak kuat jangkok, Bahkan mereka bisa terjengkang jika dipaksa melakukannya.
Beberapa penyakit juga bisa muncul pada populasi ras tertentu. Kanker nasoparinx hanya dijumpai pada populasi Mongoloid.
Populasi Mongoloid adalah populasi yang paling tahan terhadap MSG (vitcin, micin) yang menghadirkan rasa gurih atau umami dalam hidangan.
Di sini kita bisa maklumi bahwa raksasa industri MSG ada di kawasan Asia Timur dan Tenggara, sebut saja Ajinomoto, Miwon, Sasa, dan seterusnya.
Populasi Kaukasoid paling tidak tahan tehadap MSG itu. Acapkali jika populasi Kaukasoid (misalkan orang Eropa) memakan menu Asia (Oriental) akan merasakan pusing-pusing dan mual-mual sebagai reaksi atas menu yang dimakannya itu.
Kondisi itu dikenal sebagai “sindroma restauran Cina”. Di sisi lain, secara umum, populasi Mongoloid relatif intoleran terhadap laktose.
Apa sebenarnya ras itu? Ras adalah subspesies. Jadi klasifikasi taksonomis yang terbawah. Secara sederhana dari genus, lalu ke spesies, berikut subspesies.
Di sini merujuk kepada variasi di antara populasi. Untuk manusia masuk dalam genus Homo, spesies Homo sapiens, subspesies Homo sapiens sapiens.
Secara umum, manusia terbagi dalam lima ras pokok, yakni Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, Australomelanesoid, dan Khoisanid.
Tentu saja variasi itu bisa makin beragam karena ras itu cuma subspesies; di mana mereka yang berada dalam satu spesies bisa saling kawin dan menghasilkan generasi baru yang subur.
Bahkan seorang antropolog biologis terkenal pernah berujar: ”Di mana ada sekumpulan manusia dari mana pun berasal, maka mereka bisa saling berjodoh dan menghasilkan generasi baru yang subur. Bahkan boleh jadi sepertiga penduduk (manusia) bumi ini adalah hibrid, yakni hasil kawin-mawin dari beragam ras.”
Dalam identifikasi forensik atau paleoantropologis, secara ideal, kita akan banyak terhambat untuk memastikan ras korban atau temuan manusia purba dan kuno, tanpa kehadiran kepala atau tengkoraknya.
Baca: Menjadi Detektif Feses Hewan Prasejarah dari Situs Sangiran
Sekedar contoh dalam kasus forensik, misalkan kita hanya menemukan potongan paha atau lengan korban dalam kasus ledakan bom atau kecelakaan pesawat, lalu kita identifikasi rasnya berdasarkan warna kulitnya.
Jika dasarnya hanya warna kulit, maka kesimpulan kita bisa disebut gegabah, karena kita tidak bisa terkontruksi yang berkulit hitam itu Negroid, yang berkulit putih itu Kaukasoid.
Untuk bisa menduga secara cerdas maka kita bisa menggunakan skala kulit (Felix von Luschan skin color chart).
Berdasarkan skala itu ada 36 warna kulit manusia. Sayangnya, sungguh sangat terbatas ketersediaan alat skala itu di sini; oleh karena itu seingkali kita cenderung untuk mengeneralisir berdasarkan kata sifat, misalkan kehitaman, keputihan dan kecoklatan.
Selain skala warna kulit itu, ada juga skala warna dan bentuk rambut serta skala warna iris mata.
Spekulasi itu makin menganga jika kita hanya menemukan fragmen-fragmen atau potongan-potongan tulang-tulang infrakranial (di bawah tengkorak) untuk menentukan rasnya.
Sungguh makin sulit seturut perjalanan ke masa kini untuk identifikasi manusia karena populasi manusia saat ini adalah hibrid beragam ras karena kemudahan fasilitas mereka untuk saling kenal, bertemu dan berjodoh.
Saat kita ekskavasi arkeologis menemukan potongan tulang paha atau lengan atas manusia, bisakah kita menentukan rasnya? Demikian juga jika itu terjadi dalam temuan Homo erectus atau hominid yang lain.
Seorang paleoantropolog akan sangat hati-hati untuk menyebut ras atau subspesies atas temuan fosil-fosil fragmenter infrakranial Homo erectus.
Para paleoantropolog atau bioantropolog lebih suka menyebut berdasarkan asal atau situs penemuan, misalkan Homo erectus Dmanisi, Homo erectus Ngandong, Homo erectus Cina dan seterusnya.
Seperti halnya evolusi manusia, status ras manusia juga masih menghadirkan ketegangan pendapat. Kita bisa mendiskusikan evolusi tumbuhan dan hewan dengan lebih rileks dibandingkan saat mendiskusikan evolusi diri kita sendiri.
Kita juga bisa mendiskusikan ras-ras anjing, kucing dan seterusnya, dengan begitu asyik. Bisakah kita juga asyik saat mendiskusikan ras manusia?
Kesalahpahaman tentang ras manusia sudah muncul sangat lama. Beberapa oknum memahami – ras yang sebenarnya hanya subspesies Homo sapiens (manusia) – jadi berentitas biologis.
Ras dipahami berdasarkan warna kulit yang memang mudah teramati, maka muncullah klasifikasi “Orang Kulit Putih, Orang Kulit Hitam” dan seterusnya.
Beberapa oknum mengklasifikasikan berdasarkan asal geografisnya: Orang Asia, Orang Eropa, Orang Afrika dan seterusnya. Ada juga para oknum yang menyamakan ras dengan etnis atau suku bangsa.
Bahkan bapak taksonomi modern, Carolus Linnaeus (dilahirkan pada 23 Mei 1707 di Småland, Swedia), pernah teledor saat mengklasifikasikan ras manusia.
Linnaeus mengklasifikasikan ras manusia dalam Homo europaeus, Homo afer (africanus), Homo asiaticus, dan Homo americanus.
Klasifikasinya tidak hanya didasarkan kepada identifikasi biologis semata, namun memasukkan juga mentalitas (budaya) yang subjektif.
Misalkan Homo europaeus digambarkannya sebagai orang yang suka berpikir, bijak, hemat dan seterusnya.
Homo americanus digambarkanya sebagai orang yang suka bergunjing dan berkonflik, serta lebih mengedepankan percaya daripada berpikir dan seterusnya..
Homo asiaticus digambarkannya sebagai orang yang suka berpakaian mencolok, pamer, judi dan boros. Pendek kalimat, menurutnya mentalitas terbaik hanya untuk Homo europaeus.
Dalam sejarah perkembangan ilmu evolusi, kita mengenal Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.
Ada perdebatan di antara mereka terkhusus evolusi manusia, namun mereka tetap berkawan.
Perdebatan itu tentang salah satu aspek kunci teori mereka untuk evolusi manusia. Perdebatan itu muncul saat Wallace memberikan ulasan terhadap buku Charles Lyell yang terbit pada 1869.
Lyell menuliskan otak manusia, termasuk aspek bahasa dan penalarannya tidak dapat dijelaskan melalui seleksi alam.
Dia berargumentasi bahwa ciri-ciri itu muncul seturut: “A power which has guided the action of [natural] laws in definite directions and for special ends.”
Darwin menolak tegas – yang kemudian dapat disaksikan bahwa Wallace mengalami kegundahan –jika teori ini mengecualikan manusia, maka sama saja melemahkan teori yang sudah dibangun susah payah itu yang berlaku untuk semua organisme.
Bagi Darwin itu sama halnya dengan membunuh anak otak (teori seleksi alam) sendiri.
Jelaslah evolusi dan rasiologi manusia yang sudah masuk ke dalam biologi itu, ternyata dalam perjalanannya ke masa kini, bukan lagi hanya sekedar urusan penalaran.
Keduanya itu telah masuk dalam medan ideologi, dan karena itu ia menjadi bagian dari diskursus politik kontemporer.
Seperti Jacob pernah mengungkapkan: “Satu hal yang mengejutkan dalam teori evolusi di abad lalu ialah bahwa ia membawa paradigma baru dalam biologi. Positivisme masuk ke dalam ilmu hayat. Orang terkejut bahwa hidup dapat diterangkan secara meterialistis. Inilah kiranya yang paling pokok yang membuat orang antusias terhadap teori Darwin, baik yang menyetujui maupun yang menentangnya. .....
Dalam perkembangannya, teori Darwin kemudian dipakai oleh berbagai golongan untuk kepentingannya.
Marx dan Engels, misalnya mengkapitulasi pengaruh lingkungan terhadap manusia: alatlah yang membuat (menentukan) manusia, bukan sebaliknya.
Golongan kapitalis dan imperialis juga memakai teori Darwin untuk membenarkan pejajahan, perbudakan, ketidaksamaan, kemiskinan dan kebodohan.
Yang unfit pastilah akan terjajah, menjadi budak belian, miskin dan bebal. Kalangan agama juga memakainya.
Manusia jajahan dianggap manusia rendah yang tidak sama tinggi akalnya, tetapi mempunyai roh yang harus diselamatkan dengan agama yang tinggi, suatu misi suci yang menjadi kewajiban orang kulit putih.
Adam Smith memakai teori Darwin untuk menyokong ekonomi pasar bebas. Dengan persaingan, maka yang unggul akan menang; dan ini adalah sesuatu yang wajar.
Kalangan rasis mempunyai alasan untuk menerangkan adanya ras tuan dan ras hamba. Dari sudut agama, golongan agamawan khawatir akan materialisme yang hendak mengganti agama dengan ilmu pengetahuan.
Fatwa-fatwa agama untuk menerangkan alam dan hidup dapat tidak diterima lagi. Saya pribadi lebih suka membayangkan evolusi dan rasiologi manusia seperti hakekatnya yang berbasis biologis.
Di sini kita dapat mempelajari kemunculan dan rasiologi penyakit, sejarah migrasi dan keanekaragaman biologis manusia, antropologi olah raga dan seterusnya.
Manusia berasal dari leluhur yang sama, serta sejarah migrasi dan adaptasinya yang menghadirkan keanekaragamannya.(*)