Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sengkarut Politik Dinasti
Diskursus politik dinasti seolah seperti benang kusut yang sulit diurai dan dicarikan jalan keluarnya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Yusa’ Farchan
Direktur Eksekutif Citra Institute dan Peneliti Cetro 2007-2009
TRIBUNNEWS.COM - Politik kekerabatan (political kinship) yang lebih populer dengan istilah politik dinasti, kembali menjadi sorotan publik, terutama ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi mendapatkan mandat politik PDIP, 17 Juli 2020 sebagai Bakal Calon Walikota Solo.
Diskursus politik dinasti seolah seperti benang kusut yang sulit diurai dan dicarikan jalan keluarnya.
Sebagian besar kalangan menganggap, politik dinasti adalah residu demokrasi karena menabrak batas-batas standar etik dan moral politik pemegang kuasa.
Sebagian lagi menganggap politik dinasti adalah realitas politik yang wajar karena memiliki akar historis yang kuat dalam lanskap politik tanah air.
Politik dinasti adalah reinkarnasi dari model patrimonialisme era monarki di mana klan politik dibentuk berdasarkan faktor genealogis.
Baca: Nagara Institute Kritisi Fenomena Dinasti Politik di Indonesia
Hanya saja, patrimonialisme gaya baru ini direproduksi melalui rekrutmen kepemimpinan politik oleh parpol dan dilegitimasi oleh saluran-saluran formal demokrasi melalui pemilihan umum baik di level eksekutif maupun legislatif.
Dalam konteks pencalonan Gibran, sebenarnya tidak ada yang istimewa, kecuali pernyataannya sendiri.
Dua tahun lalu, secara terbuka ia menyatakan keengganannya masuk gelanggang politik karena risih akan tudingan politik dinasti.
Kini, ketika masuk arena politik, ia menolak jika disebut sedang mempraktikkan politik dinasti.
Ia berdalih dengan argumentasi mengikuti kontestasi, bukan penunjukan, dengan konsekuensi menang atau kalah.
Apa yang mau dikontestasikan jika kecenderungan setting politiknya adalah calon tunggal?.
Kalaupun ada kompetitor, baik dari parpol maupun perseorangan, medan pertarungan juga tidak akan seimbang.
Apapun argumentasi Gibran, sulit sekali untuk tidak mengatakan bahwa Presiden Jokowi sedang membangun politik dinasti, sebuah kecenderungan umum yang lazim terjadi pada tokoh-tokoh politik tanah air.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)