Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (2)

Naskah Nagarakretagama ditemukan di puri Cakranegara di Pulau Lombok pada 1894.Naskah itu disadur pad 1740 dari aslinya kitab Desawernnana.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (2)
Kompas
Cagar budaya Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. 

OLEH : NURHADI RANGKUTI, Purbakalawan

Nurhadi Rangkuti, arkeolog yang kini menyebut dirinya purbakalawan menulis penelusuran jejak pesiar Raja Hayam Wuruk
Nurhadi Rangkuti, arkeolog yang kini menyebut dirinya purbakalawan menulis penelusuran jejak pesiar Raja Hayam Wuruk (Koleksi Pribadi N Rangkuti)

PU Prapanca menyebut karyanya tentang perjalanan Hayam Wuruk itu Desawarnnana, yang pada intinya memuat uraian tentang desa-desa yang dikunjungi Hayam Wuruk.

Sayang, judul itu telah dilupakan umum, dan sekarang lebih populer dengan sebutan Nagarakretagama, berkat kolophon terbitan Dr JLA Brandes: Iti Nagarakretagamasamapta, pada tahun 1896.

Nama populer itu ternyata tambahan penyalin sesudah Prapanca, yaitu Arthapamasah yang disalin dalam huruf Bali di Kancana pada 20 Oktober 1740.

Naskah Nagarakretagama ditemukan di puri Cakranegara di Pulau Lombok pada 1894.

Pungging memang Pongging

“Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja memanjang bersambung-sambungan Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.”

Berita Rekomendasi

Nama-nama tempat yang disebutkan dalam Nagarakretagama pupuh 17 itu memang harus dicari di daerah Mojokerto.

Niermeyer mengindentifikasikan Tebu adalah Tepus, letaknya di sebelah timur Majapahit (Trowulan). Nama Japan, menurut profesor itu sudah tidak dapat ditemukan dalam peta.

Baca: Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (1) 

Namun nama itu masih disebut penduduk walaupun pada tanggal 12 September 1838 daerah itu menjadi bagian dari daerah Mojokerto.

Kuti Haji tidak lain adalah Kutorejo yang letaknya di bagian baratdaya Mojosari. Kutorejo sekarang telah menjadi desa dan kota kecamatan.

Panjrak Mandala boleh jadi adalah desa Panjer yang juga terletak di Mojosari. Niermeyer yakin, Pongging sudah jelas itu Pungging, sebuah desa besar yang kini menjadi kecamatan Pungging.

Tim Hiace mencoba menelusuri beberapa nama yang diidentifikasikan Niermeyer lebih dari 85 tahun yang lalu.

Dengan panduan peta topografi, tim meluncur ke Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal. Para penduduk sudah tidak mengetahui lagi nama Tebu, yang tercantum dalam peta terbitan tahun 1943.

Untunglah kepala desa masih ingat lokasi kuna itu. Ternyata sekarang telah berganti nama menjadi Gampang, salah satu dusun di wilayah Desa Sumbertebu, letaknya di pinggir jalan raya Mojokerto-Pasuruan.

Seorang petani mengantarkan tim ke satu lahan yang letaknya dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk.

Kagenengan, itulah situs masa Majapahit, berjarak 15 km di sebelah timur ibukota Majapahit. GPS mencatat posisi Kagenengan: 7o 30’ 01” Lintang Selatan 112o 30’01,6” Bujur Timur.

Tempat itu hanya sebidang tanah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yang kini menjadi tegalan milik penduduk. Di permukaan tanah, dijumpai pecahan-pecahan keramik Cina dan tembikar tipe Majapahit.

Bukti-bukti arkeologis di wilayah Pungging terdapat di Dusun Patung dan Desa Tunggal Pager, jaraknya 8,2 km di sebelah tenggara Situs Tebu.

Baca: Arkeolog Jatim Temukan Batuan Kuno, Diduga Tempat Tancapkan Panji Kerajaan Majapahit

Baca: Awalnya Warga Mimpi Bangunan Kerajaan, Ternyata Ditemukan Bata Besar, Diduga Peninggalan Majapahit

Sebuah lumpang batu kuna yang lubangnya dipenuhi kembang sesajen, terdapat di pekarangan rumah penduduk Dusun Patung.

Di Desa Tunggal Pager, bata-bata kuna berukuran besar terdapat di kompleks makam desa. Bangunan-bangunan cungkup makam hingga batu nisan menggunakan bata-bata peninggalan Majapahit.

Kisah di Wewe terulang di situs ini, puluhan truk telah berhasil menjarah bata-bata warisan Majapahit. Tim kembali ke ibukota Majapahit.

Harapan untuk menyusul Hayam Wuruk semakin tipis. Jejaknya satu per satu terhapus oleh ulah manusia sekarang dengan menggusur situs-situs bekas desa yang dikunjunginya.(HABIS - Tulisan pernah dimuat majalah Intisari Septermber 1999)

*) Anda punya tulisan apa saja yang menarik, dan ingin dipublikasikan di Tribunners, kirim naskahnya ke redaksi.tribunners@gmail.com. Panjang naskah minimal 750 kata 

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas