Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pemulihan Ekonomi, Omnibus Law, dan Normal Baru

Perbaikan tata kelola yang dapat meminimalkan biaya transaksi akan menstimulir perkembangan ekonomi.

Editor: Sanusi
zoom-in Pemulihan Ekonomi, Omnibus Law, dan Normal Baru
Tribunnews.com/ Seno Tri Sulistiyono
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/7/2020). 

Oleh: Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM

TRIBUNNEWS.COM - Perbaikan tata kelola yang dapat meminimalkan biaya transaksi akan menstimulir perkembangan ekonomi. Demikian pemikiran dari New Institutional Economics (NIE) dari tokohnya seperti Douglas C North, dan Oliver E Williamson dan Oliver Hart.

Ketiganya guru besar ekonomi dari AS peraih hadiah Nobel 1993, 2009, 2016. Dasar pemikiran Omnibus Law atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk memberikan kemudahan berinvestasi atau berusaha bagi semua pelaku usaha dengan memperbaiki tata kelola aturan sejalan dengan filosofi dasar NIE, yakni “Institutions matter’.

Dalam diskusi virtual bertajuk “Solusi Membangitkan Ekonomi Di Tengah Pandemi” akhir Juli lalu (Media Indonesia 30/Juli, 2020) saya kemukakan bahwa (salah satu) permasalahan pelik soal investasi yang dihadapi Indonesia adalah tumpang tindih regulasi dan birokrasi yang menyebabkan bottleneck investasi dan Omnibus Law menjadi solusi strategis. Pemulihan ekonomi membutuhkan aturan-aturan main yang baik, yakni inklusif. konsisten dan berkepastian.

Paradigma percepatan investasi dengan meningkatkan kemudahan berusaha idealnya berkesesuaian dengan paradigma-paradigma lain dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Paradigma-paradigma itu adalah, pertama, pemulihan ekonomi dan pengendalian pandemic memiliki bobot yang sama.

Kedua, kesejahteraan sosial dan lingkungan hidup didahulukan dari kepentingan komersial yang profit oriented. Ketiga, meminimalkan kontak fisik antarmanusia dalam interaksi/transaksi ekonomi dan perizinan investasi dengan meningkatkan pemanfaatan teknologi digital, big data dan Artificial Intelligent.

Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM
Guru Besar FEB UGM, Wihana Kirana Jaya

Momentum Normal Baru

Berita Rekomendasi

Era New Normal menghadirkan momentum yang pas untuk menyempurnakan RUU Cipta Kerja sebagai agenda strategis yang sudah digagas sejak prapandemic menjadi UU, kendati faktanya pandemic Covid-19 belum dapat dikendalikan secara optimal. Fakta lainnya, perekonomian telah terkontraksi dalam dua kuartal pertama tahun 2020. Pertumbuhan ekonomi hanya 2,97 persen pada kuartal pertama dan minus 5,32 persen pada kuartal kedua (data BPS). Angka kemiskinan dan pengangguran dipastikan meningkat.

Sementara biaya mitigasi dampak primer pandemi (kesehatan masyarakat) maupun dampak sekundernya (dampak sosialekonomi) dari APBN tidaklah kecil. Maka, triwulan ketiga menjadi titik tonggak konsolidasi, baik dalam pengendalian pandemic maupun pemulihan ekonomi berbasis protocol kesehatan dan regulasi keselamatan lainnya.

Beberapa Catatan

Pada laporan berjudul “Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery’, World Bank menyampaikan beberapa catatan penting. Tiga poin utama yang disorot oleh World Bank menyangkut dampak yang tidak menguntungkan (adverse Impacts) terhadap hak-hak tenaga kerja, kesehatan dan keselamatan masyarakat , dan pelestarian lingkungan.

Catatan World Bank tentang ketenagakerjaan ini sejalan dengan pandangan sejumlah perwakilan asosiasi buruh yang cenderung mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam UU No 13/2003. Revisi terhadap UU Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law dipandang berpotensi merugikan pekerja, terutama skema upah minimum.

Dalam aspek lingkungan, relaksasi perijinan lingkungan berpotensi mengganggu kehidupan masyarakat dan pada gilirannya justru akan berdampak negatif terhadap investasi. Hal senada juga dikemukakan oleh tokoh senior seperti Prof. Emil Salim. Namun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian merespon, bahwa perizinan lingkungan sudah ‘built in’ dengan persyaratan AMDAL dan standar lingkungan.

Usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup senyatanya tidak hanya yang berskala besar, tapi juga UMKM. Pada Bab (Paragraf V) Energi Dan Sumber Daya Mineral ketentuan tentang UMKM atau setidaknya UKM, justru tidak disebut sama sekali, padahal faktanya jenis usaha pertambangan berskala kecil/menengah bawah yang berisiko tinggi ini cukup banyak.

Hal ini kaitannya dengan perubahan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 32 (1) berbunyi :”pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup”.

Kendati pasalnya berbunyi demikian, akan tetapi usaha skala mikro penambangan emas liar secara manual di dalam perut gunung atau di hulu sungai tertentu yang menggunakan merkuri secara tidak aman tentu tidak akan difasilitasi oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Demikian pula, usaha-usaha informal (‘ilegal’) seperti tambang pasir sungai/bukit/pantai, batu pondasi, tanah urug atau tambang emas berskala ‘kecil’ atau ‘menengah bawah’ di daerah perdesaan yang didanai oleh para pemodal sangat perlu diatur dalam RUU tersebut.

Sejumlah pengamat lainnya menilai kegiatan usaha yang selama ini terhambat oleh perizinan dan syarat-syarat terkait lingkungan, bentuk hambatan sebenarnya adalah korupsi dan rumitnya proses administrasi perizinan.

Penilaian ini mungkin ada benarnya, akan tetapi fakta bahwa terdapat prosedur yang selama ini menghambat yang tidak terkait korupsi, seperti misalnya dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, pemerintah hanya melelang proyek, dan pelaku usaha harus mendapatkan lahan dan seluruh perijinan, sehingga biaya proyek menjadi tinggi dan penyelesaian konstruksi tidak tepat jadwal.

Kondisi ini kemudian akan dibalik melalui Omnibus Law, bahwa pemerintah bertanggung jawab menyediakan lahan yang diperlukan dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan lokasi atau trase yang direncanakan sekaligus menyediakan seluruh perizinannya, sehingga pelaku usaha tinggal melaksanakan pembangunan dan penyediaan pembiayaannya.

Aturan Pelaksanaan

Sebagai catatan akhir, bahwa setelah menjadi UU, RUU Cipta Kerja masih harus didukung dengan aturan-aturan pelaksanaan, khususnya peraturan pemerintah.

Pada akhirnya regulasi ini akan diimplementasikan melalui Online Single Submission. Sejauh mana efektivitasnya, antara lain akan tampak pada peningkatan peringkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) yang pada 2020 masih stagnan pada posisi 73, jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (23), dan Thailand (21).

Alhasil, reformasi regulasi melalui Omnibus Law sangatlah penting dan bahkan vital untuk pemulihan ekonomi. Maka, filosofi dasar New Institutional Economics “Institutions matter” benar adanya.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas