Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apakah Manusia Purba Jawa Sudah Mampu Berbahasa?
Pakar Antropologi Ragawi dan guru besar UGM Prof T Jacob (almarhum) pernah menyebut Homo erectus Jawa masih dalam kemampuan protobahasa.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : RA SURIYANTO, Laboratorium Biopaleoantropologi FKM UGM
SAYA maksudkan di sini manusia puba Jawa adalah Homo erectus yang ditemukan di Jawa. Dalam aktivitas hidup keseharian Homo erectus Jawa memerlukan komunikasi di antara mereka.
Komunikasi ini meliputi komunikasi yang terucapkan/bertutur (bahasa) dan isyarat. Petunjuk Homo erectus berbahasa hanya berupa bukti tengkorak fosilnya yang relatif fragmenter dan tidak lengkap.
Banyak fosil tengkorak Homo erectus Jawa yang sudah kehilangan basisnya karena proses taphonomisnya.
Bukti kemampuan bahasa dapat dilihat pada jejak-jejak groove dan sinus di bagian dalam tengkoraknya.
Saat ini fosil-fosil tengkorak itu makin mudah diamati dan dianalisis bagian dalam tengkoraknya –baik tanpa matriks maupun masih terisi matriks– dengan 3D CT scan, dan dapat dicetak 3D reconstruction-nya untuk analisis morfologis lanjut otaknya.
Kemampauan berbahasa mereka juga ditunjukkan oleh bentuk dan posisi foramen magnum (lubang pada basis tengkorak yang berhubungan dengan leher).
Bukti lain ditunjukkan masih relatif landainya os frontale (dahi), di mana di sekitar bregma (Jawa: ubun-ubun); oleh karena itu bisa diduga bagian otak untuk fungsi berbahasa/komunikasi tutur – yang dikenal sebagai Broca’s area – masih relatif terbatas.
Foramen magnum mereka belum membundar dan masih dalam posisi relatif posterior (di sini seperti pada fosil tengkorak Homo erectus Ngandong 6).
Oleh karena itu tenggorokannya terhadap mulut dan hidung belum tegak lurus seperti “huruf L terbalik”, tetapi masih relatif melengkung seperti tenggorokan anak-anak yang baru mampu berbicara.
Jadi tidak perlu heran jika bayi yang berumur belum satu tahun tidak bisa bertutur/berbahasa selayak seorang remaja atau dewasa.
Tenggorokan seperti miliknya yang masih relatif melengkung itu sangat terbatas untuk menghasilkan bunyi konsonan.
Makin bertambah umur pertumbuhan dan perkembangan tenggorokannya akan mampu menghasilkan bunyi konsonan.
Pada individu hidup tenggorokan ini terletak di belakang mulut di bawah lubang hidung berbentuk seperti tabung berotot yang dapat menjadi saluran distribusi makanan dan udara.
Organ ini terbuat dari otot, dan bagian bawah bercabang menjadi dua saluran yang lebih kecil, yakni esofagus atau kerongkongan dan laring.
Organ ini merupakan bagian dari sistem pernapasan sekaligus sistem pencernaan. Bagian teratasnya adalah nasofaring, berikutnya orofaring dan terbawahnya hipofaring atau laringofaring.
Nasofaring dan laringofaring merupakan bagian dari sistem pernapasan, sedangkan orofaring berperan pada sistem pencernaan maupun pernapasan.
Di sini tentu tidak mengesampingkan aparatus-aparatus tutur/ bahasa, antara lain mulut, gigi-geligi, palatum, bibir, lidah dan hidung.
Dengan kondisi itu kita dapat mendeskripsikan Homo erectus masih sangat terbatas berbahasa oralnya.
Komunikasi mereka menggunakan bahasa oral dengan masih banyak bantuan bahasa isyarat. Guru saya, Prof T Jacob menyebut Homo erectus Jawa masih dalam kemampuan protobahasa.
Secara berseloroh saya dapat mengatakan Homo erectus itu sedikit bicara banyak kerja; sebaliknya Homo sapiens seperti kita makin banyak bicara sedikit kerja.
Jadi saat ini tidak perlu heran jika di antara kita makin suka nyerocos, nyinyir, orasi berbusa-busa, berteriak-teriak demontratif.
Bahkan deklamasi panjang-lebar di depan khalayak, karena itu produk dari evolusi manusia, dan penanda Homo sapiens.(*)