Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Cerita Tentang Jasa-jasa Keturunan Tionghoa dalam Kemerdekaan Indonesia
Nasionalisme diperkuat oleh ikatan persamaaan ras, bahasa, sejarah dan agama sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Semangat nasionalisme sangat penting untuk diteruskan. Nasionalisme diperkuat oleh ikatan persamaaan ras, bahasa, sejarah dan agama sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan.
Demikian disampaikan mantan Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dalam pertemuan silaturahmi bersama pengurus Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang dipimpin Pendiri GMRI, Eko Sriyanto Galgendu di kawasan SCBD, Kamis (22/10/2020).
Dia menjelaskan, nasionalisme atau semangat kebangsaan tidak terbentuk secara instan melainkan lahir dari perjuangan panjang untuk merebut kemerdekaan.
Nasionalisme dianggap sebagai roh yang menentukan kemajuan bangsa, memiliki kesamaan cita-cita dan tujuan sehingga timbul rasa mempertahankan negara baik dari internal maupun eksternal.
"Nasionalisme kita itu terbentuk bukan ujug-ujug kan ya tapi dimulai terhadap penjajahan di mana-mana. Sadar akan ketertindasan oleh penjajah maka muncullah kebersamaan," kata Kiki Syahnakri.
Kemudian lahir pergerakan nasional menjadi wujud protes atas penindasan kolonial terhadap rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Bertujuan untuk mencapai kemerdekaan.
"Sehingga lahir Budi Utomo lahir pada 20 Mei 1908. Ketika sumpah pemuda dikumandangkan, di situ terbentuk kebangsaan Indonesia," tutur alumnus Akademi Militer tahun 1971 itu.
Muara perjuangan mereka hanya satu yakni kemerdekaan Indonesia. Tentu banyak yang dikorbankan dan banyak pahlawan yang menjadi benteng pertahanan berguguran.
"Perjuangan mereka sampai kebangsaan dan dilanjutkan ingin merdeka terus bergulir sampai dengan tahun 1945. Perjuangan bukan hanya panjang tapi pengorbanannya luar biasa, berapa syuhada yang meninggal," ujar Kiki Syahnakri.
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di tahun 1945 sudah diwarnai perbedaan karena diketahui ada perwakilan keturunan Tionghoa.
"Dalam perjuangan kemerdekaan, BPUPKI ada perwakilan Tionghoa empat orang di situ, kakeknya Anies Baswedan juga ada. Mereka ikut membuat, menyusun undang undang dasar mendirikan negara," jelas Kiki Syahnakri.
Warga keturunan Tionghoa yang turut serta dalam Sidang BPUPKI yaitu Liem Koen Hian yang ketika itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab adalah AR Baswedan.
Salah satu tokoh Tionghoa yang turut berjasa dalam kemerdekaan Indonesia adalah Mayor John Lie Tjeng Tjoan yang lahir di Manado 19 Maret 1911. Karenanya, keturunan-keturunan Tionghoa turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia.
"Saya juga baca buku sejarah bahwa ternyata suku-suku Tionghoa yang ikut perjuangan fisik banyak ada enam ribu orang lebih ketika ikut mengikuti perjuangan melawan Belanda. Yang menonjol Laksamana Jonh Lie asal Manado, bahkan dapat bintang mahaputera," papar Kiki Syahnakri.
Adapun, John Lie Tjeng Tjoan meninggal pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mendapat Tanda Jasa Pahlawan dari Presiden Soekarno di tahun 1961 dan dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995.