Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Deklarasi dari Mutiara Hitam: Pepera 1969 Final, Papua Bagian dari NKRI
Yanto tidak menafikan adanya pihak-pihak yang berseberangan dan berusaha mengganggu ketenteraman masyarakat.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Semakin banyak elemen masyarakat di tanah Papua yang menyadari, bahwa banyak pihak yang mencoba membuat konflik dengan kampanye usang Papua Merdeka.
Buntutnya adalah menciptakan ketidakstabilan di bumi Mutiara Hitam. Sementara, korbannya adalah rakyat Papua itu sendiri.
Adalah Yanto Eluay putra mendiang Dortheys Hiyo Eluay yang prihatin dengan keadaan tersebut. Karenanya, sebagai putra dari tokoh Pepera 1969, ia merasa berkewajiban meredam setiap upaya mencerai-beraikan masyarakat Papua.
Baca juga: Sabam Sirait: Mari Cintai Papua dengan Sepenuh Hati
Untuk itulah, pada momentum peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober, Yanto akan membuka cakrawala berpikir masyaraka Papua lebih realistis dan tidak mudah diombang-ambingkan propaganda negatif yang berujung pada konflik.
“Kami akan melakukan Deklarasi Presidium Putra-putri Pejuang Pepera Provinsi Papua dan Pernyatan Sikap Ormas-ormas Merah Putih dalam wadah Komponen Merah Putih Papua – Republik Indonesia,” tegas Yanto, seorang Ondofolo Besar di wilayah adat Tabi Ondo.
Tujuan kegiatan adalah penegasan komitmen dalam “Menjaga dan Mengawal Keputusan Pepera 1969 dan Mendukung Seluruh Program Pemerintah Republik Indonesia di Tanah Papua”. Acara tersebut dilangsungkan Rabu (28/10/2020) pukul 14.00 WIT di Pendopo Adat Ondofolo Yanto Eluay, Kampung Sereh, Jl Bestuur Post No. 15, Sentani, Papua.
Yanto Eluay yang juga Ketua Umum Presidium Putra-Putri Pejuang Pepera Provinsi Papua (P5) sudah merancang kegiatan sedemikian rupa. Termasuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di awal kegiatan, dilanjutkan deklarasi. Pejabat pemerintah juga diundang, termasuk Pangdam XVII/Cendrawasih, Kapolda Papua, Tokoh Pepera 1969, dan Ketua Ormas-ormas Merah Putih.
Baca juga: Vanuatu Soroti HAM di Papua, Tantowi Yahya Balas: Mereka Sendiri Banyak, Kayak Kacamata Kuda Saja
Lahirnya ormas P5, menurut Yanto, murni atas prakarsa putra-putri para tokoh Papua yang terlibat dalam Dewan Dewan Musyawarah Pepera tahun 1969. Tokoh-tokoh Papua yang berjumlah 1.026 orang, kini telah beranak-pinak, bercucu, bahkan bercicit.
“Kami merasa berkewajiban melanjutkan keputusan yang dilakukan oleh para orang tua kami yang telah memutuskan bahwa Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI. Bahkan hasilnya telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Resolusi 2504 (XXIV) Majelis Umum.
Yanto tidak menafikan adanya pihak-pihak yang berseberangan dan berusaha mengganggu ketenteraman masyarakat. Dalam memprovokasi masyarakat, mereka selalu berdalih bahwa justru Pepera itu yang mengakibatkan banyak rakyat Papua terbunuh dan melahirkan banyak pelanggaran HAM.
Untuk itulah P5 didirikan, untuk meluruskan persepsi keliru yang masih ada di sebagian kecil masyarakat Papua. “Jangan sampai aksi mengacau keamanan dikaitkan dengan HAM. Sebab, Pepera itu bersifat final dan tidak perlu dipertanyakan. Papua sudah menjadi bagian dari NKRI secara sah,” tandasnya.
Yanto menyadari, usaha itu tidak mudah. Sebab, propaganda Papua Merdeka juga mendapatkan angin dari pihak-pihak asing, dan kaki-tangannya di Indonesia. “Kita harus merapatkan barisan untuk menghentikan setiap upaya mengganggu stabilitas Papua,” tandasnya.
Jembatan Persoalan
Di luar meneguhkan sikap dalam wujud deklarasi dan pernyataan sikap, Yanto juga mengatakan, ke depan ormas ini menjadi jembatan bagi persoalan-persoalan yang ada di Bumi Cendrawasih. Termasuk kesejahteraan, pendidikan, dan aspek-aspek lain.
“Karena Papua adalah bagian dari NKRI, dan itu keputusan para orang tua kita, maka harus menjadi tanggung jawab kita untuk mengawal,” tandasnya.