Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menakar Kinerja Subsektor Peternakan dan Kesejahteraan Peternak di Tengah Pandemi Covid-19

Berbagai hasil laporan telah menunjukkan indikasi resesi ekonomi di sejumlah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Menakar Kinerja Subsektor Peternakan dan Kesejahteraan Peternak di Tengah Pandemi Covid-19
Ist
Dr. Rustam, SE, MSE 

Oleh: DR. Rustam, S.E., M.S.E. *)

BEBERAPA waktu yang lalu, ketika BPS merilis laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I-2020 (year on year) mengalami perlambatan (2,97 persen) dan terjadi kontraksi yang agak dalam berlanjut pada Triwulan II-2020 (year on year) sebesar 5,32 persen, berbagai pendapat di media massa mulai mengemuka bahwa Indonesia di ambang resesi sebagai dampak pandemi Covid-19.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekhawatirannya jika laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali terkontraksi pada Triwulan III-2020 maka Indonesia akan mengalami resesi saat memberi pengarahan kepada para gubernur melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan, Bogor.

Pendapat yang senada juga ditimpali oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia masuk zona resesi dengan mengungkapkan bahwa proyeksi pertumbahan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2020 diperkirakan minus 2,9 persen sampai dengan minus 1,0 persen.

Faktanya sangat jelas bahwa pandemi Covid-19 berdampak hebat pada perekonomian berbagai negara di dunia.

Bahkan berbagai hasil laporan telah menunjukkan indikasi resesi ekonomi di sejumlah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi.

Ekonomi beberapa mitra dagang Indonesia pada Triwulan III-2020 masih terkontraksi, tetapi tidak sedalam kontraksi pada Triwulan II-2020.

Berita Rekomendasi

Amerika Serikat mengalami kontraksi 9,0 persen pada Triwulan II-2020 dan hanya kontraksi 7,0 persen pada Triwulan III-2020.

Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan pada periode yang sama dari kontraksi 2,7 persen menjadi kontraksi 1,3 persen.

Hong Kong juga mengalami kontraksi perekonomian pada periode yang sama dari 9,0 persen menjadi 3,4 persen.

Bahkan untuk Negara-negara Uni Eropa secara agregat pada periode yang sama juga mengalami konstraksi dari 13,9 persen menjadi 3,9 persen.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan konfirmasi atau klarifikasi apakah Indonesia akhirnya memasuki masa resesi dengan rilis BPS secara resmi pada hari Kamis 5 November 2020 terkait laju pertumbuhan ekonomi pada Triwulan III-2020 tercatat sebesar minus 3,49 persen.

Namun, tulisan ini hanya ingin melihat dampak indikasi resesi dengan menakar kinerja usaha peternakan dan kesejahteraan peternak di tengah pandemi Covid-19.

Ilustrasi peternakan.
Ilustrasi peternakan. (Freepik.com)

Indikator yang digunakan untuk menakar kinerja subsektor peternakan adalah laju pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan dan indikator yang digunakan untuk proksi kesejahteraan peternak menggunakan nilai tukar petani peternakan (NTPT) dan nilai tukar usaha pertanian peternakan (NTUPT).

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Pelaku Usaha

Menarik mencermati hasil penelitian BPS bahwa di tengah kondisi pandemi Covid-19 tercatat sekitar 77 dari setiap 100 perusahaan di sektor pertanian dan peternakan masih berupaya mempertahankan operasional usahanya, bahkan sebagian perusahaan masih beroperasi seperti biasa, seperti saat sebelum pandemi.

Fakta ini diperoleh dari 2.482 responden perusahaan pertanian dan peternakan atau sekitar 7,18 persen dari total 34.559 responden perusahaan yang mencakup hampir seluruh lapangan usaha.

Kebijakan perusahaan terkait tenaga kerja berbeda-beda, misalnya, bagi perusahaan yang masih beroperasi seperti biasa, dampak pandemi Covid-19 memaksa 24,59 persen perusahaan melakukan pengurangan jam kerja terhadap tenaga kerjanya.

Bagi perusahaan yang justru beroperasi melebihi kapasitas sebelum Covid-19, dampak Covid-19 mendorong 24,85 persen perusahaan menerapkan peningkatan jam kerja bagi tenaga kerjanya.

Sedangkan perusahaan yang beroperasi dengan menerapkan Work From Home (WFH) akibat dampak Covid-19 menyebabkan 14,04 persen perusahaan mengambil kebijakan tenaga kerjanya dirumahkan (tidak dibayar).

Secara umum, 8 dari 10 perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan.

Sektor usaha yang paling terdampak Covid-19 dialami oleh perusahaan akomodasi dan makan minum (92,47 persen), perusahaan jasa lainnya (90,90 persen), dan perusahaan transportasi dan pergudangan (90,34 persen).

Sedangkan sektor usaha pertanian dan peternakan serta sektor usaha yang lain masing-masing berkisar antara 70,67 persen sampai 87,93 persen.

Dari sudut pandang lain, rumah tangga yang bekerja di sektor usaha peternakan atau peternak patut kita teliti dengan seksama karena kelompok ini juga sangat rentan juga terdampak Covid-19.

Hasil penelitian BPS menunjukkan bahwa masyarakat miskin, rentan miskin, dan yang bekerja di sektor informal merupakan yang paling terdampak dari mewabahnya pandemi Covid-19.

Tercatat 70,53 persen responden dalam kelompok berpendapatan rendah (≤ 1,8 juta) mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Sebaliknya, hanya 3 dari 10 responden kelompok berpendapatan tinggi mengaku mengalami penurunan pendapatan.

PDP Subsektor Peternakan (Yoy) 2019-2020.
PDP Subsektor Peternakan (Yoy) 2019-2020. (Tribunners/DR Rustam)

Menakar Kinerja Subsektor Peternakan

Amanah Undang-undang No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sangat jelas bahwa penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan diarahkan untuk mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Secara eksplisit, dituangkan menjadi Visi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), yaitu: “Terwujudnya Kedaulatan dan Keamanan Pangan Asal Ternak”.

Bicara kedaulatan pangan maka peran Dirjen PKH sangat strategis yang dapat diartikan dari sisi wibawa (berupa kewenangan, kredibilitas, dan integritas), atau dari sisi dominasi (berupa supremasi, keunggulan, dan kekuasaan penuh) atau dari sisi nasionalisme (berupa independensi dan kemandirian) untuk menciptakan kinerja usaha peternakan yang berorientasi peningkatan nilai tambah dan daya saing serta kesejahteraan pelaku usaha peternakan.

Menakar kinerja sektor usaha peternakan dapat dilakukan melalui penciptaan nilai tambah sektor usaha peternakan yang selama ini sudah dihitung oleh BPS, atau lebih dikenal dengan istilah PDB Subsektor Peternakan secara agregat di tingkat nasional.

Idealnya PDRB Subsektor Peternakan secara agregat di tingkat provinsi juga dapat dihitung jika data-data pendukung yang lebih rinci secara inter-regional tersedia.

Ke depan semakin mendesak ketersediaan data agregat secara spasial hingga satuan wilayah terkecil dalam rangka mendukung rencana pembangunan berbasis spasial.

Rilis data BPS menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tahun 2019 tumbuh 5,02 persen. 

Pertumbuhan terjadi pada seluruh lapangan usaha.

Kondisi ini mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun 2018 dengan laju pertumbuhan sebesar 5,17 persen. Padahal, kondisi ekonomi Indonesia periode 2014-2018 tampak memberi harapan baru dengan laju pertumbuhan yang terus meningkat dari 4,88 persen pada tahun 2014 menjadi 5,17 persen pada tahun 2018.

Tak dapat dipungkiri bahwa kontribusi lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap perekonomian nasional masih cukup besar mencapai 12,72 persen tahun 2019 dan sekitar 1,76 persen di antaranya disumbangkan oleh subsektor peternakan.

Kontribusi subsektor peternakan antar triwulan tahun 2019 berfluktuasi, namun tidak terlalu berbeda secara signifikan berkisar antara 1,57 persen hingga 1,67 persen.

Di tengah pandemi Covid-19 tampak bahwa kontribusi lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan dalam tiga triwulan berjalan pada tahun 2020 menunjukkan peningkatan dibandingkan masing-masing triwulan pada tahun sebelumnya.

Peningkatan juga terjadi pada kontribusi subsektor peternakan pada tiga triwulan tersebut berkisar antara 1,67 persen hingga 1,76 persen.

Nilai Tukar Petani Peternakan 2019-2020.
Nilai Tukar Petani Peternakan 2019-2020. (Tribunners/DR Rustam)

Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa peranan subsektor peternakan terhadap perekonomian nasional cukup nyata dalam memenuhi ketersediaan kebutuhan pangan strategis masyarakat yang bersumber dari produk-produk peternakan.

Kinerja subsektor peternakan pada tahun 2019 tercatat paling tinggi dibandingkan subsektor lain pada kategori pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tercermin pada laju pertumbuhan Subsektor Peternakan (year on year) sebesar 7,84 persen, yang diikuti oleh subsektor perikanan sebesar 5,81 persen dan subsektor tanaman hortikultura sebesar 5,53 persen.

Pada kategori pertanian, kehutanan, dan perikanan tersebut terjadi kontraksi hanya pada subsektor tanaman pangan (1,68 persen).

Pola laju pertumbuhan per triwulan pada ketiga subsektor tersebut berfluktuasi dan sangat dipengaruhi pola musiman.

Subsektor peternakan, misalnya, pola musiman yang mempengaruhinya antara lain adanya perayaan hari raya besar agama (Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru), selain kegiatan kebudayaan yang bersifat spesifik lokal di wilayah tertentu.

Seiring berjalannya waktu dan tanpa diduga terjadi penyebaran pandemi Covid-19 yang bermula dari Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019 dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Perekonomian global pada Triwulan I-2020 diperkirakan mengalami kontraksi.

Perekonomian nasional juga mulai merasakan dampaknya, tak terkecuali subsektor peternakan.

Dampak pandemi Covid-19 memperlambat kinerja subsektor peternakan yang tercermin pada PDB subsektor peternakan hanya tumbuh 2,86 persen pada Triwulan I-2020.

Bahkan kinerja subsektor peternakan terkontraksi pada Triwulan II-2020 (1,83 persen) dan berlanjut terkontraksi meskipun semakin membaik pada Triwulan III-2020 (0,16 persen).

Kontraksi pertumbuhan subsektor peternakan pada Triwulan II-2020 disebabkan penurunan permintaan unggas.

Sedangkan pada Triwulan III-2020 kontraksi pertumbuhan subsektor peternakan disebabkan oleh penurunan jumlah pemotongan hewan kurban Idul Adha dan masih rendahnya permintaan hewan ternak untuk jasa akomodasi dan restoran sebagai imbas pandemic Covid-19.

Fenomena ini patut menjadi pelajaran berharga sekaligus dasar kebijakan program kerja oleh Ditjen PKH, Kementan RI untuk mengantisipasi kinerja subsektor peternakan pada Triwulan IV-2020 bahkan penyusunan target neraca supply demand produk peternakan pada tahun 2021.

Menakar Kesejahteraan Peternak

Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik.

Mosher (1987) memaparkan bahwa yang paling penting dari kesejahteraan adalah pendapatan, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan rumah tangga tergantung pada tingkat pendapatan.

Dalam arti yang luas, menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kesejahteraan masyarakat menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik, yang meliputi: meningkatnya tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik; meningkatnya perhatian dan kepedulian terhadap budaya dan nilai-nilai kemanusiaan; dan memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa.

Dari pemahaman penulis, ketiga ukuran ideal tersebut belum tersedia secara komprehensif dan ukuran yang tersedia saat ini masih bersfat parsial dan merupakan indikator proksi (estimasi/pendekatan).

Menakar kesejahteraan petani atau rumah tangga pertanian selama ini masih menggunakan nilai tukar petani (NTP).

NTP secara umum menunjukkan daya tukar dari nilai produk pertanian yang dihasilkan dengan biaya produksi dan barang/jasa yang dikonsumsi.

Dapat dikatakan bahwa NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks yang dibayar pleh petani (Ib).

Penggunaan indikator NTP ini juga diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024 dan menargetkan peningkatan NTP dari 100 (baseline 2018=100, capaian tahun 2018) menjadi 105 pada tahun 2024.

Mencermati populasi petani atau rumah tangga usaha pertanian (RTUP) dari hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) pada tahun 2018 tercatat sebanyak 27,68 juta.

Dari keseluruhan RTUP tersebut ternyata hampir separuhnya merupakan RTUP yang mengusahakan subsektor peternakan (13,56 juta) dimana 13,35 juta rumah tangga mengusahakan ternak pangan dan hanya 0,21 juta yang mengusahakan ternak non pangan.

Tentu saja, selain RTUP subsektor peternakan, beberapa RTUP subsektor lain yang jumlahnya cukup besar, antara lain RTUP yang mengusahakan tanaman padi sebanyak 13,16 juta, RTUP yang mengusahakan tanaman perkebunan sebanyak 12,07 juta, dan RTUP yang mengusahakan tanaman hortikultura sebanyak 10,10 juta.

Proksi tingkat kesejahteraan petani (NTP) pada tahun 2019 berfluktuasi antar bulan dan mengalami peningkatan pada bulan Januari s.d. April dan Agustus s.d. Desember, sebaliknya pada bulan Mei s.d. Juli mengalami penurunan.

Pada periode awal tahun 2020 (Januari s.d. April) terjadi peningkatan NTP dan lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama tahun 2019.

Pada bulan Mei s.d. Juni 2020 terjadi penurunan NTP, dan selanjutnya NTP meningkat kembali pada bulan Juli s.d. Oktober 2020 (data NTP bulan November s.d. Desember 2020 belum tersedia).

Indikator lain yang juga bisa dijadikan proksi tingkat kesejahteraan petani adalah nilai tukar usaha pertanian (NTUP).

Diasumsikan bahwa peningkatan NTUP juga akan cenderung sejalan dan mencerminkan peningkatan tingkat kesejahteraan petani. Perkembangan NTUP per bulan sepanjang tahun 2020 menunjukkan peningkatan.

Kedua indikator proksi kesejahteraan petani tidak ada indikasi terdampak dengan adanya pandemi Covid-19.

Dengan jumlah RTUP subsektor peternakan yang cukup besar tersebut, tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana tingkat kesejahteraan peternak di Indonesia di tengah pandemi Covid-19 sepanjang 2020.

Indikator nilai tukar petani untuk subsektor peternakan (NTPT) dan nilai tukar usaha pertanian untuk subsektor peternakan (NTUPT) digunakan sebagai proksi untuk menakar tingkat kesejahteraan peternak Data statistik yang dirilis BPS menunjukkan bahwa kedua indikator proksi NTPT dan NTUPT per bulan sepanjang tahun 2019 mengalami peningkatan dan cenderung semakin membaik dari bulan ke bulan.

Perbedaan nyata tampak pada NTPT dan NTUPT per bulan sepanjang tahun 2020 menunjukkan penurunan dan cenderung berfluktuasi dari bulan ke bulan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan peternak dapat dikatakan menurun di tengah pandemi Covid-19.

Fakta sederhana ini harus menjadi peringatan dini bagi pemerintah yang diwakili oleh Ditjen PKH, Kementan RI, amanah bahwa negara harus hadir bagi setiap warga negara, dalam hal ini bagi peternak, harus menjadi perhatian serius dan mempersiapkan kebijakan strategis yang berpihak bagi peningkatan kesejahteraan peternak di tengah berbagai ketidakpastian yang masih menghadang.

PEMBELAJARAN KE DEPAN (TARGET VERSUS STATISTIK)

Dalam lima tahun mendatang, salah satu sasaran dalam RPJMN 2020-2024 dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas adalah peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan.

Beberapa indikator strategis yang perlu mendapat perhatian serius dari Ditjen PKH, Kementan RI dikaitkan dengan kinerja subsektor peternakan, antara lain konsumsi daging meningkat dari 13,2 kg/kapita/tahun (baseline 2019 dari hasil prognosa/estimasi tahun 2019) menjadi 14,6 kg/kapita/tahun pada tahun 2024.

Konsumsi protein asal ternak meningkat dari 10,9 gram/kapita/hari (baseline 2019 dari hasil prognosa/estimasi tahun 2019) menjadi 11 gram/kapita/hari pada tahun 2024, dan ketersediaan protein hewani dari 2,4 juta ton (baseline 2019 dari hasil prognosa/estimasi tahun 2019) menjadi 35,3 juta ton pada tahun 2024.

Masih banyak target kinerja yang harus direalisasikan dalam mendukung sasaran pembangunan jangka menengah 2020-2024, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur.

Menyikapi penciptaan nilai tambah subsektor peternakan yang sangat terdampak akibat pandemi Covid-19 dan secara simultan juga menghantam kehidupan peternak di Indonesia, maka perlu ada target program yang komprehensif dan strategi implementasi program tepat sasaran.

Hal ini akan sangat menentukan pencapaian output yang diharapkan di masa yang akan datang.

Upaya peningkatan produksi produk unggas yang diseimbangkan dengan kebutuhan konsumsi masyarakat melalui Gerakan Nasional Makan Daging Ayam (GEMAYA) oleh Dirjen PKH, Bapak Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc, merupakan salah satu program yang tepat dan memberi dampak besar bagi pengelolaan sumber daya ekonomi di bidang pembangunan peternakan yang perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dan membudaya.

Masih perlu dipikirkan program strategis lainnya yang mampu berpengaruh secara simultan bagi penciptaan nilai tambah subsektor peternakan dan peningkatan kesejahteraan peternak.

Bagaimana memastikan bahwa target simultan dua sisi mata uang ini sudah tercapai, fakta otentik berupa angka statistik akan menjawabnya di kemudian hari.

*) Penulis adalah lulusan Doktor dari Program Pascasarjana FEB UI yang saat ini ditugasi sebagai Kasubdit Statistik Peternakan, BPS RI.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas