Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membaca Moderasi di Indonesia
Pendiri Institut Moderasi Indonesia (InMind) menjelaskan agama sesungguhnya sudah bersifat moderat sehingga tidak perlu moderasi
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Dr Zainal Abidin Amir MA*
DUA tahun terakhir, moderasi kembali marak menjadi perbincangan. Terutama sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi.
Banyak kegiatan berupa penelitian, seminar, dan karya ilmiah yang mengangkat tema ini, termasuk di tanah air.
Bahkan lembaga-lembaga yang menggunakan nama moderasi belakangan banyak bermunculan.
Moderasi secara kebahasaan berasal dari kata Latin moderatio yang berarti kesedangan.
Dalam bahasa Inggris kata ini menjadi moderation dan memiliki makna yang sama dengan average (rata-rata), core (inti), standard (baku), serta non- aligned (tidak berpihak).
Di Indonesia kata kemudian disadur menjadi kata moderasi, yang –dalam Kamus Bahasa Indonesia– memiliki arti pengurangan kekerasan, dan penghindaran keekstreman.
Baca juga: VIRAL Wisuda Gendong Ayah, Jefri Ternyata Lulusan Terbaik Universitas Muhammadiyah Kotabumi Lampung
Karena itu, dalam kamus yang sama dijelaskan bahwa moderat –sifat atau kualitas moderasi– adalah orang yang selalu menghindarkan perilaku dan pengungkapan yang eksterem, berkencenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Dalam bahasa Arab, konsep ini dikenal dengan sebutan wasathiyah, yang kurang lebih bermakna sama.
Istilah ini berakar dari kata wasath yang berarti tengah, superioritas, keadilan, kemurnian, kebangsawanan, dan ketinggian status.
Dalam al-Qur’an juga dikenal istilah ummatan wasatha yang berarti “umat pertengahan” atau “umat terbaik”. Ini yang menjadi tujuan moderasi dalam Islam.
Secara konseptual gagasan ini muncul sebagai respon masih maraknya kekerasan berkedok menjaga agama di satu sisi, dan menggampangkan agama di sisi lain.
Sikap berlebih-lebihan (radikal) maupun mengurang-ngurangi (liberal) inilah yang menjadi dua kubu ekstrem yang berupaya dihindari melalui konsep moderasi; konsep jalan tengah.
Baca juga: Pemprov Jabar Larang Perayaan Tahun Baru 2021
Moderasi di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Ini yang berusaha dipotret oleh Eno Syafrudien dan Rizaldi Lufti dalam buku “Moderasi Beragama dan Berbangsa di Indonesia”.