Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Lolosnya Ancaman Pidana Mati untuk Juliari
KPK hanya mengenakan pasal suap terhadap Juliari P Batubara dan kawan-kawan terkait dugaan korupsi Bansos Covid-19.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : PETRUS SELESTINUS, Koordonator TPDI & Advokat Peradi
JULIARI P Batubara dan kawan-kawan, tersangka korupsi proyek bantuan sosial (Bansos) Covid-19 di Kemensos saat ini bisa tersenyum semringah.
Sebab, KPK hanya mengenakan sangkaan pasal suap selaku penerima, sesuai ketentuan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Ardian dan Harry ditempatkan selaku pihak pemberi suap hanya dikenakan sangkaan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU No. 20, Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Alasan KPK, mengapa Juliari P Batubara dan kawan-kawan hanya dijerat pasal suap, ini aneh. Sebab semua unsur pidana dan syarat bukti permulaan korupsi sudah terpenuhi.
Karena pasalnya hanya suap, dengan demikian KPK dipastikan tidak akan menerapkan pasal pidana mati sesuai harapan publik dan komitmen Ketua KPK, Firli Bahuri.
Padahal sesuai temuan penyidik KPK, diperoleh fakta kebijakan korupsi dana bansos pandemi covid-19, didesain Juliari P Batubara dan kawan-kawan.
Mereka merekayasa pendirian PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) dan beberapa PT lainnya, pada Juli dan Agustus 2020, sebagai sarana untuk menyamarkan korupsi dan sekaligus pencucian uang.
KPK yang Semula Galak Jadi Loyo
Jika KPK akhirnya hanya berhenti pada penerapan pasal suap sebagai patokan lantas mengabaikan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, hal ini pertanda KPK sedang berinvolusi menuju ke arah kemerosotan sistemik.
Dari semangat OTT untuk menerapkan hukuman mati, serta merta merosot hanya menerapkan pasal suap dengan ancaman pidana ringan.
Dalil KPK ini bisa melahirkan dugaan KPK sedang bermain dalam rana simbiosis mutualisme dengan kekuatan tertentu.
KPK diduga memiliki agenda terselubung untuk meloloskan pelaku dari ancaman pidana mati. Publik bisa bertanya ada apa dengan KPK? Kok berubah dari galak mau menghukum mati, lalu merosot dan loyo hanya kenakan pasal suap yang ancaman pidananya ringan.
Padahal pimpinan KPK beberapa kali mengumumkan komitmennya menghukum mati tersangka pelaku korupsi di saat negara menghadapi bahaya pandemi Covid-19.
Namun pada saat yang bersamaan KPK menyatakan hanya menerapkan pasal suap terhadap Juliari P. Batubara dan kawan-kawan.
Ini jelas mengecewakan publik karena lunturnya idealisme dan suburnya pragmatisme dalam penyidikan.
Mematikan Partisipasi Publik
Penjelasan KPK sendiri, mengungkap fakta bagaimana awalnya korupsi dana bansos Covid-19 dirancang. Sudah ada pembagian peran, ada peran swasta sebagai pemberi suap dan ada peran penyelenggara negera sebagai penentu kebijakan.
Diawali pendirian PT RPI pada Agustus 2020. KPK menduga pemilikan PT RPI adalah Matheus Joko Santoso dan kawan-kawan secara nominee, untuk menyamarkan hasil korupsi melalui pencucian uang.
Dengan demikian penerapan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagai suatu keniscayaan.
Ada segala skenario dan rekayasa rekanan-rekanan sudah ditentukan semua dengan berlindung di balik penunjukan langsung.
Di sini unsur perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, kerugian negara, pada saat negara sedang menghadapi bahaya pandemi Covid-19, telah terpenuhi semua.
Di sini kurva pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami proses involusi secara sistemik dan terdegradasi.
Ini jelas langkah mundur pemberantasan korupsi di era pimpinan KPK Firli Bahuri, sekaligus memperkuat persepsi publik lahirnya UU No. 19 Tahun 2019, Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memperlemah KPK.
Hal ini ditunjang inkonsitensi sikap pimpinan yang berdampak KPK kehilangan kedigdayannya.
Padahal KPK secara berturut-turut telah menunjukan kedigdayaan melalui OTT terhadap pelaku korupsi big fish dan high rank, yaitu Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan RI) dan Juliari P Batubara (Menteri Sosial RI).
Akhirnya yang dibuat mati KPK bukan "koruptornya", tetapi semangat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, karena setiap OTT sumber informasinya dari masyarakat.(*)