Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Gus Yaqut, Harmoni itu Artinya Menegakkan Hukum!

Menteri Agama Gus Yaqut diharapkan lebih bijak lagi dalam mengeluarkan statemen agar tak terpeleset.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Gus Yaqut, Harmoni itu Artinya Menegakkan Hukum!
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon. 

Gus Yaqut, Harmoni itu Artinya Menegakkan Hukum!

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Agama (Menag) yang baru, KH. Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), berada dalam pusaran polemik. Sehari paska pelantikan memang membawa angin segar bagi kelompok minoritas. Terlebih dari nonmuslim. Kunjungannya ke Gereja Kristen Semarang di Perayaan Natal, cukup memberikan harapan baru bagi kehidupan harmoni antar umat beragama.

Semangat Menag baru ini terlihat menggebu-gebu. Sampai-sampai nyaris membuat gelisah umat muslim sendiri. Terlihat dari Wakil Ketua Umum (Waketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang berusaha mengingatkan agar Gus Yaqut lebih berhati-hati, terlebih terkait Syi’ah dan Ahmadiyah.

Bagi Anwar Abbas, Syi’ah itu berbeda dari Sunni. Bila Syi’ah berwatak revolusioner, Sunni lebih moderat. Dalam suatu kesempatan, KH. Said Aqil Siradj (Ketum PBNU) menilai Syi’ah di Indonesia itu berbahaya, namun hari ini masih belum. Jika Anwar Abbas melihat dari karakter gerakannya, Kiai Sa’id dari momentum politiknya.

Untung saja, Gus Yaqut segera melakukan klarifikasi. Maksud utama pernyataannya yang sempat kontroversial, yakni melindungi Syi’ah dan Ahmadiyah, adalah sebagai warga negara. Kemenag akan menjadi fasilitator dialog dan perbedaan. Sebab, melindungi Syi’ah dan Ahmadiyah sebagai “keyakinan” berbeda dari melindungi mereka sebagai warga negara (citizen).

Sebagai warga negara, setiap tubuh dan jiwa dilindungi oleh negara dan hukum. Sebagai warga negara, banyak pasal dalam undang-undang yang menjamin hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Misal, Pasal 28 UUD 1945, Psal 28E ayat 3 UUD 1945, dan Pasal 24 ayat 1 UU HAM.

Berita Rekomendasi

Sebaliknya, melindungi Syi’ah dan Ahmadiyah sebagai “keyakinan” tidak bisa ditimbang, dinilai, dijustifikasi berdasarkan pasal dan undang-undang. Keyakinan ditimbang dengan keyakinan. Syi’ah dan Ahmadiyah diukur dari sudut pandang Sunni. Hal ini wilayah kerja para ulama melalui MUI/ PBNU/PP muhammadiyah, dan bukan Menteri Agama.

Logika Prof. Azyumardi Azra pada Forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (15/12/2020) dapat jadi pertimbangan. Menurut Azra, “di wilayah mayoritas Kristen protestan, orang Katolik sulit membangun gereja. Di wilayah mayoritas Katolik, orang Kristen protestan menderita hal serupa.” Perilaku sosial ini karena masyarakat kita masih menggunakan neraca timbangan “keyakinan”, belum bergeser pada ranah hukum positif, pasal dan undang-undang.

Klarifikasi Gus Yaqut cukup melegakan, walau sebelumnya betul-betul mendebarkan jantung. Klarifikasinya tampak mulai adanya pembenahan cara pandang dalam melihat keragaman agama maupun sekte dalam agama. Ada enam agama resmi di Indonesia, tetapi sekte dalam agama sangat banyak sekali.

Sangatlah penting Menag baru kita ini belajar pada ketergelinciran lidah Menag lama. Berulang kali Menag lama membuat pernyataan kontroversial. Hal itu tidak lepas dari cara berpikirnya, yang cenderung menjustifikasi perilaku sosial-keagamaan individu/kelompok tertentu dari sudut pandang “keyakinan” dirinya. Padahal, hukum positif (pasal dan undang-undang) membolehkannya.

Salah satu contoh yang masih terngiang, Menag lama menilai indikator terorisme dari fashion seseorang. Cara pandang ini hanya bernilai benar bila alat ukurnya berupa “keyakinan” Menag lama itu sendiri. Tetapi, bila alat ukurnya berupa hukum positif maka tidak ada satu pasalpun dalam peraturan dan perundangan yang bicara fashion teroris.

Gus Yaqut harus sadar diri bahwa dirinya bukan lagi sebatas Ketum GP Ansor, tetapi sudah duduk di jajaran pemerintahan. Perubahan status sosial ini harus diikuti oleh kesadaran cara berpikir, bergeser dari wilayah kultural ke wilayah struktural. Misalnya, jika selama ini sering “bentrok” dengan Front Pembela Islam (FPI), hal itu bisa dimaklumi. Karena visi dan manhaj dakwah GP Ansor berseberangan dengan FPI.

Ketika jabatan Menag sudah disandang, sudut pandang GP Ansor dalam melihat FPI ini harus ditanggalkan. Menag harus menggunakan standar hukum, peraturan dan perundangan, pasal dan ayat, yang berlaku. Pergeseran cara pandang semacam ini, hemat penulis, baru tampak ketika Menag melakukan klarifikasi terkait ucapannya yang kontroversial itu.

Secara sederhana, untuk membangun harmoni di tengah masyarakat yang majemuk ini adalah bersikap tidak berat sebelah. Menag harus mampu mengayomi semua umat, baik yang muslim maupun nonmuslim, baik yang mayoritas maupun minoritas. Jangan sampai berniat baik mau melindungi Syi’ah dan Ahmadiyah, tetapi pada saat bersamaan menyakiti hati Sunni. Atau, berniat baik mau melindungi minoritas tetapi pada saat bersamaan menyakiti mayoritas.

Mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial akan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Sebab, catatan digital sebelum menjabat sebagai Menag dapat dipakai oleh para perusuh yang cenderung adu domba dan bikin konflik. Walaupun pada saat sebelum menjabat sebagai Menag, Gus Yaqut dapat dimaklumi, karena masih sebagai ketua ormas tertentu.

Misalnya, Detiknews pada 29 November 2020 memberitakan tentang pernyataan Gus Yaqut, yang kala itu masih Ketum GP Ansor, tentang tokoh agama yang lama pergi (Muhammad Rizieq Shihab), kemudian pulang kembali ke Indonesia untuk merusak Islam. Hal ini masuk akal, karena sudut pandang yang dipakai untuk menilai adalah visi dan manhaj GP Ansor. Hal ini tidak perlu terulang. Apapun justifikasi Menag terkait FPI, misalnya, harus menunggu proses hukum yang sedang berjalan.

Harmoni harus dimulai dari menjadikan hukum sebagai standar penilaian bersama. Baik itu menyangkut Syi’ah, Ahmadiyah, Sunni; Islam dan non-Islam, mayoritas dan minoritas. Sebab hukum adalah konsensus politis yang sangat sensitif. Bila konsensus ini tidak dipakai, lalu coba-coba memakai standar lain di luar hukum, sudah pasti akan mudah dipolitisir. Hal ini tidak menguntungkan bagi tujuan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bis shawab.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas