Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Fiqih dan Tasawuf seperti Satu Tarikan Nafas Tak Terpisahkan
Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau bisa memahami bahwa kedua disiplin ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk
Editor: Husein Sanusi
Fiqih dan Tasawuf seperti Satu Tarikan Nafas, Tak Terpisahkan
Oleh KH. Imam Jazuli., Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan masih saja ada anggapan oleh kelompok tertentu, bahwa tasawuf dan tarekat adalah ajaran yang keluar dari islam, atau bid’ah. Karena menurut mereka, hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, serta tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an, atau paling tidak, ada anggapan pada mereka yang belajar hanya ilmu fiqih, sering kali memandang rendah para pembelajar ilmu tasawuf. Sebaliknya, mereka yang berkonsentrasi dengan tasawuf, kadang melalaikan hukum-hukum fikih.
Dikotomi semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, kalau bisa memahami bahwa kedua disiplin ilmu itu sesungguhnya merupakan anak kandung dari induk ilmu-ilmu keislaman yang sebenarnya tetap satu. Meskipun dalam konteks tertentu, ada perbedaan nalar, sehingga Imam Al-Ghazali melalui Ihya (Ihya Ulumiddin) mencoba menawarkan jalan tengah, bahwa tasawuf dan fikih adalah satu kesatuan atau satu tarikan nafas bagi umat Islam.
Imam Al-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam, salah satunya karena beliau punya jasa yang amat besar dalam memberikan argumen (hujjah) baik lewat dalil akal atau naqli. Keduanya berjalin berkelindan dengan rapi dan saling menguatkan ibarat simpul-simpul temali yang terikat dengan benar. Mengalahkan sekian banyak argumen kalangan, termasuk argumen para zindiq (anti-Tuhan). Selain Imam Ghazali, juga ada Syaikh Akbar Abdul Qadi Al-Jilani, dalam karyanya, "Al-Ghunyah".
Salah satu yang menjadi dasar, bahwa tasawuf dan fiqih itu harus berjalan seiring dan senafas, saling mendukung dan melengkapi adalah hadis shahih, yang disebut hadist Jibril As,. Diriwayatkan, suatu ketika Nabi kedatangan tamu di suatu majelisnya, kemudian orang ini mendekati Rasulullah Saw., bahkan semakin dekat, sampai-sampai dia menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi, kemudian meletakkan dua telapak tangannya ke atas dua paha Nabi, kemudian terjadilah tanya Jawab antara mereka berdua:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ : أَنْ تؤمِنُ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Nabi menjawab :”Islam adalah kamu bersaksi tidak ada yang berhak dipatuhi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan kamu menunaikan haji ke Baitullah, jika kamu mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Kamu benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Nabi menjawab: “Iman adalah, kamu beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan berIman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.” Nabi menjawab:” Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (Fath al-Bari li Ibn Hajr, (125/1).
Terkait dengan hadist ini, Imam al-Qurthuby (w 671 H) memberi tanggapan, bahwa hadits ini layak disebut sebagai induknya sunnah, itu dikarenakan kandunganya yang menghimpun aspek nilai-nilai islam, yang mencakut dhahir dan batin. (Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim (160/1). Sementara menurut Imam Izzuddin bin Abdus Salam (W 660 H/1262 M), antara fiqih dan tasawuf adalah dua hal yang tak terpisahkan dari kenyataan hidup ini. Fiqih boleh jadi di wilayah publik, sementara tasawuf berada di wilayah privat.
Itu sebabnya setiap ibadah selalu melibatkan keduanya, seperti wudlu, shalat tidak akan sah jika tidak ada niatnya. Dalam kitab Al-Qawâ’id al-Kubrâ, Izzuddin bin Abdus Salam berkata, “Fiqih punya nalar sendiri, dan itu terukur, ilmiah, logis, sisi dhahir, sementara tasawuf atau aqidah boleh jadi tidak terukur, individualis, anlogis, tapi jalannya akan tetap sama dengan fiqih.” (Al-Qawâ’id al-Kubrâ: 1/6)
Dalam bahasa yang lain, fiqih hanya membahas kerangka dalam suatu ibadah, jika sudah menyangkut terhadap niat atau keikhlasan dalam beribadah itu adalah pembahasan ilmu tasawuf. Maka dari itu fiqih dan tasawuf sangat erat kaitannya.
Di sisi lain, tasawuf dapat menjawab kegelisahan umat muslim dalam beribadah. Tasawuf dapat juga memberikan nuansa kebatinan yang dapat membangkitkan suasana batin untuk menyampaikan kepada Allah Swt. secara naluriah. Karena sejatinya, dalam Islam semua aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam dengan niat lillahitaala adalah suatu ibadah, dan sufi mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dan melaksanakannya secara khusyu, tulus, dan ikhlas. Karena itu, Imam Malik sampai pernah berkata:
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسّق ومن جمع بينهما فقد تحقق

