Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Islam Kaffah: Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma'rifat
Jika dianalogikan, maka syariat itu ibarat perahu, tarekat adalah nahkodanya.
Editor: Husein Sanusi
Makrifat adalah anugerah Allah pada kalangan Al-Arif (orang yang mencapai makrifat) berupa ilmu, rahasia (asrar) dan lataif (kelembutan). Untuk mendapatkan anugerah arifbillah ini, seorang salik tidak dapat begitu saja, tetapi, ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan. Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda karena maqāmāt itu terkait erat dengan pengalaman spiritual itu sendiri.
Yang dimaksud maqam di sini ialah puncak pencapaian spiritual yang dapat dicapai seseorang. Ibarat tangga yang mempunyai beberapa anak tangga, harus didaki para pencari Tuhan (salik) melalui berbagai usaha. Dari anak tangga pertama hingga puncak memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. (Huda Darwis, At Tasawwuf wa Rasail an-Nur Li an Nursi, hal. 220).
Pencapaian maqam tertinggi yang di idamkan bagi seorang salik adalah ma'rifat, konsep ma'rifat ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal dengan istilah Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah hulul, bagi Al-Jilli disebut Insan al-Kamil, bagi Al-Ghazali disebut wushul dan bagi lbnu Arabi menyebutnya dengan istilah wahdat al-wujud. Makrifat bisa dicapai dengan lamanya "bermuamalah" dengan Allah. Makrifat merupakan hasil dari sikap zuhud dan penyucian diri dan ia tidak dapat dicapai kecuali dengan dzauq (rasa) dan wijdan (kekuatan batin) (Lihat, Kamal Ja'far dalam Al-Tashawwuf, hlm. 200).
Sementara tarekat adalah kesungguhan hati (mujahadah al-nafs) dan meningkatkan kualitas karakter hati yang kurang menuju kesempurnaan dan naik dalam posisi kesempurnaan dengan sebab ditemani oleh para mursyid. Tarikat adalah jembatan yang menjadi perantara dari syariah menuju hakikat (As-Sayyid, Takrifat, hal. 94).
Sementara bagi Imam Nawawi pokok-pokok tarikat adalah:
أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية، واتباع السنة في الأقوال والأفعال، الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار، الرضى عن الله في القليل والكثير، والرجوع إِلى الله في السراء والضراء
Artinya: Pokok tarekat tasawuf ada lima: takwa pada Allah dalam rahasia atau terang, mengikuti sunnah dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk dari depan dan belakang, rela pada pemberian Allah dalam sedikit atau banyak, kembali pada Allah kala senang dan susah. (Imam Nawawi, Al-Maqashid fi Al-Tauhid wal Ibadah wa Ushul Al-Tashawuf, hal. 20)
Menurutnya, ulama salaf tidak keberatan dengan keberadaan tasawuf/tarekat terorganisir dengan syarat tidak ada hal-hal yang berlawanan dengan 4 sumber syariah yaitu Quran, Sunnah, ijmak dan qiyas. Imam Nawawi dalam Al-Maqashid fi Bayan Al-Aqaid wa Ushul Al-Ahkam, hlm. 92, menjelaskan soal ini:
أصول الدِّين أربعة : الكتابُ والسنُّة والإجماع والقياس المعتبران . وما خالف هذه الأربعة فهو بدعةُ ومرتكبُه مُبتدع , يتَعَيَّنُ اجتنابه وزجرهُ . ومن المطلوب اعتقاد من علم وعمل ولازم أدب الشريعة , وصحب الصّالحين . وأمّا من كان مسلوباً عقلهُ أو مغلوباً عليه , كالمجاذيب , فنسلّم لهم ونفوّض إلى الله شأنهم , مع وجوب إنكار ما يقع منهم مخالفا لظاهر الأمر , حفظاً لقوانين الشَّرع
Artinya: Pokok agama ada empat: Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas yang muktabar. Adapun sesuatu yang berlawanan dengan sumber yang empat ini maka bid'ah (yang sesat) dan pelakunya adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang harus dijauhi. Dituntut untuk meyakini ulama yang mengerti dan mengamalkan ilmunya dan komitmen pada aturan syariah dan bersama kalangan orang soleh. Adapun orang yang rusak akalnya atau gila, seperti orang yang jadzab, maka kami serahkan tingkah mereka pada Allah serta wajib mengingkari pada yang terjadi pada mereka yang berlawanan dengan zhahirnya guna menjaga aturan syariah.
Urgensinya Mursyid dalam Tarekat
Tujuan tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan mursyid bertujuan untuk membimbing atau mengarahkan orang untuk mengenalkan ilmu hakikat dan ma'rifat. Mereaka tidak saja akan menjelaskan pentingnya ilmu ini dengan pemisalan yang tinggi, tapi sekaligus sebagai teladan. Sandaran dalam bertarikat harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah ma'rifat, sebagaimana Hadits Nabi Saw:
عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah beserta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
Berdasarkan keterangan Hadits di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang beserta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Busthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadits Nabi Saw:
مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ
Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.
Karena pentingnya mursyid ini, seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah mnengatakan:
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Riwayat Muslim).