Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kebodohan Dalam Baragama adalah Akar Kejahatan Teroris!
Kafir Harbi adalah orang-orang non-muslim yang menyatakan perang terhadap umat muslim.
Editor: Husein Sanusi
Kasus pengeboman Gereja Katedral di Makassar lebih tepatnya dimaknai sebagai kebodohan intelektual, dari pada sebagai semangat beragama yang baik dan benar. Sebab, pertama kali malaikat Jibril menemui Muhammad di Gur Hira' bertujuan untuk mengajarkan membaca, belajar, dan berpengetahuan yang luas. Andai kaum teroris mau lebih sabar, belajar Islam dari tingkat paling rendah hingga ke level profesional, tentu pikiran tidak akan cupet, jiwa tidak akan sempit.
Imam al-Albani rahimahullah, misalnya, mengutip riwayat al-Daruquthni (349) dan al-Baihaqi (8/33) sebuah atsar dari Ibnu Umar radiyallahu 'anhu. Bahwa ada seorang muslim yang membunuh seorang kafir dzimmi secara sengaja, lalu si muslim pembunuh ini dilaporkan pada Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah pun menjatuhkan diyat (hukuman) dengan hukuman yang berlaku pada pembunuh muslim.
Orang-orang kafir atau nonmuslim di Indonesia adalah kafir dzimmi, sesuai kriteria dari Ibnu Hajar al-Asqalani. Nonmuslim Indonesia bukan saja dijaga kehormatannya, dijaga harta dan jiwa mereka, oleh konstitusi negara. Lebih dari itu, umat muslim terbesar di Indonesia seperti warga Nahdliyyin dan Muhammadiyah telah berdamai dengan mereka.
Faktor-faktor sosiologis, adanya dukungan mayoritas umat muslim ini, menjadi pertimbangan hukum. Semua nonmuslim Indonesia adalah dzimmi, dan orang muslim yang membunuh kafir dzimmi tidak akan pernah sempat mencium aroma surga. Itu penekanan langsung dari Rasulullah saw.
Penting pula disampaikan pandangan Imam Ahmad bin Hambal radhiyallahu 'anhu, dalam kitab Masail al-Imam Ahmad bin Hambal wa Ibni Rahwayh (2004: jilid 7, hlm. 3498) bahwa seorang muslim yang membunuh orang kafir dzimmi secara sengaja maka hukumnya adalah Qishash, dan diyatnya (denda) berkali lipat.
Orang-orang teroris ini selain sempit ilmu pengetahuan mereka, dan hanya membatasi pada bacaan yang sedikit dan spesifik, tetapi juga sering mengkhianati sumber rujukan mereka sendiri. Karenanya, segala tindakan terorisme bukan saja salah di mata hukum positif melainkan juga salah di mata hukum agama.
Terakhir, Syeikh Khalid al-Musyaiqah dalam kitabnya al-'Aqdu al-Tsamin fi Tarikh al-Bilad al-Amin (1406: 254) menegaskan, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi secara sengaja maka hukumnya bisa dua kali lipat.
Dari semua rujukan di atas, hemat penulis, siapapun yang melukai kafir dzimmi sama kedudukannya dengan meludahi wajah Islam. Pelakunya dapat dijatuhi hukuman dua kali lipat dari yang semestinya. Pemerintah dan hakim pengadilan tidak perlu segan-segan menjatuhkan hukuman yang berlipat ganda terhadap umat muslim yang menciderai wajah Islam.
Ada hikmah yang sangat mendalam di dalam pandangan Syeikh Khalid al-Musyaiqah, Imam Ahmad bin Hambal, Syeikh al-Albani, Al-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Semua ulama sepakat agar hukum diberikan dua kali lipat lebih berat dari pada yang semestinya. Ini menjadi pelajaran bahwa umat muslim harus menjadi standar moral.
Apakah dengan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dua kali lipat dapat disebut diskriminasi umat muslim? Tidak! Adakah umat muslim yang berani mengatakan Ibnu Hajar, al-Baihaqi, al-Daruquthni, Imam Ahmad bin Hambal sebagai pelaku diskriminasi terhadap umat muslim? Tidak. Dengan menjatuhkan hukuman dua kali lipat lebih berat, para ulama Salafus Sholeh ingin mendidik masyarakat muslim agar lebih bermoral, beradab, dan rahmatan lil alamin.* wallahu a’lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.