Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Hanya Sekadar Tes di KPK? Awas Oversimplistis

KPK menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Hanya Sekadar Tes di KPK? Awas Oversimplistis
Tangkap layar kanal YouTube Baitul Maal Hidayatullah
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel 

Oleh: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik

TRIBUNNERS - KPK menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Media mengabarkan, puluhan pegawai tidak lulus dan mungkin diberhentikan. KPK sendiri menyerahkan masa depan 75 orang itu ke PANRB dan BKN.

Persoalannya, apakah nasionalisme bisa ditakar hanya dengan mengandalkan tes? Dan apakah layak jika nasib seseorang ditentukan sepenuhnya hanya berdasarkan tes?

Banyak peneliti yang mengingatkan bahwa nasionalisme sejatinya punya makna lebih luas dari 'sekedar' urusan ideologi.

Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk menilai seberapa jauh rasa cinta Tanah Air, yaitu tingkat kejahatan, perusakan fasilitas publik, pembajakan musik, dan korupsi.

Baca juga: Apa Kata Menteri Tjahjo Soal 75 Pegawai KPK yang Tak Lolos Asesmen?

Sayangnya, hal-hal semacam itu cenderung terlupakan, sehingga jiwa kebangsaan ditinjauh sebagai masalah ideologi 'semata'.

Berita Rekomendasi

Dengan penyempitan makna seperti itu, maka tidak lulus tes bermakna tidak cukup berwawasan kebangsaan alias tidak nasionalis.

Karena tidak nasionalis, maka yang bersangkutan adalah cikal-bakal pengkhianat. Karena berpotensi makar, maka harus dipecat. Ini penarikan simpulan sekaligus penyederhanaan langkah yang overdosis.

Tes memang penting. Apalagi bagi penegak hukum, sangat baik jika tes dilakukan secara berkala. Di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, misalnya, saya merekomendasikan agar assessment dilakukan paling sedikit dua tahun sekali.

Assessment rutin akan membuat personel merasa terawasi, sehingga terdorong untuk terus-menerus bekerja dengan baik.

Baca juga: Eks Pimpinan KPK Kecewa Hasil Putusan MK terkait Uji Formil UU 19/2019

Assessment pun idealnya tidak hanya mengandalkan tes sebagai format satu-satunya. Banyak cara lain yang perlu juga diselenggarakan dan diintegrasikan dalam sebuah program assessment kinerja.

Program assessment yang menerapkan pendekatan beragam (multiapproach) akan menghasilkan simpulan lebih utuh tentang personel penegakan hukum.

Beda dengan tes, yang jika dijadikan sebagai pendekatan tunggal, rawan menghasilkan gambaran yang terlalu simplistis tentang diri personel.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas