Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Mengubah Paradigma Tentang Filateli

Seringkali muncul beberapa paradigma keliru tentang filateli di masyarakat sehingga hobi ini menjadi antara ada dan tiada.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Mengubah Paradigma Tentang Filateli
Foto Gilang Adittama
Tiga generasi kolektor prangko: penulis Gilang Adittama (kiri) termuda, dengan generasi senior (tengah) dan generasi yang lebih muda (kanan). 

Oleh Gilang Adittama *)

KEHARUSAN melakukan segala aktivitas di rumah selama pandemi, begitu banyak anak dan remaja di luar Indonesia berkesempatan untuk merasakan bertemu dengan tukang pos untuk mengambil kiriman.

Mereka secara tidak langsung dikenalkan keindahan secarik amplop dengan alamat tujuan dan sebuah karya seni kecil tertempel di pojok kanan atas.

Sebuah sampul surat dengan tempelan satu atau beberapa prangko beserta cap posnya sebetulnya belum menjadi pemandangan asing bagi generasi modern.

Pada binder, wadah pensil, stiker dinding, dan benda-benda lainnya seringkali terdapat desain berupa entire cover atau sampul surat utuh.

Melihat fakta bahwa barang-barang tersebut laku di pasaran, bolehlah kita asumsikan bahwa benda pos belum kehilangan daya pikat magisnya.

Sayangnya, seringkali muncul beberapa paradigma keliru tentang filateli di masyarakat sehingga hobi ini menjadi antara ada dan tiada.

Berita Rekomendasi

Filateli selalu disebut sebagai the king of hobbies (rajanya segala hobi), namun saat ini apakah sang raja tua masih bertahta di hati rakyat kita? Ataukah singgasana sang raja telah tergantikan oleh gaming chair dan sadel sepeda?

Saat ini tampaknya filateli sudah kalah populer dari game online dan bersepeda.

Prangko Terbitan Monaco
Prangko terbitan Monaco dengan gambar kolektor yang sedang menekuni albumnya.

Hal ini bukan semata–mata karena hobi tersebut memang usang, tetapi juga disebabkan oleh minimnya penggunaan prangko dalam sistem pengeposan di Indonesia.

Di negara-negara selain Indonesia, khususnya Inggris Raya, tradisi penggunaan prangko tidak pernah hilang ataupun berkurang terlepas dari lebih majunya mereka dari Indonesia di bidang teknologi.

Penggunaan prangko tetap dilakukan pada setiap paket barang, surat fisik, ataupun kartu natal selama pengiriman dilakukan dengan jasa pos.

Baca juga: Philanippon 2021, Acara Akbar Bagi Pengumpul Prangko di Jepang Berlangsung 25-30 Agustus 2021

Dengan demikian, anak–anak dan remaja tetap dekat dengan prangko serta benda pos lainnya sehingga tidak tertutup kemungkinan tumbuhnya minat mereka untuk mengoleksinya.

Filateli memang bukan hanya mengumpulkan, tetapi juga mempelajari secara terperinci, bahkan menyusun suatu koleksi besar untuk perlombaan di berbagai tingkatan.

Namun, semua tahapan ini dimulai dari menyenangi dan mengumpulkan prangko dari bekas sampul surat.

Jika dibandingkan hobi lainnya, filateli memang lebih superior karena melibatkan begitu banyak aspek; mulai dari pencarian, perawatan, penelitian, pendanaan, sampai persaingan di pameran yang tidak bisa disepelekan.

Bersama dengan frase ‘rajanya segala hobi’, muncul pula frase the hobby of kings karena banyaknya kepala negara yang menjadi penggiatnya.

Sayangnya, label ini seperti membuat filateli menjadi terlalu eksklusif, seolah hobi ini hanya diperuntukkan bagi orang kaya.

Persepsi ini tidak sepenuhnya benar karena kita adalah penentu standar bagi koleksi kita sendiri.

Jika seorang filatelis senang dengan prangko bekas atau cap-cap pos, maka sa-sah saja baginya untuk mengklaim bahwa koleksinya bermutu tinggi asalkan didukung dengan pengetahuan yang memadai.

Prangko dan benda filateli jadi bahan ajar para pelajar Indonesia di beberapa daerah saat ini.
Prangko dan benda filateli jadi bahan ajar para pelajar Indonesia di beberapa daerah saat ini. (Foto Gilang Adittama)

Pada kelas kompetisi di pameran filateli sekalipun, sebuah koleksi dengan banyak barang langka anak dinilai rendah jika tidak didukung dengan keterangan lengkap dari hasil riset.

Dalam sistem penjurian resmi dari federasi filateli dunia, alokasi poin untuk aspek rarity (kelangkaan) hanyalah 20 persen.

Aspek-aspek lain seperti pemilihan judul, pengembangan kerangka koleksi, pengembangan tema, inovasi, dan presentasi justru mendapat akumulasi persentase penilaian sampai 80 persen.

Di kelas remaja, bahkan alokasi poin untuk rarity berada pada kisaran 10 persen – 15 persen. 

Bahkan, syarat untuk mendapatkan kualifikasi juri internasional pun hanya medali Large Vermeil yang berarti keunggulan pada aspek rarity atau kepemilikan barang super langka dan mahal bukanlah syarat untuk menjadi seorang juri.

Filateli sebagai hobinya para raja lebih tepat diartikan sebagai hobinya orang-orang berwawasan luas, bermental baja, dan berkomitmen tinggi, bukan hanya berdompet tebal.

Keluhan lain yang sering dikemukakan orang awam adalah bahwa filateli merupakan hobinya para pensiunan dengan banyak uang dan waktu luang.

Baca juga: Warisan Dunia Kastil Himeji Jepang Semangatkan Filatelis Mengoleksi Prangko

Tentu saja ini pun tidak bisa dibenarkan. Kita semua tahu bahwa ada pepatah bijak mengatakan, "Saat muda kau punya waktu luang tapi tak punya uang. Saat dewasa kau punya uang tapi tak punya waktu luang. Saat tua kau punya waktu luang dan uang tetapi tak punya tenaga."

Pepatah ini sedikit banyak menggambarkan bagaimana proses seorang penggiat filateli dalam menekuni hobinya.

Seorang filatelis muda tidak harus memperbanyak koleksi barang langka, tetapi harus banyak bergaul dengan filatelis senior, belajar tentang sejarah pos, memahami teknis pencetakan benda-benda pos, dan berlatih menyusun koleksi.

Saat dewasa, di mana pengetahuan telah mumpuni dan uang bukan lagi masalah besar, seorang filatelis bisa fokus menambah koleksi barang langkanya walaupun pada akhirnya tidak sempat menyusun koleksi untuk kompetisi.

Di masa pasca kerja, atau usia empat puluh ke atas, seorang filatelis bisa dikatakan mulai memasuki periode keemasannya.

Dengan sedikit menurunnya tuntutan kerja, waktu luang untuk menyusun koleksi pun tersedia.

Tentu situasinya akan lebih baik jika urusan pendanaan tetap stabil seperti sedia kala.

Prangko Jepang tema Olimpiade Tokyo 1964.
Prangko Jepang tema Olimpiade Tokyo 1964. (Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo)

Inilah masa di mana seorang filatelis dapat menuai hasil perjuangannya di masa remaja dan dewasa.

Hasil perjuangan tersebut akan mewujud pada penghargaan dari sesama rekan filatelis di berbagai negara, kepuasan batin serta intelektual, serta investasi jangka panjang bagi anak cucu kelak.

Jika paradigma masyarakat terhadap filateli bisa diubah, maka peluang untuk mengedukasi generasi muda melalui filateli akan kembali terbuka luas.

Hobi ini bukan hanya rajanya segala hobi ataupun hobinya para raja.

Hobi ini bisa membuat orang kaya secara materi dan intelektual layaknya seorang raja.

Bagi yang mau berdiskusi filateli ada whatsapp group bagi Filatelis, email ke: filateli@jepang.com Subject: Filatelis, dengan nama lengkap alamat tanggal lahir dan nomor whatsapp mu, gratis.

*) Penulis adalah peraih medali Vermeil Tematik di Bangkok F.I.P 2013 dan Large Vermeil di Singapore fournation 2016. Sisanya ada beberapa medali pameran filateli dari tahun 2005 - 2012. Magister pendidikan bahasa Inggris, Universitas Lampung

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas