Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemilu 2024, NU Bertabur Bintang Capres-Cawapres
Nahdlatul Ulama (NU) memang bukan parpol. Tetapi kader-kader NU tersebar di setiap parpol.
Editor: Husein Sanusi
Pemilu 2024, NU Bertabur Bintang Capres-Cawapres
KH. Imam Jazuli Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan Umum 2024 semakin dekat. Setiap partai politik telah memikirkan jagoan masing-masing. Persaingan internal mereka semakin ketat. Hal itu wajar, karena ambisi kekuasaan tidak terbendung. Insan Politik bersaing menampilkan prestasi untuk mencetak rekam jejak yang positif.
Nahdlatul Ulama (NU) memang bukan parpol. Tetapi kader-kader NU tersebar di setiap parpol. Jumlah massa ormas yang satu ini juga patut diperhitungkan. Namun, tantangannnya adalah mudah retak dan gampang dipecah belah. Sebab, setiap "bintang" dalam NU memiliki basis pendukung masing-masing, terkecuali ada kesepakatan di antara para tokoh tersebut.
"Devide et Empira" mungkin terlalu berlebih-lebihan untuk menilai mudahnya pecah belah dalam NU. Walaupun pada kenyataannya, kita bisa belajar dari Gus Solah (KH. Sholahuddin Wahid) saat berkontestasi melawan KH. Hasyim Muzadi menjadi Cawapres pada Pilpres 2004. Akhirnya kader-kader NU tidak solid. Diperkuat dengan Hasyim Muzadi yang membebaskan warga NU mau memilih siapa saja, yang pada akhirnya membuat kedua Tokoh NU tersebut sama-sama gagal
Potensi serupa kembali potensial hari ini, khususnya pada Pilpres 2024 nanti. Ada banyak bintang NU yang rekam jejak prestasi mereka patut diperhitungkan, seperti Khofifah Indar Parawansa (Fatayat NU), Cak Imin (Ketum PKB-PB PMII), Gus Yaqut (Menag-GP Ansor), dan Mahfud MD (Kemenko Polhukam-PB HMI). nama-nama besar ini sangat berpeluang besar mengisi pasangan capres-cawapres di pilpres 2024 nanti, tentu ini sebuah" peluang" sekaligus adalah tantangan bagi NU, Jika Mereka ini solid dalam satu gerbong akan menjadi peluang bagi NU, Namun Jika mereka berhadapan tentu akan menjadi tantangan tersendiri, suara warga Nahdiyyin akan pecah kembali.
Secara kalkulasi politik, tentu Cak Imin yang menjabat Ketum PKB memiliki kans lebih besar. Kepastiannya maju pada 2024 nanti didukung oleh real suara partainya. Sehingga dia dapat melakukan bergaining dengan partai lain. Tetapi, nama-nama besar seperti Mahfud MD dari generasi tua dan Gus Yaqut atau Khofifah dari generasi muda, tidak kalah saing dari Cak Imin. Bisa saja salah satu dari mereka digandeng Pihak "tertentu" untuk memecah warga Nahdiyyin, karena semua partai faham betul, suara Massa mereka sebesar bahkan bisa jadi lebih besar dari massa PKB.
Kehadiran nama-nama besar lain di luar Cak Imin, berpotensi jadi bumerang bagi NU, karena setiap orang memiliki peluang sama besarnya. Hal ini sebuah keuntungan bagi lawan politik, yang akan menjadikan para bintang NU tersebut sebagai "alat pukul" melawan dan memecah suara Nahdhiyyin. Membludaknya nama-nama bintang NU ini adalah keuntungan sekaligus tantangan.
Jika merujuk pada fenomena penentuan Capres Cawapres tahun 2019, Jokowi semula hendak dipasangkan dengan Mahfud MD. Namun, pasangan Jokowi-MD yang dinilai mewakili banyak aspirasi publik sangat terbatas. Mau tidak mau, KH. Ma'ruf Amin terpilih karena dinilai cukup berpihak pada semua golongan.
Sayangnya, pada Pilpres 2024 nanti, Jokowi sudah tidak mungkin maju lagi. Isu Jokowi Tiga Periode sejatinya dapat diartikan secara semiotis tentang tidak adanya figur ideal lain yang selevel. PDI-P memang memiliki kader, seperti Puan Maharani yang masih mewarisi trah Soekarno dan Ganjar Pranowo kader non-trah. Sehingga konflik internal PDI-P adalah persaingan antara trah versus non-trah.
Gejolak di internal parpol lain ini sangat penting, sebagai salah satu latar belakang warga Nahdliyyin memilih satu di antara sekian bintang mereka. Bapak Ganjar memang populer di lingkungan Jawa Tengah, tetapi kariernya belum teruji di Jakarta. Sebab, hampir semua tokoh yang belum teruji di politik ibu kota nyaris tidak bisa kita bicarakan lebih jauh. Misalnya, mantan Gubernur Jawa Timur Ibu Risma mati pamor setelah ke Jakarta.
Sebaliknya, walaupun prestasi Puan Maharani tidak begitu moncer, tetapi eksistensinya berada di Jakarta. Ini penting bagi warga Nahdliyyin untuk sementara waktu memprediksi bahwa PDI-P akan lebih condong mengusung Ibu Puan daripada Bapak Ganjar. Pertanyaannya, siapkah warga Nahdliyyin mengutus kadernya sebagai Cawapres dari Capres Perempuan? Jika iya maka ini akan menjadi sejarah baru. Pada saat Megawati menjadi Presiden, saat itu wakilnya adalah Hamza Haz dari PPP.
Sementara Gerindra tentu tidak perlu dibicarakan panjang lebar, karena tampaknya "ambisi" kekuasaan Prabowo belum surut. pilihan yang tersedia bagi Prabowo antara lain: Anies Baswedan atau Sandiaga Uno.
Prabowo boleh saja mencoba keberuntungan sekali lagi bersama Sandiaga Uno, tetapi dapat mencoba pengalaman baru bersama Anies Baswedan. Namun begitu, sebagaimana para pengamat katakan, Prabowo akan selalu tinggi angka elektabilitasnya namun paling tidak diinginkan untuk "dinikahi". Bagi warga Nahdliyyin, langkah politik internal Gerindra tidak begitu menarik diikuti dibanding pergerakan pemilihan kader di internal PDI-P.
Warga Nahdliyyin sepertinya bisa mengatasi berbagai terobosan politik di internal parpol-parpol lain, dan tidak terlalu mencemaskan mereka. Yaitu dengan tetap menjaga soliditas internal. Karena harga suara jamaah NU yang begitu besar sangatlah mahal, dan jangan sampai dijual murah meriah atau mudah dipecah belah. Para bintang NU diharapkan fokus pada penguatan prestasi diri dalam mengabdi umat, bangsa dan negara. Prestasi yang nyata di mata rakyat adalah satu-satunya cara pencitraan terbaik. Rakyat Indonesia sudah sangat pintar dan tidak akan mudah dibohongi oleh pepesan kosong. Wallahu a'lam bishawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon