Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mencari Sosok Independen yang Bukan Petugas Partai
Dari waktu ke waktu, semakin nyata bahwa Ganjar menyelami denyut kehidupan warga yang dipimpinnya.
Editor: Dewi Agustina
SAYA bukan orang yang antiparpol. Parpol mutlak diperlukan dalam demokrasi. Tapi saya bisa paham ketika banyak kalangan menilai parpol justru jauh dari merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Juga, saya bisa maklum manakala politisi parpol dipandang lebih mewakili tuntutan partainya ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang memberikan suaranya langsung di kotak suara.
Dalam konteks itulah, selaku senator yang berarti merupakan representasi langsung masyakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia, saya berempati pada Ganjar Pranowo. Dia memang tokoh senior parpol.
Tapi dari waktu ke waktu, semakin nyata bahwa dia menyelami denyut kehidupan warga yang dipimpinnya, dan trade off-nya adalah dia menjadi kian berjarak dari partai yang menaunginya.
Tampaknya ada keinsafan bulat pada diri Ganjar bahwa, dalam situasi harus memilih, dia pilih untuk mendahulukan warganya betapa pun itu menepikan partainya.
Dan ketika parpol menjadi berang akibat polah Ganjar itu, maka pada detik itu pula sah bagi Ganjar untuk menyandang status sebagai anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol.
Idealisme semacam itu sesungguhnya bukan barang baru. Justru Ganjar sedang memeragakan Soekarnoisme sejati.
Baca juga: HNW: Ngotot Majukan Capres untuk Periode Ketiga Itu Tindakan Inkonstitusional
Bahwa, meskipun Soekarno adalah pendiri dan tokoh sentral PNI, namun sebagai pemimpin nasional Bung Karno justru tidak memosisikan PNI sebagai partainya.
Bung Karno bahkan kemudian malah berjarak dari partai yang dibentuknya. Begitu pula relasi Ganjar terhadap partainya.
Bedanya, PNI tidak pernah merasa kehilangan Soekarno, sementara PDIP justru seolah memandang Ganjar sebagai anak durhaka.
Sebagai petugas yang membangkang terhadap titah panglimanya, tepatnya.
Apa sumber gesekan itu? Barangkali kita, sekali lagi, bisa bercermin pada PNI. PNI tidak mempersiapkan putra mahkota sama sekali.
Apalagi pewaris PNI itu harus memiliki silsilah dari garis Bung Karno.
Bahkan Bung Karno, dari bacaan yang saya punya, justru berharap tidak ada keturunannya yang menjadi pemimpin politik apalagi pemimpin negara.