Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dana Abadi Pesantren dan Tim Pendampingannya
Dana abadi pesantren untuk tujuan dakwah keagamaan pesantren dan pengembangan masyarakat di lingkungan pesantren
Editor: Husein Sanusi
Dana Abadi Pesantren dan Tim Pendampingannya
Oleh: KH. Imam Jazuli*
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Republik Indonesia mengeluarkan peraturan nomor 82 tahun 2021, tentang pendanaan penyelenggaraan pesantren. Perpres ini memberikan payung hukum, serta sekilas mekanisme intensitas antara negara dan warganya. Kedua unsur ini berjalan ke arah tujuan yang sama; pembangunan negeri.
Kepentingan mendasar negara adalah pembangunan kualitas pendidikan, sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 3 ayat 1 dan 2. Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah mengusahakannya. Upaya tersebut diwujukan dengan dana abadi pesantren, yang merupakan alokasi khusus untuk pesantren dan bersumber dari dana abadi pendidikan (Pasal 1 ayat 1).
Sekalipun berasal dari dana abadi pendidikan, Perpres 82/2021 nyatanya tidak sekedar untuk pendidikan, melainkan juga untuk tujuan dakwah keagamaan pesantren dan pengembangan masyarakat di lingkungan pesantren (Pasal 3). Dengan begitu, dimensi pembangunan negeri yang diupayakan pemerintah melalui Perpres sangat luas. Pemerintah membayangkan totalitas pembangunan melalui sebagian ‘kecil’ dari dana abadi pendidikan.
Berbicara upaya-upaya pemerintah berdasarkan perpress ini tidak sebatas bantuan berupa uang dan barang, melainkan juga pemerintah bisa hadir dengan memberikan bantuan jasa pada pesantren (Pasal 5). Dengan begitu, pesantren tidak saja bisa mengharap bantuan barang dan uang, tetapi juga jasa pemerintah.
Bantuan berupa uang dan barang dari pemerintah untuk pesantren bisa saja terbatas, sesuai kemampuan uang negara/APBN/APBD (Pasal 8 ayat 1 dan 9 ayat 1 dan 2). Namun, bantuan jasa bisa terbuka lebih luas lagi. Jasa itu sendiri adalah perkara immaterial, bisa juga bersifat intelektual dan psikologis. Berbeda dari uang dan barang yang jelas-jelas material.
Bantuan jasa dari pemerintah jauh lebih mendesak di mata pesantren. Sebab, realitasnya adalah pesantren sangat besar secara kuantitas dan beragam secara kualitas. Satu pesantren dan pesantren lain memiliki kompetensi dan potensi berbeda-beda. Jika pemerintah tidak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pesantren, maka distribusi bantuan barang dan uang akan timpang dan tidak adil.
Berdasarkan Pasal 9 ayat 1 dan 2, di sana dikatakan bahwa dana diambil dari APBD dan disalurkan melalui mekanisme Hibah. Setiap orang sadar bahwa APBD dan APBN terbatas, sementara mekanisme Hibah sangat subjektif dan bergantung pada kondisi psikologi pemerintah. Jika satu pesantren lebih dekat pada pemerintah dibanding pesantren lain, maka yang dekat lebih berkesempatan mendapatkan hibah, dibanding yang jauh, atau bahkan tidak tahu cara mendekati pemerintah.
Jasa yang paling dibutuhkan oleh pesantren dari pemerintah, berdasarkan bunyi pasal perpres 82/2021 sendiri, adalah jasa pendampingan. Tim pendamping sangat dibutuhkan untuk mengawal dana abadi pesantren ini agar betul-betul terdistribusi dengan merata, sehingga keadilan sosial bagi seluruh pesantren di Indonesia tercapai.
Tim Pendamping ini tidak saja diberi beban tanggung jawab mencapai keadilan distribusi hibah pemerintah. Tetapi juga diberi tanggung jawab untuk memberikan pelatihan manajerial dan administratif kepada setiap pesantren. Sehingga setiap pesantren, baik yang kecil-kecil maupun yang besar-besar, memiliki pemahaman yang sama dan potensi akses yang sama.
Misalnya, berdasar Pasal 13, pesantren boleh mendapatkan hibah dari luar negeri dan pelaporannya dipertanggung jawabkan kepada menteri (Pasal 15). Jika tidak ada pelatihan manajerial, administratif, dan distribusi network maka pembangunan pesantren yang diharapkan oleh Perpres akan berjalan lambat, bahkan dikhawatirkan akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Atau juga, berdasarkan Pasal 21, pesantren dapat mengumpulkan sumber pendanaan dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR), juga dilaporkan pada menteri. Hal ini penting sekali, karena hampir di setiap kota ada pesantren dan di sana juga ada perusahaan. Namun sekali lagi, tanpa adanya tim pendampingan maka pesantren tidak seluruhnya mengerti dan tahu cara akses pada dana CRS di setiap kota masing-masing.
Menurut hemat penulis, harus diakui bersama bahwa Undang-Undang Pesantren (2019) dan Perpres Dana Abadi Pesantren (2021) adalah barang baru seumuran jagung, jika dibanding usia pesantren yang sudah eksis sebelum kemerdekaan. Karena ia barang baru sudah pasti akan memberi dampak kultural yang baru pula. Akan ada tradisi baru yang diimplan ke dalam sistem pesantren.
Kultur dan tradisi baru tersebut adalah mekanisme berpayung hukum yang menghubungkan antara pesantren, negara dan perusahaan. Tiga serangkai ini mestinya dibangun di atas fondasi manajerial dan administratif yang baik. Fungsi utama Tim Pendamping adalah menguatkan bagaimana sinergi pesantren, negara dan perusahaan ini berjalan baik, dengan hasil optimal, tanpa ketimpangan.
Tantangan ke depan jauh lebih besar. Jika ada payung hukum yang membenarkan intensifitas relasi antara pesantren dengan negara-perusahaan, jangan sampai kultur pesantren yang khas itu tergerus, baik oleh arus politik negara maupun pragmatisme-kapitalis perusahaan. Pesantren bukan subordinat yang harus tunduk pada negara dan perusahaan.
Begitu sebaliknya, mengisolasikan pesantren dari negara dan perusahaan juga barang mustahil. Pesantren yang terisolasi dari negara dan perusahaan dipaksa bekerja keras dan mandiri. Bila gagal maka akan tenggelam dan tergerus oleh gerak sejarah peradaban. Namun, dengan mendekat pada negara dan perusahaan, pesantren akan dapat infus atau suntikan segar sebagai modal awal perjuangan.
Alhasil, Tim Pendamping ini sangat penting, untuk mengawal realiasasi peraturan perundangan yang bermuara pada tercapainya tujuan ideal bersama. Dengan jumlah besar pesantren yang ada, serta adanya kapasitas dan kapabilitas yang tidak sama antar pesantren, fungsi Tim Pendamping sangat besar. Di masa-masa yang akan datang, dibayangkan tidak akan ada lagi pesantren yang terseok-seok menghidupi dirinya, karena negara dan perusahaan hadir untuk mewujudkan impian semua pesantren. Wallahu a’lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.