Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kritik atas Tulisan HMI vs PMII di Muktamar NU ke-34 dan Menyikapi dengan Bijak
Maka dengan ini izinkan penulis yang merupakan seorang santri al-faqir ini untuk memberikan kritikan kepada tulisan tersebut
Editor: Husein Sanusi
Kritik atas Tulisan HMI vs PMII di Muktamar NU ke-34 dan Menyikapi dengan Bijak
Oleh: Seto Galih Pratomo
TRIBUNNEWS.SOM - Penulis yang merupakan seorang santri ini sebelumnya memohon izin dan memohon maaf atas segala keterbatasan ilmu penulis kepada KH. Imam Jazuli yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon untuk menanggapi tulisannya di Tribunnews pada Selasa, 5 Oktober 2021.
Tulisan itu berjudul “Rivalitas HMI versus PMII: Perebutan Kursi Ketum PBNU di Muktamar NU ke-34 yang penulis baca tulisan tersebut bernada provokatif, karena beraroma menyudutkan salah satu pihak atau penggiringan opini publik.
Maka dengan ini izinkan penulis yang merupakan seorang santri al-faqir ini untuk memberikan kritikan kepada tulisan tersebut.
Sebagaimana kritikan merupakan sebuah tradisi intelektualitas dikalangan warga Nahdliyin
yang sudah sebuah keharusan ditanggapi dengan kepala dingin dan secara ramah
sebagaimana yang diajarkan dalam Islam rahmatan lil „alamin.
Hal ini juga diajarkan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy‟ari yang menulis kitab “Ziyadah Ta‟aliqat „ala Manzhumat al-Syaikh „Abdillah ibn Yasin al-Fasuruwani" (Catatan Tambahan mengenai syair Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan) yang berisi respon dari Hadratussyaikh terhadap kritikan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan terhadap organisasi yang didirikannya, Nahdlatul Ulama.
Tulisan KH. Imam Jazuli di atas membahas mengenai Muktamar NU ke-34 yang tidak lama lagi akan diselenggarakan di Lampung pada Desember 2021.
Beliau dalam kalimat awal mengangkat dua nama yang digadang-gadang akan maju pada pemilihan Ketua Umum PBNU mendatang.
Ada dua nama disana yaitu Cak Muhaimin Iskandar dan Gus Yahya Cholil Staquf, yang mana Cak Imin dulu ketika mahasiswa berproses di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gus Yahya berproses di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang keduanya sama-sama berproses di Yogyakarta.
Jika mengingat saat ini Cak Imin sebagai Ketum PKB yang menjabat sejak 2005 bersama
dengan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro kala itu, namun Gus Dur tersingkir dari PKB
karena Muktamar Luar Biasa (MLB) Kubu Cak Imin pada 2-4 Mei 2008 di Ancol.
Juga Cak Imin atau saat ini dipanggil Gus Ami juga sebagai Wakil DPR RI bidang kesejahteraan rakyat (2019-2024).
Maka dengan banyak nya jabatan yang diemban Cak Imin, menurut penulis rasanya beliau tidak mengincar jabatan Ketum PBNU mendatang.
Berbeda dengan Gus Yahya Cholil yang merupakan putra dari Gus Cholil Bisri yang merupakan salah satu tokoh pendiri PKB.
Saat ini Gus Yahya menjabat sebagai Katim Aam PBNU sekarang yang waktu itu menolak jabatan Menteri Agama RI saat reshuffle menteri dan digantikan oleh adik beliau, Gus Yaqut Cholil Qoumas.
Masuk paragraf awal tulisan tersebut penulis rasa tidak ada masalah, namun dalam paragraf
empat yang menggiring opini dan membandingkan sanad (hubungan) serta analogi pada
PMII dan HMI ke NU, penulis kira harus diteliti kembali.
Memang secara struktural PMII yang didirikan pada 17 April 1960 pernah menjadi Badan Otonom (Banom) dari NU namun pada 1972 melalui Deklarasi Munarjadi di Magelang menyatakan lepas dari Banom NU dan menjadi independen.
Hal itu berbeda dengan HMI yang didirikan 5 Februari 1947 itu tidak pernah menjadi Banom organisasi manapun karena bersifat independen sejak awal lahir, walaupun pernah diisukan dekat dengan Muhammadiyah karena lahirnya di daerah teritorial Muhammadiyah (Yogyakarta), namun di Muhammadiyah sendiri mempunya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Maka dengan membanding sanad antara PMII dan HMI ke NU merupakan hal yang tidak relevan.
Apalagi membahas tentang hal idiologis dan memojokan HMI merupakan hal yang tidak
relevan juga.
Karena HMI sejatinya merupakan organisasi mahasiswa Islam pertama kali didirikan di Indonesia yang moderat dari awal sampai saat ini.
Dalam hal ini menampung berbagai kalangan mahasiswa Islam, tidak memandang NU, Muhammadiyah, atau apapun.
Dibuktikan dengan banyaknya alumni HMI yang menyebar ke berbagai organisasi. Dan HMI
pun menerima dan menghormati apapun keyakinan amaliyah para kadernya, pernah HMI
juga mengadakan Tahlilan, Ziarah, atau amaliyah NU, juga amaliyah dari organisasi lain.
Penulis sendiri pernah mengadakan bedah buku yang penulis tulis berjudul “Nasionalisme
Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari” di HMI Komisariat Fakultas Hukum
UII.
Jika dikalangan NU ada Mahbub Junaidi sebagai Ketum PMII pertama (1960-1967), Prof.
KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketum PBNU ke-4 yang merupakan kader HMI Malang, KH.
Helmy Faisal Zaini yang sekarang menjadi Sekjend PBNU merupakan kader HMI Ciputat,
KH. Saefullah Yusuf atau Gus Ipul yang pernah menjadi Ketum PP GP Ansor juga
merupakan kader HMI, dan banyak lagi yang lainnya.
Dan ke paragraf selanjutnya pada tulisan tersebut ada hal yang mengganjal yaitu menyajikan
nama-nama kader PMII yang patut menjadi Ketum PBNU, Nusron Wahid.
Nusron Wahid sendiri jika ditelaah lebih dalam merupakan kader HMI Cabang Depok walaupun selepas itu aktif di PMII Cabang Depok.
Beliau pun mengakui kemampuan organisasinya diperoleh dari berproses di HMI sehingga beliau mampu memimpin PMII dan GP Ansor kala itu.
Lanjut ke paragraf selanjutnya, menyambung lidah dari teman-teman Ikatan Pelajar NU
(IPNU) yang hal ini datang dari Yanju Sahara sebagai Ketum PMII DIY dan menjabat juga
sebagai Ketua Hubungan Luar Negeri PB PMII mengomentari hoaks kalimat dalam tulisan
tersebut yaitu “Misalnya, Bapak Menkopolhukam Mahfud MD sudah jelas-jelas pernah
mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wahid Hasyim di Universitas
Islam Indonesia (UII) bersama Marwan Ja'far” karena tidak sesuai dengan data yang ada,
selengkapnya bisa diklarifikasi kepada saudara Yanju.
Dan pada kalimat selanjutnya yang menyatakan Prof. Mahfud MD tidak bisa diterima
kepemimpinan nya di PBNU merupakan hal yang harus ditelaah lagi.
Prof. Mahfud merupakan lulusan Pondok Pesantren Salaf yang bernama Somber Langgah sekarang bernama Al-Mardhiyyah yang merupakan berbasic NU. Beliau juga merupakan anak emas dari Gus Dur yang juga diangkat Gus Dur menjadi Menteri Pertahanan di era nya.
Beliau mengaku sebagai keluarga Gus Dur secara idiologis dan sampai saat ini masih menjaga
silaturahim dengan keluarga Gus Dur. Maka tak heran ketika penulis semasa menyantri di
Pesantren Tebuireng, Mahfud MD sering berkunjung ke Pesantren Tebuireng untuk
bersilaturahim.
Maka menjustifikasi Mahfud MD seperti tulisan tersebut patut ditelaah kembali apalagi
menyangkut pautkan untuk tidak menerima Gus Yahya Cholil sebagai Ketum PBNU karena
kader HMI.
Dan mengharuskan kader PMII menjadi Ketum PBNU mendatang juga harus ditelaah kembali agar tidak terlalu fanatik.
Karena Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy‟ari membenci dan menyerukan agar menjauhi kefanatikan atau taqlid buta yang terdapat dalam kitab karya beliau berjudul al-Tibyan fi al-Nahyi „an Muqatha‟ati al-Arham wa al-„Aqarib wa al-Ikhwan , hal. 33, atau selengkapnya bisa dibaca tulisan penulis di situs resmi Pesantren Tebuireng (tebuireng.online).
Terakhir dikalimat penutup pada tulisan tersebut, pada kalimat “Inilah arti penting mengapa
kader terbaik PMII harus menjadi Ketum PBNU. Kecuali Jika Keluarga Besar PMII sudah
mengikhlaskan PBNU di pimpin kader HMI!”.
Kalimat tersebut terasa provokatif dan penggiringan opini, karena jika ditelaah lebih dalam PBNU pernah dipimpin oleh kader HMI yaitu Prof. KH. Hasyim Muzadi yang membawa NU gemilang dan merangkul semua golongan.
Jangan dikarenakan pelengseran Gus Dur yang dituduhkan kepada HMI Connection membuat taqlid buta dan membenci HMI, padahal jika ditelisik kembali pelengseran Gus Dur lebih tapatnya dilengserkan oleh Akbar Tanjung Connection yang di dalam nya mayoritas alumni HMI tecantum dalam Skenario Semut Merah (SEMER).
Nama itu antara lain Akbar Tandjung, Fuad Bawazier, Hidayat Nur Wahid, Alimarwan Hanan,
Hamdan Zoelva, Patrialis Akbar, Azyumardi, Anas Urbaningrum, M. Fakhruddin, dan Amien
Rais.
Maka dengan itu tulisan yang terhormat KH. Imam Jazuli harus ditelaah lebih dalam lagi agar
sesuai dengan Mabadi Khairul Ummah yaitu ash-shidqu (benar atau tidak berdusta) yang
merupakan prinsip sosial yang dikemukakan pada Muktamar NU pada 1939 di Magelang.
Maka dalam hal ini penulis sebagai santri juga ingin menerapkan dalam tulisan ini yaitu tiga
ciri ajaran ahlussunnah wal jama‟ah, ath-thawasuth atau moderat (tengah-tengah), at-tawazun
(seimbang), dalam i‟tidal (tegak lurus).
Penulis sebagai santri dan warga NU berharap Muktamar NU ke-34 mendatang berjalan
sesuai dengan di atas yaitu ajaran ahlussunah wal jama‟ah an-nahdliyah.
Karena sedih jika mengingat Muktamar NU ke-33 pada 2015 di Jombang yang diwarnai kericuhan akibat saling rebut kursi jabatan yang mengakibatkan tangisan dari sesepuh NU, sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Miftahul Akhyar yang waktu itu menjabat sebagai Rais Syuriyah PWNU Jatim terdapat KH. Maimoen Zubair, Gus Mus, Mbah Dim, Gus Malik Madani dan lain-lain.
Dalam hal itu mengakibatkan Calon Ketum PBNU, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menarik diri karena menganggap ada kecurangan karena memaksakan sistem ahlul ahli wal aqdi (Ahwa) dan karena hal tersebut membuat pendukung dari Gus Sholat menarik diri dari lapangan Muktamar dan merapat ke Pesantren Tebuireng untuk membuat Muktamar tandingan namun dicegah oleh Gus Sholah.
Mungkin ini yang bisa penulis sampaikan atas keterbatasan ilmu penulis, lebih lanjut bisa
dikonfirmasi kepada penulis yang saat ini duduk dibangku kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII), maka dari itu memohon maaf bila ada kekurangan karena
kebenaran hanya milik Allah Ta‟ala, kesimpulan penulis kembalikan kepada pembaca
sekalian karena penulis hanya menyajikan fakta dan data yang ada.
Juga salam takzim yang mendalam kepada KH. Imam Jazuli, tulisan yang penulis tulis ini bukan sebagai bentuk merendahkan pihak manapun (su‟ul adab) namun sebagai penyeimbang atas sikap moderat penulis. Wallahu‟alam bis showab.
*Penulis adalah Alumni Pesantren Tebuireng Jombang; penulis buku “Nasionalisme
Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari”; saat ini sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), berproses di HMI Komisariat FH-UII; juga
sebagai CEO SEGAPMedia Group
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.