Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menimbang Nusron Wahid, Kader PMII Sebagai Calon Ketum PBNU pada Muktamar 34
Nusron Wahid adalah salah satu kader Nahdliyyin yang memiliki semua kriteria selain cak Imin.
Editor: Husein Sanusi
Menimbang Nusron Wahid, Kader PMII Sebagai Calon Ketum PBNU pada Muktamar 34
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama telah bertransformasi menjadi ormas yang berbeda. Jangkauannya sudah tidak sebatas domestik melainkan juga telah menjangkau seluruh negara di dunia.
Kebutuhannya pada pemimpin muda-milenial, energik dan politisi ulung sangat mendesak.
Cukup sekali pengalaman pahit pada Pilpres 2019 kemarin, dan jangan sampai terulang lagi NU menjadi “objek permainan politik kekuasaan” di masa-masa mendatang.
Di tangan seorang Ketua Umum yang memiliki kapasitas sebagai politisi ulung, NU akan selamat, setidaknya tahu cara mengantisipasi hasrat politisi yang hanya ingin memanfaatkan massa NU.
Nusron Wahid adalah salah satu kader Nahdliyyin yang memiliki semua kriteria di atas selain cak Imin.
Sebagai anggota partai Golkar, pengalamannya di panggung politik kekuasaan tidak perlu diragukan.
Pada periode 2009-2014 sudah terpilih menjadi anggota DRP RI di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak 2014 menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Di tingkat struktural non-state, Nusron Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor-NU pada 2011.
Ketua PBNU Periode 2015-2021 ( Mengundurkan diri setelah 2 tahun bertugas). Belum lagi ia juga terlihat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) periode 2000-2003, yang sebelumnya didahului oleh Syaiful Bahru Anshori (1997-2000) dan Muhaimin Iskandar pp(1994-1997).
Kapasitas Nusron Wahid dan Muhaimin Iskandar sudah “sebelas-duabelas”, baik sebagai politisi ulung maupun pengurus PMII yang layak jadi Ketum PBNU.
Majunya Nusron Wahid ke podium calon ketua umum (caketum) PBNU sudah jelas akan didukung oleh Partai Golkar.
Tentu saja hal ini akan memicu kenangan lama kita tentang relasi Golkar dan NU di zaman-zaman yang telah berlalu.
Sayangnya, kini telah masuk era baru, spirit baru yang lebih milenial, serta tantangan masa depan yang jauh berbeda dibanding pengalaman apapun di masa silam. Bahkan, Golkar dulu dan Golkar kini pun sudah berbeda.
Golkar dan PKB memang dua ideologi berbeda, lahir di dua zaman berbeda, orba dan reformasi.
Tetapi, pengalaman politik mutakhir menunjukkan Golkar dan PKB berada dalam satu garis perjuangan, mendukung kepemimpinan Jokowi, demi masa depan Indonesia yang jauh lebih kompleks.
Golkar dan PKB hanya berbeda di tingkat domestik, tetapi satu visi di konteks global, yaitu untuk membawa Indonesia menjadi bagian dari global-players.
Atau sederhananya Nusron Wahid tinggal Mundur dari Partai Golkar saja, sebagai syarat pencalonan ketum PBNU yaitu bukan pengurus partai tertentu.
Hemat penulis, warga Nahdliyyin maupun PBNU dapat mengabaikan latar belakang kepartaian kader-kader terbaiknya, seperti perbedaan Muhaimin Iskandar (PKB) dan Nusron Wahid (Golkar), asalkan dan selama memiliki kapabilitas dan kapasitas mumpuni sebagai politisi ulung dan manajerial.
Karena salah satu syarat pencalonan Ketum PBNU yaitu "Bukan Pengurus Partai tertentu", maka bagi kader partai cukup mengundurkan diri dari partainya sebelum pencalonan.
Kita semua, misalnya saja, tidak bisa membayangkan bagaimana caranya NU mewujudkan cita-cita ideal yang tercermin dalam buku “Fikih Energi Terbarukan”, sebuah buku yang dilaunching pada tahun 2018, tanpa kepemimpinan yang kuat secara politik kekuasaan.
Warga Nahdliyyin tidak bisa hanya bermain sebagai aktor diplomat non-state untuk mewujudkan cita-cita ideal seperti itu.
Butuh dukungan politik pemerintahan dan kekuasaan terhadap semua visi ideal, progresif, dan visioner Nahdliyyin.
Sebaliknya, apabila Ketum PBNU berasal dari non-politisi maka pengalaman “merengek” kekuasaan seperti terjadi pasca Pilpres 2019 sangat terbuka untuk terulang pada Pilpres 2024 nanti.
Untuk itulah, majunya Nusron Wahid sebagai Caketum PBNU, yang merepresentasi politisi ulung, pada Muktamar NU 34 nanti sangat tepat dan strategis Jika cak Imin tidak berkenan maju.
Nusron Wahid adalah kader terbaik PMII, selain Muhaimin Iskandar yang lebih dulu jadi Ketum.
Karenanya, kader-kader ideologis PMII memiliki banyak alternatif, kaya akan sumber daya manusia yang berharga nan membanggakan.
Baik mendukung Nusron ataupun Muhaimin, PMII tetap memiliki saluran yang efektif untuk mengabdi kepada bangsa maupun dunia melalui PBNU.
Sebab, negara dan dunia hari ini sedang menunggu pengabdian PMII melalui gerakan yang massif-struktural.
Hanya saja, Nusron Wahid memiliki beban psikologis-struktural karena dirinya juga pernah menjadi Ketum GP Ansor NU yang mendahului Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut).
Hubungan Nusron Wahid dan Gus Yaqut tidak bisa semata-mata dibaca melalui kacamata struktural-organisasional, yaitu sebagai sesama kader terbaik GP Ansor.
Lebih dari itu, sudut pandang psikologi-politik juga bisa dipakai menganalisa. Gus Yaqut sudah tentu akan mendukung kakandanya, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), maju menjadi Ketum PBNU.
Mau tidak mau, psikologi politik ini akan turut “menyeret” Nusron Wahid pada pusaran Gus Yahya.
Tetapi, Gus Yahya adalah ulama sejati. Bukan politisi. Sementara PBNU butuh kepemimpinan yang politis-manajerial.
Warga Nahdliyyin biasa seperti penulis, butuh sesuatu yang lebih substansial untuk masa depan PBNU. Yaitu, ideologi dan politik.
Di level ideologi, Nahdliyyin butuh PMII yang memimpin NU. Di level politik, Nahdliyyin butuh politisi ulung yang memimpin NU.
Kekuatan ideologi dan politik ini akan menjadi modal awal, pintu masuk pertama, untuk melangkah lebih jauh, yakni kontribusi Nahdliyyin kepada peradaban dunia.
Sudah sangat tepat Munas dan Konbes NU 2021 mengkritik kelemahan ekosistem kesehatan nasional, yang alkesnya 94% dari Impor.
Sudah sangat tepat pemerintah Indonesia melobi WHO untuk menjadikan Indonesia pusat manufaktor kesehatan global.
Dalam konteks makin kompleks ini, Nahdliyyin sudah sangat dibutuhkan untuk tidak sekedar menjadi aktor non-state, yang beruasa dari pinggiran, dan kerap dipinggirkan pada panggung kekuasaan, seperti pengalaman Pasca Pilpres 2019 kemarin.
Untuk masuk ke jantung kekuasaan yang lebih strategis itu, maka Calon Ketum PBNU masa depan sudah wajib seorag politisi ulung.
Nusron Wahid adalah figur yang tepat, Pengabdiannya bagi warga Nahdliyyin sangat dibutuhkan.
Bukan hanya mengabdi lewat GP Ansor, PB PMII, Golkar, dan BNP2TKI semata-mata. Kini kehadirannya dibutuhkan sebagai Ketum PBNU.
Sudah Saatnya kader-kader PMII "tangan terkepal dan maju ke muka", untuk memimpin dan melakukan perubahan terbaik untuk NU dan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.