Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
LBM-NU, Cryptocurrency dan Kejumudan Nalar
Mengkultuskan kitab kuning tentu saja tidak benar. Hal itu sama saja mengkultuskan produk sejarah.
Editor: Husein Sanusi
LBM-NU, Cryptocurrency dan Kejumudan Nalar
KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur belakangan cukup mengejutkan. Ada kesan lembaga ini "mengkultuskan" kitab kuning, dan terperosok jatuh ke jurang kejumudan berpikir dalam menafsirkannya. Tidak heran salah satu bentuk fatwa keagamaan mereka mengharamkan mata uang kripto (cryptocurrency) dengan menyebutnya sebagai bukan komoditas yang boleh diperdagangkan (trading).
"Mengkultuskan kitab kuning" sejatinya tidak masalah, karena bagaimanapun kitab kuning adalah dokumen pemikiran keagamaan yang pernah diciptakan dalam rentang waktu sejarah hukum Islam tertentu. Karena kitab kuning adalah produk sejarah, sudah pasti tunduk pada hukum sejarah, yaitu perkembangan, evolusi ataupun revolusi. Sebagai sesuatu yang sifatnya historis, sudah tentu sangat profan dan sama sekali tidak sakral. Berbeda dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang sudah pasti sakral dan suci.
Mengkultuskan kitab kuning tentu saja tidak benar. Hal itu sama saja mengkultuskan produk sejarah. Bila hal ini tidak didudukkan secara proporsional, maka konsekuensinya adalah mengkerangkeng realitas hari ini dan realitas masa depan dengan standar nilai masa silam. Kejumudan berpikir tidak dapat dihindari lagi. Kejumudan yang tak terhindarkan oleh metodologi Istinbath Al-Ahkam NU tersebut terlihat pada keputusan fatwanya tentang keharaman mata uang kripto.
Mata uang kripto divonis sebagai 'Ain Gahiru Musyahadah (entitas yang tak terlihat). Sesuatu atau barang atau entitas yang tidak terlihat, dalam pandangan kitab kuning, tidak dianggap komoditas dan pada gilirannya tidak boleh diperdagangkan. LBMNU Jawa Timur mendasarkan pemikirannya pada pandangan Syeikh Bujairamy (w. 1221 H) di dalam Hasyiyah Bujairamy ala al-Khathib, juz 3, halaman: 4, menjelaskan, bahwa:
(البُيُوعُ ثَلاثَةُ أشْياءَ) أيْ أنْواعٍ بَلْ أرْبَعَةٌ كَما سَيَأْتِي. الأوَّلُ. (بَيْعُ عَيْنٍ مُشاهَدَةٍ) أيْ مَرْئِيَّةٍ لِلْمُتَبايِعَيْنِ (فَجائِزٌ) لِانْتِفاءِ الغَرَرِ. (و) الثّانِي (بَيْعُ شَيْءٍ) يَصِحُّ السَّلَمُ فِيهِ (مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ)
"Jual beli itu ada tiga perkara atau tiga macam, dalam satu pendapat lain, ada 4 macam. Pertama: jual beli barang fisik yang bisa disaksikan oleh dua orang yang saing melakukan akad, maka hukumnya adalah boleh karena ketiadaan gharar (penipuan). Kedua, jual beli sesuatu yang bisa ditunjukkan karakteritiknya dan berjamin."
Benarkah uang kripto tidak terlihat? Kripto (crypt) secara linguistik berasal dari akar kata Kripta (Crypta), ruang bawah tanah gereja yang dipakai untuk kegiatan keagamaan dan penyimpanan barang lainnya. Istilah historis ini dipakai untuk tujuan lain di era modern, salah satunya cryptocurrency. Sedangkan secara terminologi, cryptocurrency (uang kripto) adalah bentuk sekumpulan data biner
(collection of binary data), yang dipakai sebagai media pertukaran.
Jika menyebut sekumpulan data biner ini tidak termasuk 'ain musyahadah (sesuatu yang tidak terlihat) maka sungguh menggelikan. Bertentangan 180⁰ dengan disiplin ilmu yang sudah sangat massif diajarkan di sekolah dan kampus, ilmu komputer, koding, dan sejenisnya. Pada saat bersamaan, keputusan LBMNU ini menjadi signal bahwa NU tidak siap dengan dunia digital itu sendiri, karena pada hakikatnya dunia digital secara umum adalah persoalan data.
Kegagalan pertama LBMNU membangun hipotesis awal ini, tentang eksistensi data biner, menyebabkan keruntuhan hipotesis-hipotesis berikutnya yang menopang fatwa keharaman mata uang kripto. Karena uang kripto dianggap tidak terlihat maka otomatis mendorong LBMNU Jawa Timur menyebut uang kripto tidak bisa ditunjukkan karakteristiknya maupun keterjaminannya. Ini logis karena sesuatu yang tidak terlihat sudah pasti tidak bisa dipahami ciri-ciri dan sifat-sifatnya. Tetapi, pandangan ini sangat ironis.
Ironisnya fatwa LBMNU tentang uang kripto ini bisa dimaklumi, karena nalar hukum mereka dibangun di atas disiplin ilmu yang merupakan produk masa silam (kitab kuning) dan mensakralkannya. Di masa silam, dunia digital belum ada. Disiplin ilmu modern seperti dunia komputer dan coding juga belum ada. Cryptocurrency juga belum ada. Sekolah dan kampus yang mengajarkan manajemen keuangan mutakhir juga belum ada. Karenanya, mata uang kripto dianggap 'ain ghairu musyahadah (entitas tak terlihat) bisa dimaklumi.
Namun, mempertahankan pendapat bahwa data biner yang didesain sebagai media pertukaran (cryptocurrency) tidak termasuk 'ain musyahadah di zaman modern seperti sekarang adalah bentuk kejumudan berpikir. Keterbelakangan. Bertentangan dengan disiplin ilmu baru. Dan tentu saja ini tidak dapat dibenarkan, karena perkembangan ilmu pengetahuan modern adalah bagian dari produk sejarah yang setara dengan produk pemikiran masa silam. Mengandalkan 100% kitab kuning tanpa mengiringinya dengan "kitab putih"; ilmu-ilmu klasik tanpa Ilmu-ilmu modern; tidak dapat dibenarkan.
Pentingnya memanfaatkan ilmu-ilmu modern dalam setiap proses Istinbath Al-Ahkam (penggalian hukum-hukum Islam) adalah penting. Itu bisa sebagai solusi untuk mempertemukan perbedaan pandangan di antara simpul-simpul fatwa keagamaan Islam. Misalnya, ulama-ulama Islam dari Mesir, Kuwait, dan Indonesia condong mengharamkan uang kripto. Tetapi, ada sebagian ulama Indonesia yang menghalalkannya. Baik hukum halal maupun haram di sana terdapat syarat-syarat tertentu. Bahkan, masyarakat awam yang tidak memiliki pengetahuan cukup di dunia digital dan uang kripto ini, dianjurkan untuk memakai fatwa haram karena dinilai akan menyelematkan keuangan mereka.
Putusan hukum Islam seperti di atas sangat menggelikan, karena halal-haram dibangun di atas pemikiran tentang kualitas pengetahuan umat. Secara moril memang benar karena ulama ingin menyelamatkan keuangan umat. Tetapi, pada saat bersamaan, ini menguatkan bahwa hukum Islam itu tidak tunggal dan tidak sakral. Di saat bersamaan, ini juga menunjukkan bahwa ulama dan umat Islam belum siap memasuki masa depan. Bagi kaum awam, mereka tidak siap di tataran penguasaan ilmu. Bagi kaum ulama, mereka tidak siap berkontribusi membuat produk masa depan ini sejalan dengan ajaran Islam.
Alhasil, ulama dan umat yang memiliki kapasitas untuk memasuki masa depan, mereka akan melihat mata uang kripto ini sebagai sesuatu yang halal. Para ulama yang mengetahui seluk beluk dunia digital menganggap uang kripto dapat dipakai, dan umat akan menggunakan sebagai alat pertukaran maupun perdagangan. Di sisi lain, ulama dan umat yang memiliki kapasitas untuk memasuki masa depan ini menjadi optimis dalam menyikapi uang kripto. Sebaliknya, ulama dan umat yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang produk modernitas akan pesimis, bahkan condong mengharamkannya, atau mengisolasi diri darinya.
Hemat penulis, proses produksi dan reproduksi hukum Islam sudah seharusnya menerapkan metodologi yang lebih segar dan progresif. Misalnya, LBMNU tidak saja mengandalkan kitab kuning, tetapi disiplin ilmu modern juga dipakai. Kitab kuning jangan terus-terusan dieksploitasi untuk menjadi alat legitimasi halal-haram produk modernitas, seperti uang kripto ini. Kitab kuning sesekali harus ditinggalkan bila memang sudah tidak cocok dan tidak mampu menjawab fenomena modernitas, seperti kasus tentang kasus uang kripto ini sebagai sesuatu yang musyahadah atau tidak musyahadah.
Terakhir sekali, para santri di pondok pesantren jangan terus-terusan dicekokin kitab kuning. Tetapi mereka juga harus diajari teknologi. Misalnya, jika kita sepakat bahwa uang kripto adalah haram, maka apa solusi atau karya dari santri dalam hal mata uang digital? Bisakah para santri tidak saja pandai mengharamkan sesuatu, tetapi menciptakan tandingannya? Bisakah santri dan kiyai menciptakan produk lain yang halal dan menandingi uang kripto yang katanya haram? Jangan sampai kaum santri diajari pandai menghujat tanpa memberikan alternatif. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_