Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kitab Kuning dan Realitas Kontemporer: Respon Atas Tulisan KH. Imam Jazuli
Apa yang dijelaskan Kiyai Imam sejatinya tak bisa lepas dari satu pertanyaan yang menjadi titik pijak dalam membangun peradaban baru bagi kaum muslim.
Editor: Husein Sanusi
Kitab Kuning dan Realitas Kontemporer: Respon Atas Tulisan KH. Imam Jazuli
Oleh. Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Tulisan “LBM-NU, Cryptocurrency dan Kejumudan Nalar” KH. Imam Jazuli—selanjutnya disebut Kiyai Imam—membuat saya seperti tersengat lebah. Kuping saya agak memerah melihat kata “kejumudan nalar”. Sebab saya dan seluruh aktivis Bahtsul Masail seakan terhakimi dan tertuduh sebagai golongan yang mengidap “kejumudan nalar”. Perasaan ini muncul lantaran hanya sekilas membaca judulnya saja. Lalu saya merasa penting untuk membacanya tuntas agar tidak salah paham atau pahamnya yang salah dan berusaha memahami apa sebetulnya yang diinginkan penulis.
Dalam memahami apa yang dimaksud, maka kita harus satu frekuensi dengan penulis. Kebetulan saya dan penulis sama-sama alumni Lirboyo dan Al-Azhar Mesir. Sehingga saya dapat membaca bahwa ke-Lirboyo-an yang memberikan penguasaan kitab kuning/khazanah klasik Islam dan ke-Mesir-an yang memberikan penguasaan pemikiran Islam kontemporer ini nampaknya terjadi dialektika dan dinamika di dalam pergumulan pemikiran Kiyai Imam.
Berinteraksi dengan Kitab Kuning dan Realitas Kontemporer
Apa yang dijelaskan Kiyai Imam sejatinya tak bisa lepas dari satu pertanyaan yang menjadi titik pijak dalam membangun peradaban baru bagi kaum muslim. Yaitu; Kayfa nata’amul ma’a al-turats? Bagaimana kita berinteraksi bersama khazanah klasik warisan para ulama kuno? Turats dalam istilah NU disebut kitab kuning. Pertanyaan ini dianggap oleh seluruh ulama dan pemikir muslim kontemporer sebagai pertanyaan yang signifikan dan relevan untuk dijawab. Dari pemikir konservatif, moderat sampai pemikir progrestif Timur Tengah berusaha menjawab pertanyaan ini. Sehingga dalam upaya menjawab pertanyaan tersebut para ulama dan pemikir melahirkan banyak karya. Kita sebut saja beberapa pemikir Timur Tengah seperti Hasan Hanafi, Mohammad Abd al-Jabiri, Mohammad Arkoun, al-Syekh Wahbah al-Zukhaili, al-Syekh Ramadhan al-Buthy, al-Syekh Amin al-Khuli, al-Syekh Ahmad Tayyib, al-Syekh Abdul Mu’thiy Bayumi, al-Syekh Ali Jum’ah, dan yang lainnya.
Saya membaca tulisan Kiyai Imam terasa ada aura pengaruh dari pemikiran Mohammad Arkoun. Kiyai Imam menggunakan narasi ‘mengkultuskan kitab kuning’. Sedangkan Mohammad Arkoun menggunakan narasi ‘taqdisu al-turats’ atau ‘taqdisu al-afkar al-diniy’, yang hendak dikritisinya. Menurut Arkoun, pemikiran keagamaan yang profan dikuduskan, sehingga tidak menerima untuk didiskusikan dan dikoreksi. Dengan kata lain, pemikiran keagamaan harus siap dikritisi dan menerima diuji dalam diskusi publik para pakar, lantaran posisinya yang nisbi atau profan bukan sakral. Dalam garis ini, Kiyai Imam sedang mencoba memposisikan hasil rumusan bahtsul masail LBM PWNU Jatim sebagai sebuah hasil rumusan pemikiran keagamaan yang mestinya bisa menerima untuk didiskusikan kembali dan terbuka untuk dikritisi.
Mohammad Arkoun dan juga Kiyai Imam, menurut saya, bukan orang-orang yang menolak, emoh dan anti terhadap kitab kuning/turats. Nyatanya Mohammad Arkoun dalam satu karya monumentalnya yang berjudul Naz’ah al-Ansanah yang isinya membahas pemikiran trend humanisme tokoh klasik Islam Ibnu Miskawaih (932-1030 M.). Arkoun jatuh cinta terhadap pemikiran seorang tokoh klasik Ibnu Miskawaih.
Sebagaimana pemikir Maroko Mohammad Abd al-Jabiri yang membangun wacana naqdhu al-‘aqil al-‘arabiy (kritik nalar Arab) yang pada akhirnya jatuh cinta terhadap pemikiran klasik Islam bagian Barat Andalusia Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun, al-Farabi, dan yang lainnya. Menurutnya pemikiran klasik Islam bagian Barat ini relevan dengan nafas zaman modern saat ini.
Sedangkan Kiyai Imam yang di Pondoknya juga menggalakkan ngaji kitab kuning hendak mengajukan tiga hal kepada LBM (Lembaga Bahtsul Masail) dalam merespon berbagai persoalan kontemporer yang belum ada dan belum dibahas pada zaman pertengahan seperti Crypto. Pertama, menggunakan rujukan kitab kuning dengan interpretasi dan kontekstual. Kedua, merujuk kitab karya para ulama kontemporer, seperti karya al-Syekh Wahbah al-Zukhaili, al-Syekh Ahmad Tayyib, al-Syekh Ali Jumah, dan yang lainnya, jika dibutuhkan dan relevan dengan persoalan kontemporer. Kitab kuning disinergikan dengan kitab kontemporer yang bahasa Kiyai Imam disebut dengan ‘kitab putih’. Ketiga, merujuk ilmu pengetahuan dan sains, agar dapat memahami secara maksimal atas apa yang sedang berkembang di kalangan manusia kontemporer saat ini.
Sebagian kalangan terpancing—ada yang positif, ada yang agak berang dan ada yang menganggap narasi Kiyai Imam mengandung kesan merendahkan dan justman/menghakimi—dan LBM PWNU Jatim sendiri menulis jawaban yang elegan atas narasi Kiyai Imam tersebut. Akhirnya menjadi polemik. Menurut saya, kalangan yang terpancing dan berasumsi bahwa narasi Kiyai Imam terkesan merendahkan lebih disebabkan pemilihan diksi dan narasi yang digunakan lebih lugas, tanpa tedeng aling-aling, dan bersemangat. Padahal kalau saya baca, substansinya hendak menyampaikan tiga hal tersebut; rujukan kitab kuning dengan interpretasi dan kontekstual, rujukan kitab kontemporer, dan ilmu pengetahuan dan sains. Jika tiga pesan ini disuguhkan secara dingin saja maka tentu tidak terjadi polemik. Di sini saya memahami psikologi Kiyai Imam yang hendak membangunkan kaum Nahdliyyin untuk bangkit mendebat narasi yang dilontarkannya, agar pemikiran keagamaan bahtsul masail lebih berkembang dan mewarnai percaturan pemikiran.
Saya ingat perkatan pemikir progresif Mesir Hasan Hanafi bahwa turats/kitab kuning adalah penting. Sebab kita manusia modern tidak bisa membangun peradaban dari nol. Kitab kuning adalah modal pengetahuan yang berharga, yang harus dikuasai, sehingga dari sanalah kita bisa memulai membangun peradaban bukan dari nol. Sehingga seumur hidupnya Hasan Hanafi mendedikasikan dirinya untuk menulis berbagai disiplin keilmuan Islam berbasis khazakah klasik beserta penawaran pemikiran rekonstruksinya yang menurutnya relevan bagi semangat zaman ini.
Para filsuf Yunani kuno berkata yang kemudian dipopularkan oleh Isac Newton, bahwa “kita berdiri/bersadar di atas bahu para raksasa”. Belakangan digunakan oleh Umberto Eco sebagai judul bukunya, “Standing on the Shoulders of Giants”, kita sejatinya sedang berdiri di atas bahu para raksasa. Perkataan ini mengandung arti bahwa pemikiran dan pandangan komunitas manusia sejatinya bersandar dan berdiri di atas para bahu pemikir hebat di masa lalu.
Dalam konteks Islam, manusia saat ini dalam membangun pemikiran akan berdiri di atas bahu para raksasa pemikir masa lalu, Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi, al-Farabi, Ibnu Khaldun, Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan masih banyak yang lain. Hasil pemikiran ulama klasik ini tergolong pada perdebatan akademik yang harus dikaji. Sebab jika tidak dikaji, alih-alih ingin memberikan pemikiran yang baru tapi ternyata boleh jadi sudah dibahas oleh ulama klasik. Lalu, muncul banyak ulama kontemporer yang karya-karyanya banyak membahas masalah-masalah kontemporer karenanya lebih dekat dengan realitas manusia masa kini yang juga secara akademik mestinya juga diakses dan dijadikan referensi. Juga pengetahuan, sains, dan informasi yang memadai untuk mendukung memahami secara maksimal mahkum bihi/mahkum ‘alaihi (obyek yang dihukumi), sebab syarat mutlak merumuskan hukum dan sikap keagamaan harus benar-benar memahami secara terang obyek yang dihukumi seterang sinar matahari di siang bolong. Bukankah gambaran seperti ini yang diharapkan Kiyai Imam?